Selasa, 02 Maret 2021

Diskusi seputar kiblat

 


Dua orang ini Nampak lebih muda, sementara yang lain merasa masih muda, hhee tapi itu bukan soal, sebab untuk mengisi kepala dengan pengetahuan tak perlu melihat usia. Bukan mereka yang harus minder ketika sama tempat duduk dengan yang muda, tapi yang mudalah yang harus malu jika semangat belajar yang tak semuda usianya, sementara mereka dengan semangat yang tak pudar karena usia. Terlihat disini, Yang berstatus pengajar kampus masih ingin belajar, sementara yang jelas masih status pelajar kampus sudah letih untuk belajar. Semangat generasi telah tertukar.

Dari sekian banyak topic yang kami bincangkan, ada satu topic yang membuat kami terkesima yaitu diskusi tentang arah kiblat. Berdasarkan observasi teman-teman RHI Sulsel, bahwa masih banyak masjid di Makassar dan sekitarnya dengan arah yang salah, bahkan sangat jauh dari arah ka’bah, jika dilihat menggunakan google earth arahnya bahkan ke madagaskar afrika selatan.

            diantara banyaknya masyarakat, hanya sebagian saja yang kooperatif untuk diukurkan ulang arahnya dalam artian masjidnya harus dirombak. Sementara yang lainnya ada yang menolak, alasan penolakannya tidak seilmiyah alasan untuk merombak, hanya saja yang menjadi pegangan kuat bahwa bangunan lama itu merupakan warisan leluhur yang tak dapat diganggu gugat, harus disesuaikan dengan arah jalan raya supaya terlihat pas, ada juga posisi jamaah didalam masjidnya yang menyesuaikan.

            Sampai salah seorang pesertapun berdiri menyanggah, mengapa begitu sibuk dengan arah kiblat, bukankah kepunyaan Allah timur maupun barat, kita sibuk menghadapkan zohir ke ka’bah tapi tidak untuk menghadapkan batin ke Allah, ka’bah adalah arah, Allah adalah tujuan. hal itu membuat kami terkesima. Kalau mau jujur benar juga yang disampaikan bapak itu, begitu kita sibuk dengan wujud tapi kering dari esensi.         

Jika demikian, lantas apa makna lafaz wajh dari surah albaqarah 144, apa yang diminta untuk diarahkan.? Arahkan wajah ataukah hati.? Jika wajah, maka apa harus mengabaikan hati, atau jika cukup dengan hati maka tak masalah jika wajah menghadap ke segala arah.?

Analogi untuk menjawab itu, bila seorang merasa lapar, apa sudah cukup jika ia hanya berniat untuk makan .? tentu belum. Ia harus ada keinginan sekaligus dalam tindakan, walaupun level penyembahan dan makan jelas berbeda. Nabi sebagai manusia yang begitu mulia dengan segenap jiwa ia hadapkan ke Tuhannya, ketika ayat itu turun dalam shalat ia merubah arah kiblatnya. Sehingga tempat peristiwa itu terjadi dikenal dengan istilah kiblataian (dua arah kiblat). kata wajh bukan hanya wajah yang diarahkan, kalau demikian maka shalatnya adalah sambil menoleh, tapi wajah yang dimaksud ialah keseluruhan dari raganya, maka kiblat adalah penghadapan secara total baik zahir ke arah ka’bah sebagai pusat bumi di masjidil harom maupun batin ke sisi Tuhan.

Hikmah lain dari rangkaian ayat 143 ialah ka’bah sebagai arah pertengahan pusat bumi, begitupun juga islam sebagai agama yang Wasatan, islam tidak menerima banyak Tuhan juga tak menolak adanya Tuhan, maka ummatnya haruslah bersikap wasotiyah, Tidak liberalis kiri juga tak konservatif kanan. Wasot sebagaimana wasit, bersikap sebagai penengah. Sembahyang dimalam hari bukan berarti sembahyang disepanjang malam, karena nabi juga tidur. menyiapkan diri mencintai Tuhan bukan berarti tak ada ruang untuk makhluq, karena nabi juga menikah. tak over karena berlebihan juga tak lesu karena malas-malasan. Jadilah ummatan wasatan.

 

Tidak ada komentar:

Jiwa-jiwa Aktivis yang terlelap, Abdul Ghani

Hari ini touring ke Pulau Arar,   bersama anak-anak muda yang ambisius, mendiskusikan berbagai gagasan. Dari sekian pembahasan terselip ba...