Puasa (Dialektika Iman dan Sabar),
Oleh
: Abdul Ghani
Dalam Qs al-baqarah : 183, orang beriman diseru oleh Tuhan untuk
menjalankan ibadah puasa. yang diseru ialah orang beriman bukan orang mukmin
(lihat permulaan surah al-mu’minun). Yang mana konotasi mukmin ialah ia yang
sampai pada level iman paripurna sementara beriman ialah ‘kata kerja’, selama
ia ada imannya maka selama itu ia diseru untuk berpuasa. sebagaimana penjahat
dengan orang yang berbuat jahat. Kalau penjahat maka segala hal yang ia lakukan
kapanpun dan dimanapun adalah jahat, tapi kalau orang ‘berbuat jahat’ artinya
yang jahat hanya perbuatannya disaat itu saja.
Maka seruan oleh ayat ini, seluruh orang yang percaya kepada Allah
sebagai Tuhan (dalam islam) apakah ia orang beriman yang masih suka berbohong
maupun orang beriman yang jujur, orang beriman yang malas ibadah maupun yang
rajin, orang beriman awam mapun yang ulama, penjahat maupun ahli ibadah, selama
ada iman dalam dirinya maka selama itu ia wajib berpuasa. Seolah ada makna
tersirat bahwa puasa adalah konsekswensi iman artinya siapa yang tidak mau puasa
patut dipertanyakan kembali keimanannya.
Puasa merupakan ibadah yang paling menguji tingkat ‘Sabar’. Ada
hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah
الصيام نصف صبر (رواه
إبن ماجة) puasa ialah separuh dari sabar .
Mengapa sabar ? karena hampir seluruh kesabaran kita diuji saat
berpuasa. Bebicara
soal sabar ini perlu kita klasifikasi dulu agar menjadi jelas uraiannya dan
agar tak salah memaknai dan menempatkan kata ‘sabar’.
Diantaranya yaitu ‘sabar dari’ dan ‘sabar
untuk’. Pertama ‘sabar dari’ yaitu atas apa yang menimpa. Dalam Qs al-ankabut :
2 : manusia dikabarkan menggunakan sighah istifham (pertanyaan) namun bermakna
khabar (berita) yang menginformasikan kepada manusia bahwa mereka yang mengaku
beriman apakah dibiarkan saja beriman tanpa diuji ? Artinya orang yang telah
berikrar beriman pasti dan pasti mereka akan diuji. Rumusnya ujian ada yang
lulus dan ada yang gagal. Ia yang lulus dengan ujian akan naik ke level iman lebih
tinggi namun ia yang gagal masih harus berintropeksi diri mungkin ada yang
kurang atau ada yang keliru dari cara ia beriman dan menjalankan keimanannya.
Ujiannya ada bermacam-macam. Ada orang yang
diuji dengan kesusahan atau kekurangan harta, diuji dengan kekayaan, dan
adapula yang diuji dengan jabatan. Ia yang diuji dengan kesusahan Tuhan ingin
melihat apakah dengan kesulitan yang ia alami menjadikan ia sebagai pribadi
yang tetap bersabar dan berusaha atau malah ia melecehkan Tuhan atas ujian yang
dialaminya. Pernah saya berada di suatu forum tasyakuran, salah seorang yang
berada disitu menceritakan ada pemuda dari kerabatnya yang mencaci maki Tuhan
atas jeleknya hasil panen bahkan ‘kata yang ia anggap ‘lelucon’ atau sekedar
guyonan kekesalan’ sampai ia mengatakan ingin menyihir Tuhan seandainya bisa.
Na’udzubillah. Walaupun Tuhan yang maha menilai tapi pribadi seperti ini
mengindikasikan ‘orang yang gagal dalam ujiannya’ dan tak akan naik kelas.
Ada yang diuji dengan materi (harta) Tuhan
ingin melihat apakah ia bersyukur dengan hartanya atau tidak. Apakah ia tetap
memperhatikan bagaimana harta itu diraih, dan bagaimana ia dibelanjakan, suatu
kasus juga sejauh yang saya tau, tentang seorang yang diingatkan untuk
mengeluarkan zakat mal, ia menjawab ‘saya mau beli mobil’ sehingga dijadikan
alasan untuk tidak mengeluarkan zakat mal padahal mencapai nisab. Dalam Qs
attaubah : 103, sebagai landasan mengeluarkan zakat mal, bahwa dalam harta yang
disimpan terdapat hak orang miskin apakah orang miskin yang datang meminta
maupun yang tidak datang meminta.
Dalam ajaran agama islam ada lima pokok hukum
ajaran islam yang harus dijaga keberlangsungannya. Diantaranya hifzuddin
(memelihara agama), hifzunnafs (memelihara diri dan orang lain), hifzunnasl
(memelihara keturunan), hifzulmal (memelihara harta), dan hidfzul aql
(memelihara akal).
Untuk memelihara harta bukan berarti
ditumpuk agar menjadi banyak, seperti air yang dibendung tak dibiarkan mengalir
maka airnya akan membusuk, berulat, kotor dan menimbuilkan penyakit.
Demikianlah pula dengan harta Jika tak dikeluarkan sesuai nisabnya maka akan
bercampur dengan hak orang miskin didalamnya. Akan ada saja cara Tuhan
mengambilnya dari orang kaya yang kikir, apakah berupa didatangkan penyakit
yang sulit disembuhkan hingga tumpukan harta habis untuk biaya berobat.
Selanjutnya ada orang yang diuji dengan
jabatan. Tuhan ingin melihat apakah dengan jabatan ia menjadi amanah atau
khiyanah. Abu Bakar Assidik ketika dibaiat menjadi khalifah diantara penggalan
pidatonya ia sampaikan dihadapan kaum muslimin ‘aku sesungguhnya telah menjadi
wali kalian walau aku tidak lebih baik dari kalian, barang siapa yang menemukan
aku salah maka koreksilah aku dan siapa yang menemakan aku benar dukunglah aku,
kebenaran adalah amanah dan dusta adalah khiyanah, siapa diantara kalian yang
merasa lemah bagiku kalian adalah kuat karena aku akan memenuhi hak-hak kalian,
dan siapa yang merasa kuat bagiku kalian lemah karena aku akan mengambil harta
kalian (untuk didistribusikan sesuai nishabnya).
Dari penggalan pidato Abu Bakr dapat
dinilai sesungguhnya menjadi pemimpin ialah untuk mengushakan kesejahteraan
bukan untuk memperkaya diri atau kelompok. Hadis nabi saw : la imana lima la
amanata lahu’ tidak beriman orang yang tidak amanah.
Demikian macam-macam ujian bagi orang yang
telah mengikrarkan iman. Hanya saja orang selalu diuji sesuai dengan kadar
keimanannya. Orang yang diuji dengan perkara besar jangan bersedih hati artinya
dengan begitu disisi Tuhan anda dianggap layak karena ujian itu sebanding
dengan kadar iman anda, sebaliknya orang yang diuji dengan perkara sepeleh
harus merasa curiga jangan-jangan disisi Tuhan level saya memang segini.
Sehingga dari bangunan berfikir yang Tauhidi memandang segala persoalan dalam
rangka berprasangka baik pada Tuhan bukan malah sebaliknya melecehkan Tuhan.
Kedua ialah ‘sabar untuk’ yaitu sabar untuk
beristiqamah dalam ketaatan. Momentum bulan suci ramadhan kesabaran kita
betul-betul direviw oleh Tuhan. Dari hal yang sepeleh keinginan untuk makan dan
minum kita diminta untuk menahannya, ada kebiasaan diluar puasa menggibah orang
lain kita bersabar menahan diri untuk itu. Segala perilaku tercela kita tahan
dan menggantinya dengan kebaikan, dari cara berfikir, bertutur, hingga cara
bertindak. Ada keletihan untuk menjalankan ketaatan namun dalam keletihan itu
kita diuji untuk bersabar sehingga dipersimpangan jalan kita didapati sebagai
orang yang sabar untuk beristiqamah ataukah malah menyerah dengan keadaan.
Dalam Qs al-baqarah : 155 allah menjanjikan
untuk diberi kabar gembira atas orang-orang yang sabar setelah sekian banyak review
keimanan yang dialaminya. Wabassyirissobirin ‘ berilah kabar gembira
kepada orang-orang yang sabar”.
Untuk memberikaan stimulus atas puasa yang kita jalani mungkin kita
perlu sedikit merekonstruksi paradigm berfikir tentang puasa. Yaitu puasa
sebagai ibadah yang membelenggu ataukah sebagai pembebas’.
Puasa sebagai pembebas sedikit terdengar keterbalikan dari
amaliyahnya, sebab yang dirasa bukanlah pembebas melainkan mengekang, ia
mengekang segala rasa ingin apakah dari keinginan nafsu perut maupun nafsu
syahwat yang kebanyakan manusia seharusnya ia yang memimpin dua hal ini tapi
tak jarang dua hal ini yang malah memimpinnya. baru diberi sedikit rasa lapar
(Qs 2 : 155) Orang rela melakukan apa saja demi desakan perut, hawatir besok
makan apa itu sudah mendurhakai Tuhan, Qs Hud : 6 : bahwa tiada satu hewan
melata pun dimuka bumi melainkan telah ditentukan rezekinya. Tapi, Jangan juga
dengan dalil itu kamu duduk berpangku tangan, rezeki disipkan Tuhan itu benar,
tapi kalau tidak dijemput ya masa mau tunggu Tuhan mengantarkannya di rumahmu. Rezeki
disipkan Tuhan tapi manusianya harus aktif bergerak. “Tak perlu hawatir selama
kamu masih punya Tuhan”. Demikianlah nafsu syahwat suka merengek seperti
anak-anak ‘annafsu ka attifli’, setelah minta ini mau minta itu, dikasih
itu minta itu lagi tak ada batasnya, kalau manusia menghamba pada yang satu ini
maka gunung dan lautan pun dikasi ia takkan pernah cukup. “sederhananya, bukan
syahwat dan perut yang semestinya mengkondisikan kita tapi kitalah yang mengkondisikan
keduanya supaya tidak Rusuh”. Maka dibutuhkan riyadhah (latihan) melalui
puasa ramadhan yang dijalani penuh kesungguhan untuk mengkondisikan “kerusuhan
batin” yang dapat berdampak pada kerusuhan personal hingga social.
Pierre F. Bourdieu mengistilahkan kebiasaan tertentu dengan
“habitus”, contoh, orang yang biasa curang satu kali diminta adil itu terasa asing
dan berat baginya, sebaliknya orang yang biasa adil satu kali diminta curang
atau melihat kecurangan itu terasa berat luar biasa. Terjadi gejolak batin yang
begitu hebat ketika orang keluar dari kebiasaanya. Orang yang disiplin berpuasa,
satu kali meninggalkannya akan merasa sangat rugi, sebaliknya orang yang tidak
disiplin akan merasa sangat menderita untuk berpuasa. Sudah menjadi kebiasaan.
Kebiasaan hanya bisa dirubah dengan kebiasaan, hal yang tak terbiasa masih bisa
dibiasakan selama ada rasa ingin (niat).
Imam Algazali mengkategorikan puasa pada tiga tingkatan, yang
pertama ialah puasanya orang awam (umum) yaitu menahan diri dari dua hal yang
disebutkan diatas. Pada tahap ini dapat dimengerti kita akan berada pada level
“segalanya adalah kekangan” karena segalanya dibatasi. Kedua ialah puasa orang
khusus ; yaitu bukan hanya menahan makan dan
minum. Berapa banyak orang menahan makan dan minum tapi tak menahan
lisannya untuk menyebar fitnah, tak menahan keputusannya untuk berlaku curang dan
tidak adil, tak menahan diri dari melakukan hal yang tidak berguna. Maka pada
tingkat kedua ia menahan bukan hanya nafsu tapi juga dari perilaku tercela yang
pada dasarnya tidak membatalkan puasa tapi merusak nilai puasa. Nabi bersabda “rubba
min soimin laisa lahu min siyamihi illalju’wal atsi” betapa banyak orang
berpuasa tapi tidak mendapatkan apa-apa selain lapar dan dahaga. Dan pada
tingkat ketiga yaitu puasanya khawasul khawas yaitu yang lebih khusus dari
orang-orang khusus.
Kalau puasa orang khusus yaitu menahan diri dari niat tidak
terpuji, artinya ada niatnya tapi ia menahannya. Namun khawasul khawas
jangankan berbuat curang, berfikir untuk berbuat curang saja tak ada. Jangankan
mau maksiat, berfikir tentang maksiat saja itu tak ada. Itulah level para Nabi,
orang-orang shaleh dan kita berupaya meneladani mereka. Orang yang mampu sampai
pada level ini adalah ia yang betul-betul bersabar dengan segala kesugguhan.
Sehingga hasil dari kesabaran (puasa) tersebut melahirkan pribadi
yang ‘Taqwa’. Abu hurairah pernah ditanya soal taqwa, ia mengilustrasikan
sebagai ‘orang yang berjalan disekitaran duri, kira-kira apa yang akan dia
lakukan’ tentu ia akan memperhatikan setiap langkah, waspada dan hati-hati.
Demikianlah taqwa yaitu orang yang lulus menjalani ujian kesabaran (puasa) akan
lahir menjadi pribadi yang hati-hati.
Mengenai soal kehati-hatian, dalam Qs attahrim : 6 ; Tuhan menyeru/memerintahkan
kepada kita untuk memelihara diri dan keluarga dari api neraka yang bahan
bakarnya dari manusia dan batu. Menggunakan kata ‘qu’ yaitu fiil amr dari bangunan kata yang sama dengan
kata ‘taqwa’ dari kata waqa yaqi wiqayah’. Sederhananya orang yang bertaqwa ialah orang
yang memelihara diri dan keluarganya agar tak menginjak duri api neraka.
Selain pencapaian taqwa lewat puasa juga ialah kita dilatih untuk takhallaq
bi akhlaqillah yaitu berahlaq dengan akhlaq Allah. Tuhan ialah zat yang
sifat jamaliyah (keindahan) jauh lebih besar daripada keperkasaannya
(jamaliyah), cintanya jauh lebih besar dari pada laknatnya. Itu tercermin dari asmaul
husna bahwa nama yang menggambarkan kasih sayang lebih dominan dari yang menggabarkan
‘kesangaran’Nya. Lewat puasa kita dilatih untuk lebih mencerminkan sikap kasih
sayang walau Allah yang Maha penyayang,
belajar memaafkan walau allah yang Maha pemaaf, allah tak makan kita
dilatih untuk tak makan, allah maha kuat kita dilatih untuk menjadi pribadi
yang kuat, walau yang menyandang kata ‘Maha’ hanyalah allah sebagai Tuhan. banyak
orang yang bertuhan tapi tak banyak yang berkarakter ketuhanan, bertuhan ialah
kesiapan individu dalam menerima Tuhan sebagai kepercayaan, sedangkan
berketuhanan adalah esensinya yang termanifestasi dalam perilaku manusia
(takhallaq bi akhlaqillah)
Tuhan cinta kepada hambanya, Lewat puasa Tuhan ingin agar dekat
dengan yang dicinta, maka puasa sebagai jalan yang dapat mengantar hamba dekat
dengan Rabnya. Ibarat hubungan dua orang, kalau ada yang ketiga dianggap
pengganggu, usir dia supaya kamu bisa lebih dekat. bebaskan diri dari belenggu
nafsu dan usir segala bisikan setan (baik dari manusia maupun jin) karena itu
adalah pengganggu harmonisasi hubunganmu dengan Tuhan. Allah itu cemburu dan
kecemburuannya kalau kamu lebih memilih hal yang dilarangnya. Tuhan
ingin bertemu dengan hamba yang dicintanya, kita dikasih jalan Tuhan sudah
menunggu diujung jalan, kalau kita tak sampai tentu Tuhan kecewa.
Melalui puasa kita digembleng menjadi
pribadi yang lebih baik, kalau tak ada hasil perbaikan yang dicapai berarti
puasa kita gagal. Selamat berpuasa semoga kita mampu meraih predikat Taqwa.
Dompu, 17 april 2021
A G
Abdul Ghani (Dosen
Unimuda Sorong)