Dua poin dalam pertanyaan diatas. pertama, Teks
secara leksikal. makna asli yang terdapat dalam teks (nyanyian tersebut), ada
unsur ketidak adilan karena penggunaan kata “Ter” memarjinalkan isterinya yang
lain. Kedua, makna yang dibawa oleh teks secara eksistensial betulkah Nabi
tidak adil, kan Beliau Nabi ? ini akan memberi reaksi emosional
Kalau kita naik lagi ke level ontologis, bahwa
author dari teks ini bukan Nabi tapi produsen Teks (penyanyi). Pada bagian
akhir akan mengarahkan reader ke tahapan eksistensial yaitu penyatuan author
dan reader dalam menangkap makna.
Kalau kita mengarahkan jawabannya ke Teks dan
penuturnya, maka makna yang tertangkap ada unsur ketidak-adilan secara
leksikal. Tapi karena yang dinilai disini adalah objeknya, maka kita perlu
melakukan pendekatan sosio-historis bagaimana kehidupan Nabi dan
isteri-isterinya dalam sejarah. Walau hasilnya akan memberi corak pandang yang
beragam
Surah an-Nisa ayat 129 pada kata ‘wa
lan Tastati’u an ta’diluu baina an-Nisa’i (kamu tidak akan dapat
berlaku adil) ada yang mengatakan ayat ini sebagai kecenderungan Nabi kepada
Aisyah, sehingga diberi kesan ada ketidak adilan. Tapi kata tersebut (‘wa
lan Tastati’u) adalah bentuk jamak, bukan ditujukan kepada satu orang
melainkan universal bagi banyak laki-laki yang memiliki banyak isteri (Orang
arab memaknai banyak kalau lebih dari dua, indonesia dua pun sudah banyak)
sehingga kurang tepat dijadikan sebagai parameter Nabi dianggap tidak adil
karena itu adalah seruan universal.
Pertanyaannya kemudian, Nabi kan bagian dari
manusia juga? Apa Beliau tidak termasuk oleh ayat ini.? Ini sekilas mengarahkan
kita untuk memilih sikap dengan berpendapat Nabi adil atau tidak dalam kualitas
Cintanya. yang dituntut oleh pertanyaan ini adalah kualitas cinta dan
pembuktiannya sebagai ukuran keadilan. Sampai disini kita tahan dulu, Mari
sejenak kita keluar dari komparasi pertanyaan ini dan melakukan pendekatan
lain.
Cinta, Adil, dan Setara. Tiga kata ini coba
kita elaborasi terlebih dahulu.
Cinta. Dalam tulisan sebelum-sebelumnya, saya
pernah mengulas soal kualitas dan kuantitas dengan menggunakan konsep mitologi
Roland Barthes (silahkan baca bukunya Mitologi) pada bagian kuantifikasi
kualitas. Yaitu istilah untuk menjelaskan peristiwa yang ingin mereduksi
sesuatu yang sifatnya intelek menjadi hal yang ekonomis. Contoh, kebahagiaan
seseorang tak bisa diukur dari seberapa banyak ia mengoleksi perabotan rumah
tangga, boleh jadi mereka yang sederhana secara material batinnya jauh lebih
tenang dari mereka yang punya segudang materi, mungkin saja mereka punya
kualitas kecerdasan emosional yang baik sehingga hal-hal material tak
merobohkan pondasi kebahagiaan yang dibangun. Sebaliknya, mereka yang sudah
kaya-raya masih banyak yang korupsi, itu sebagai bentuk ketidak-ketenangan
batin, tak tenang kalau ini dan itu hanya dibiarkan tanpa dicuri padahal bukan
miliknya. Koruptor tak bisa bahagia karena dambaan kebahagiaan selalu
digantungkan pada hal-hal yang bukan miliknya, setelah memiliki yang satu masih
ingin lagi yang lain sampai seterusnya tanpa batas. Selama kesadaran ini
dipelihara maka selama itupula kegelisahan menyertai.
Istilah yang lumrah kita dengar happines dan
pleasure, yaitu kebahagiaan dan kenikmatan. Anda boleh mengejar banyak
kenikmatan tapi nikmat belum cukup membuatmu bahagia. Makan enak itu nikmat,
tapi apa semua orang yang sedang makan enak bahagia? Hidup yang hanya ingin
meraih sisi kenikmatan menjatuhkan martabat kemanusiaan ke hayawan (sisi
kebinatangan). Dalam diri manusia ada dua sisi itu insaniyah (baik, santun,
pengasih) dan hayawaniyah (kerakusan dan kebuasan). Sisi mana yang lebih hidup
tergantung yang mana yang engkau beri makan.
Sama halnya soal Mahabbah (cinta) ia tak bisa
diukur dengan variabel material, karena cinta sifatnya kualitatif dan materi
selalu kuantitatif (dapat dihitung). Orang yang tidak terlalu sanggup
membuktikan cintanya dengan materi bukan berarti tidak lebih besar cintanya
dari pada yang sanggup memberi dengan materi. Kalau ukuran material yang
kuantitatif digunakan untuk mengukur cinta yang kualitatif maka hasilnya akan
menjadi mitos, seoalah dianggap benar walau tak proporsional. Maka yang akan
lahir adalah cinta-cinta materealistik yang sifatnya aksidental, apabila
materinya hilang maka gugur pulalah cintanya. diperlukan kecerdasan untuk
mengidentifikasi cinta agar ia tak menjebak benak.
Mari sejenak kita mengenali cinta dalam kerangka akademik bukan
(romantic) supaya bisa sedikit objektiv, Jenis cinta dapat dikelompokkan ke
beberapa istilah, Ada cinta jasmaniah (konotasi fisik/ada hubungan dengan
seksualitas) yaitu keinginan untuk memiliki dan mencari suatu objek keindahan
atau kebajikan demi kesenangan atau kepuasan diri. Maslow menyebutnya sebagai
kebutuhan Fisiologis.
Ada cinta rasa persahabatan, Perasaan yang ditujukan kepada semua
orang tanpa terkecuali, didorong oleh ketulusan hati, semata-mata demi
kebahagiaan dan kesenangan orang lain tidak memandang jenis kelamin, tidak ada
hasrat Fisiologis, yang ada adalah kasih pada sesama.
Dan ada Cinta ketuhanan, Yaitu Cintanya Tuhan pada kita yang kita
tiru dengan mencintai seperti Tuhan mencintai alam semesta. kita bukan Tuhan
tapi kita dapat meniru sifat-sifatnya, walau yang menyandang kata Maha hanyalah
Tuhan. Inilah cinta transendental saling merangkul memperbaiki kualitas diri
demi mengabdi pada Sang Ilahi. Kalau ada yang katakan aku cinta kamu,
klarifikasi dulu cinta yang mana yang ia maksudkan.
Dari beberapa jenis yang disebutkan sifatnya
adalah internal dalam diri secara kualitatif.
Kedua adalah Adil (equity) dan setara
(Equality) : adil tak bisa disamakan dengan setara karena setara belum tentu
adil. Jika anda sebagai orang tua memiliki lima orang anak, tentu uang belanja
mereka tak boleh disamakan karena kebutuhan yang berbeda. pertanyaannya, apakan
anda sebagai orang tua tidak adil.? Belum tentu karena itu anda lakukan
berdasar analisa proporsional atas kebutuhan mereka. Justeru ketika belanjaan
bayi 2 tahun disamakan dengan anak yang sudah mahasiswa itu yang tidak adil.
Maka menyamaratakan dua hal berbeda sama tidak adilnya dengan membeda-bedakan
dua hal-hal yang sama. Adil harus dipahami secara proporsional walau tak
setara.
Kita sambung untuk menjawab pertanyaan diatas
tentang keadilan Nabi. Secara leksikal pertanyaan ini mengusik keberpihakan
individual, bagaimana mungkin kata tidak adil disandarkan kepada Nabi besar
Muhammad saw. Kalau direspon secara emosional maka kita akan kehilangan
rasionalitas.
Quran surah An-Nisa ayat 3 membahas konsep
keadilan. Pertanyaanya keadilan seperti apa sehingga memperbolehkan lelaki
memiliki isteri 2, 3, 4, dan 1 sebagai opsi terakhir kalau tak sanggup adil.!
Sebagai laki-laki, memahami ini tak boleh pake hasrat karena anda akan
kehilangan objektivitas dan justeru termotivasi untuk berpoligami.
Pada zaman pra-islam, orang bisa beristeri
puluhan, tak tanggung-tanggung bisa sampai 40 bahkan lebih. Kalau suaminya mati
maka isteri-isteri itu bisa diwariskan. Ketika datangnya islam keadaan
berbanding terbalik, yang tadinya isteri diwariskan tapi oleh ajaran islam
mereka menjadi berhak mendapat warisan. Yang tadinya isteri bisa 40 tapi oleh
ajaran islam diminimalisir jadi 4 saja itupun kalau anda sanggup adil. Jadi
An-Nisa ayat 3 bukan motivasi memperbanyak, pemaknaannya harus kita
kontekstualisasikan yaitu mempersedikit atau meminimalisir isteri. Dulu 40
menjadi 4, sekarang 4 harus dimaknai jadi 1 saja, karena dasar menafsirkannya
yaitu mempersedikit. Kalau anda masih memaknai dengan makna lama maka sudut
pandang anda ketinggalan zaman. Kembali pada konsep adil, pada ayat tersebut membicarakan
adil secara material (kuantitas), kalau merasa tak sanggup menafkahi lahir
batin ya jangan serakah.
Lalu, bagaimana dengan An-Nisa ayat 129 yang
dibahas diawal ‘wa lan Tastati’u an ta’diluu baina an-Nisa’i (kamu
tidak akan dapat berlaku adil), kata ini berlaku universal bahwa para suami tak
akan dapat berlaku adil (kata Lan) sebagai penegasan tak akan
pernah. adil disini kalau disamakan dalam kerangka material maknanya akan
kontradiksi dengan ayat 3, tentu saja kalau ada makna yang kontra dengan ayat
lain berarti ada kekeliruan dalam pemaknaan yang dilakukan. Adil yang dimaksud
ayat ini bukan kuantitas material melainkan kualitas Mahabbah (cinta).
Siapapun tak dapat adil (menyamaratakan)
kualitas cintanya, dipertegas pada sambungan ayat 129 (walau harastum )
walaupun kamu ingin. karena soal hati ia selalu berpihak. Begitupun Nabi
terhadap isteri yang sangat dicintainya. Khadijah walaupun sudah wafat, tapi
asiyah selalu cemburu kepadanya karena kecintaan Nabi masih melekat kuat pada
Khadijah. Hingga Nabi berdoa “Allahumma hadza qasmy fima amliku fala
tulimni fima tamliku wala amliku” Ya Allah inilah pembagianku atas apa
yang aku miliki (giliran kepada masing-masing isteri) tetapi, janganlah engkau
mencelaku terhadap apa yang engkau miliki namun tak ku miliki (ketidak mampuan
melawan kecenderungan hati).
Namun, hal tersebut tak boleh dibawa keluar
konteks, yaitu menjadikannya sebagai argumentasi untuk membenarkan ketidak
adilan dalam tindakan-tindakan lain. Dalam hal material Nabi sangat adil
terhadap isteri-isterinya karena mereka mempunyai hak batin yang tetap
dipenuhi. Walau pada realisasinya beberapa isteri ada yang memperuntukkan
jatahnya kepada Asiyah karena factor usia dan lain-lain karena sudah bersepakat
(berdamai) yang dijelaskan pada ayat 128.
Dalam hal yang lain, Nabi mengajarkan keadilan,
bagaimana tidak, beliau adalah Sang Nabi. Kalau keadilan Nabi saja masih ada
yang mau meragukan, lalu keadilan siapakah yang anda bisa percaya?
Tapi, dalam konteks Cinta terhadap Isterinya, Manusia manapun tak
sanggup berpaling dari kecenderungan hatinya.
Abdul Ghani (Dosen Unimuda Sorong)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar