Suara-suara itu begitu bising, melihat si badut yang saling
mengutuk, berkompetisi atas nama ambisi bukan solusi. dimana untung diraih
disitu kepala mengekor. Sang jawara tampil di singgasana, bak pahlawan tak
berdosa, begitu manusiawi menurut momentum demokrasi, lalu hilang demi menanti
lima tahun lagi untuk hadir kembali
Sementara, di kaki gunung gerombolan monyet menangis kehilangan
rumah akibat ulah sang jelata yang menginginkan hak tapi serakah. bagaimana
bisa cukup.?
Bagaimana bisa mengharap kesejukan bila alam kau rusak, dikala
musim panas tiba kepala terbakar, gunung dikerok oleh tangan raksasa air laut
jadi tercemar, pohon ditebang banjir menghantam, lalu merengek mengharap
bantuan pemerintah.
Paradigma merusak terlanjur kuat tertanam, toh nanti akan banyak
manusia pencitraan cocok dengan kebutuhan. Satu kali japret dengan senyuman
eksploitasi cukup sebagai ganti. Topeng ilusi kini telah akrab
bertebaran dimana-mana.
Sementara kau, yang duduk dalam kelas tertata rapi yang hanya
sibuk menuntut orang lain melayani egomu, sekalipun dunia sudah di pangkuan,
tetap saja itu tak pernah cukup. tundukanlah ego itu demi kebijaksanaan,
memahami diri dan menerima orang lain Karena engkau masih memiliki PR besar,
Yaitu, berdamai dari dalam diri, lalu kepada manusia dan alam
Ini adalah tentang tangisan alam merindukan nurani, monyetnya
menangis tikusnya menari Keawaman pribumi untung bagi politisi Manusia sadar
hanya menjadi penonton sejati, sibuk menghiasi diri demi legitimasi, atau
mungkin telah buta sama-sekali.
Seandainya saja gunung-gunung tak dijadikan senjata demi
singgasana, Seandainya saja hutan tak jadi korban keserakahan, mungkin alam ku
tak semenderita ini. Ini adalah suara dari kampung-kampung pinggiran negeri,
yang hampir tak terdengar oleh telinga kota, entah ! mungkin jaraknya yang
begitu jauh. Lalu, kenapa suara macetnya deretaan kendaraan kota bagai kilat
menyambar telinga desa.?
Itu masih menjadi teka-teki
Tidak ada komentar:
Posting Komentar