Selasa, 02 Maret 2021

Makna Hari santri yang dilematis


 

22 oktober 2019 kembali diperingati sebagai hari santri nasional yang ke empat setelah dikelurkannya keputusan presiden (Kepres) nomor 22 tahun 2015. Istilah santri tentu sudah tidak asing lagi bagi kalangan muslim indonesia, namun boleh  jadi hal yang asing bagi agama lain. Apa sebetulnya yang melatar-belakangi sehingga harus ada istilah hari santri, atau siapa yang disebut sebagai santri.?

Istilah santri kadang diberi kepanjangan ; pertama SANTRI (Sabar Mengantri), karena dalam kehidupan pesantren budaya antri begitu kental, bagaimana tidak, pelayanannya adalah sistem pelayanan tunggal, mau tidak mau suka tidak suka harus ikuti aturan. Dalam budaya antri mengandung pelajaran bagi praksis kehidupan, dengan mengantri anda akan mengerti arti kesabaran dalam penantian, bagaimana untuk tidak menggunakan hak-hak orang lain dengan curang, juga terbiasa untuk tertib aturan. Kalau ini dapat dimaknai dalam kehidupan sosial tentu akan sangat memberi pengaruh yang baik. Kedua Santri juga kadang diartikan (Saya Anak Nakal Tapi Rajin Ibadah). Hhe tentu bukan itu makna santri yang sesungguhnya.

Istilah santri biasanya merujuk pada komunitas atau kelompok tertentu yang mengikuti pendidikan agama islam pada sebuah pesantren, bukan hanya ilmu keagamaan secara khusus yang diajarkan, tapi juga ilmu-ilmu umum yang lainnya. Pertanyaan berikutnya ialah, mengapa harus ada peringatan secara Nasional.? Untuk menjawab ini tentu menjadi dilematis, pertama itu boleh saja dijawab karena dianggap ‘perlu’ oleh satu kelompok, tapi juga dapat dianggap ‘tidak perlu’ oleh yang lain.

Diantara alasan pemerintah ‘jokowi’ dalam hal ini terkait penetapan hari santri Nasional yaitu ; untuk mengenang kembali semangat perjuangan para kiyai dan santri yang dikobarkan melalui resolusi jihad oleh kh Hasyim Asy’ary dari nahdotul Ulama dalam melawan penjajah yang masih berusaha menggerogoti bangsa yang baru saja merdeka, tentu saja itu bukanlah hal yang mudah karena baru dua bulan indonesia merdeka masih belum terlalu matang sebagai sebuah bangsa, inilah yang menjadikan belanda, sekutu inggris, dan NICA ingin menancapkan taringnya dalam tubuh nusantara, terlebih lagi dengan kekalahan jepang memberi keuntungan untuk menegakkan kembali penjajahan.

Namun, ketika Negara-negara imperealis barat dan timur seperti, jerman, italia, dan jepang telah ditundukkan, akan tetapi tidaklah demikian dengan bangsa indonesia. Karena semangat yang berkobar begitu kuat, Disamping Bung karno dan bung hatta dengan proklamasi kemerdekaan pada 17 agustus 1945 yang  telah membangkitkan semangat luar biasa, juga dorongan yang paling kuat itu datang dari semangat religious islam, resolusi jihat 22 oktober 1945 turut memberi pengaruh yang begitu hebat kepada para santri mayoritas Nahdiyyin dan para ulama, dorongan keagamaan islam itu juga tercermin lewat perang yang terus berlanjut hingga November 1945 (sekarang dikenang sebagai hari pahlawan 10 november) dengan teriakan bung Tomo Allahu Akbar 3x, ia meneriakkan kalimat itu karena ia paham betul siapa yang tepat menjadi teman dalam membela tanah air, bangsa, serta agama dari ancaman, itulah ulama dan umat islam.

ketika bangsa penjajah membawa semangat menyebarkan agama dan penjajahan fisik, maka yang justeru bangkit dari rakyat ialah perlawanan yang didorong oleh semangat beragama dan cinta tanah air. bahkan jauh sebelum indonesia merdeka, agama (islam) dan nasionalisme merupakan satu kesatuan, agama islam sebagai identitas pribumi (penduduk asli yang cinta tanah air), maka merupakan hal yang sangat bertentangan dengan sejarah bila pada hari ini antara semangat beragama (islam) kerap dipertentangkan dengan nasionalisme.

Itulah singkatnya yang melatar belakangi bahwa 22 oktober dikenang sebagai hari santri nasional, untuk mengenang perjuangan ulama, santri dan para pahlawan yang gugur dengan penuh keberanian melawan penjajahan.

Tapi kalau dinilai dari sudut pandang yang berbeda, apakah peristiwa tersebut diatas tepat jika dijadikan 22 oktober untuk mengenang hari santri, mungkin akan lebih tepat jika peristiwa tersebut diperingati sebagai hari resolusi jihad, karena urgensinya disini bukanlah santri secara personal, melainkan semangat resolusi jihadlah yang dikenang. karena memang pada waktu itu namanya adalah resolusi jihad walau didalamnya melibatkan santri dan kiyai. Maka istilah hari santri nasional dinilai belum punya urgensi yang kuat, dan tidak semua warga indonesia juga adalah santri atau lebih spesifik tidak semua ummat islam adalah santri.

Jarak antara perjuangan pada oktober 1945 dengan 10 november yang cukup dekat sesungguhnya masih merupakan serangkaian peristiwa, maka dalam memperingati hari pahlawan sesungguhnya masuk juga konotasi santri dan ulama yang turut dikenang perjuangannya secara heroic, kalimat yang diteriakkan bung Tomo Allahu Akbar sudah sangat mewakili perjuangan islam termasuk ulama dan santri dalam momentum peringatan hari pahlawan. Sehingga penggunaan istilah hari santri dari sini dianggap tidak perlu, justeru kalau diperadakan akan turut menimbulkan pandangan lain, yaitu sebagai legitimasi masyarakat mayoritas terhadap kekuasaan, terlebih jika periode kedua akan kembali mencalonkan. Dan sekarang keterwakilan itu kini sudah menjadi bagian dari kekuasaan dengan posisi kh ma’ruf amin sebagai wakil presiden, dari sini, yang Nampak pada perayaan hari santri seperti yang diselenggarakan oleh kemenag merupakan sebuah seremonial bagi satu kelompok.

Terlepas dari dua konotasi yang dikemukakan, apakah hari santri untuk mengenang perjuangan para ulama dan pahlawan, atauakah justeru anggapan politis, juga sebagai penghususan untuk golongan tertentu yang membuat masyarakat semakin terkategori? sehingga ada yang merasa special dan ada yang tidak. Maka penulis ingin mengajak untuk memaknai ulang dengan netral kehidupan pesantren sebagai satu jenis pendidikan yang mengajarkan ilmu agama secara dominan, pesantren sebagai penentralisir generasi terhadap pergaulan bebas, sehingga melahirkan generasi ulama, cendekiawan, serta negarawan masa depan. Walaupun menjadi satri bukanlah jaminan orang menjadi baik, tapi paling tidak ada usaha. Jikalaupun diluar sana ada pesantren yang dikenal dengan masalah-masalah yang menciderai nama baik pesantren, alangkah tidak bijaknya kalau satu atau dua masalah digunakan untuk menjeneralisir seluruh pesantren di indonesia.

Selamat hari santri

Abd gani

Makassar 23 oktober 2019

 

 

Tidak ada komentar:

Jiwa-jiwa Aktivis yang terlelap, Abdul Ghani

Hari ini touring ke Pulau Arar,   bersama anak-anak muda yang ambisius, mendiskusikan berbagai gagasan. Dari sekian pembahasan terselip ba...