Selasa, 28 Desember 2021

Jiwa-jiwa Aktivis yang terlelap, Abdul Ghani

Hari ini touring ke Pulau Arar,  bersama anak-anak muda yang ambisius, mendiskusikan berbagai gagasan.

Dari sekian pembahasan terselip bagaimana Kecaman Edwar Said atas Intelek yang terpenjara akan jurusan, tak mau berbicara atau berpikir hal-hal diluar bidang akademiknya atau diistilahkan Edwar sebagai profesionalitas pasif. ialah mereka yang melihat ketimpangan hanya merespon dengan mengatakan 'itu kan bukan bidang saya'. walaupun tidak dalam lisan namun demikian dalam tindakan.

Masyarakat awam tak mau tau,  selama 'engkau' menjejaki dunia sebagai makhluq akademis, mau-tidak mau harus menjadi individu yang 'siap dipake' tanpa satupun alasan dengan kata 'TIDAK'.

Namun, ini melahirkan konsekwensi bagi mereka yang begitu bersemangat melihat keluar tapi tak sempat membangun dari dalam, yaitu tipe Intelek yang pandai hampir dalam segala bidang kecuali bidangya sendiri !

Ditengah tawa,  ada satu suara yang menambah dengan tipe yang ketiga yaitu intelek yang sudah terpenjara dalam bidangnya plus tak khatam pula akan bidang keilmuannya sendiri. Kalau Yang ini menjadi masalah !

Mengingat tugas Kaum intelektual itu berat, mereka harus siap menyuarakan kebenaran walau harus diasingkan. 

'Bung Karno Muda' diasingkan dua kali oleh Pemerintah Hindia Belanda karena tampil sebagai agitator dalam perjuangan proklamasi kemerdekaan.

Buya Hamka diasingkan dalam Penjara Oleh 'bung Karno Tua' atas tuduhan-tuduhan tidak masuk akal. Yang dilatar-belakangi oleh pertentangan ideology beberapa tokoh masyumi versus semangat revolusi ala Bung Karno.

Karena kekesalannya, ia katakan ‘atas nama pancasila si Pancasila diperlakukan tidak pancasilais. Oleh rakyat pancasila menyatukan perbedaan, oleh penguasa pancasila adalah senjata untuk menyingkirkan mereka yang berbeda. (gaya kuno itu masih nampak sampai hari ini).

Bagaimanapun, Orang berilmu mampu memetik hikmah dibalik peristiwa. Ternyata telah lama ia berusaha menulis Buku Tafsir namun tak pernah berhasil karena kesibukan. dalam penjara (dua tahun)  keinginan itu terwujud dan tulisannya berhasil diselesaikan pas disaat-saat terahir ia keluar dari penjara. Itu dikisahkan Buya sendiri dalam tafsir al-Azhar yang ditulisnya hingga hari ini dapat sampai ke tangan pembaca.

Namun diahir hayatnya, bung Karno meminta agar kelak kalau ia wafat yang menyolati jenazahnya ialah sahabatnya yaitu 'Buya Hamka'.

Sebagai Seorang Ulama, dengan bijak ia katakan ‘yang tidak ia sukai selama ini bukan bung karno’nya,  tapi perbuatannya’. Dua hal ini mengisyaratkan perbedaan.  Kalau yang tidak disukai adalah Bung Karno maka dari A sampai Z dalam diri Bung Karno layak dibenci sekalipun itu baik.  Tapi kalau yang tidak disukai hanya perbuatannya, berarti cukup itu saja ! Dengan kehadirannya menyolati jenazah bung Karno,  segala kesalahannya pun ia maafkan.

Masih banyak contoh yang bisa menjelaskan intelek dan konsekwensinya. Termasuk juga Pramoedya Ananta Toer yang banyak merasakan masa-masa pahit dari sebagian besar umur dalam hidupnya. sejak zaman belanda sudah di penjara, lanjut zaman soeharto dibuang ke Maluku karena dianggap sebagai simpatisan PKI walau pada akhirnya dibebaskan karena tidak terbukti, namun kenyataannya ia telah lama menderita karena pembuangan itu sendiri. dalam pembuangan dan pengasingannya justeru ia menghasilkan banyak karya yang sudah diterjemahkan dalam banyak bahasa diberbagai negara.

Dalam islam ada Imam Abu Hanifah, yang dipenjara karena tak mau jika Fatwa keagamaannya dibeli dengan jabatan yang hendak digunakan untuk membenarkan penguasa. Begitulah, Dunia yang ditempuh oleh mereka yang tampil sebagai intelektual. Berani bersikap dan berpegang teguh mempejuangkan pandangan dunianya. Mengatakan benar jika itu memang benar, dan mengatakan tidak jika itu memang salah !

tidak sebaliknya tampil sebagai Haman yaitu teknokrat yang menggadaikan ilmu untuk menghamba pada kezoliman. malas mengkritik, dengan dalil taat penguasa dan macam-macam. Padahal kebenaran tak melekat pada otoritas individu terkecuali jika itu adalah Tuhan ! selama ia adalah manusia maka selama itu sangat mungkin ia salah, maka kaum intelektual harus menegaskan diri untuk berada pada kebenaran bukan berfokus pada kekuasaan.

Lalu, bagaimana Intelektual memainkan perannya ? kalau kita menjawab dengan Gramsci, maka tiap kita adalah intelektual hanya saja tidak setiap kita memainkan peran sebagai intelektual, lebih spesifiknya jadilah intelektual organic yang lahir ditengah rakyat, besar bersama rakyat dan menyatu dengan rakyat untuk melakukan perubahan social. Bukan hanya merubah keadaan namun merubah demi perbaikan.

Sederhanya intelek tak akan mendiskusikan penderitaan rakyat di hotel-hotel mewah. Berbicara keadilan sambil memperkaya individu dan kelompok. Berbicara isu-isu social namun dalam tindakan begitu individual, atau berbicara tentang mereka yang terpinggirkan namun dalam kenyataan selalu duduk empuk ditengah pusaran kekuasaan.

Sejarah banyak mencatat, suatu kekuasaan yang mengendalikan massa hanya dengan Dominasi (dalam bahasanya Gramsci) yaitu menggunakan perangkat keras memang berhasil dengan cepat namun tak dapat bertahan lama, justru melahirkan arus balik yaitu kebencian yang mematikan.

Benito Musolini yang tampil sebagai dictator Fasis kejam dan efektif, diakhir hayatnya malah dibunuh oleh rakyatnya sendiri dan mayatnya digantung lalu jadi bulan-bulanan massa. Mengapa bisa sekejam itu pada pemimpin sendiri ? iya bisa. Karena musolini tak memenangkan hati rakyat sebagai kemenangan sejati, ia hanya melakukan yang dalam pandangan Gramsci sebagai ‘War of Movement’ yaitu dominasi menggunakan perangkat keras melalui jalan Fasis diktator.

Kaum intelektual seharusnya tampil dengan Hegemoni, yaitu kebalikan dari dominasi. Melakukan ‘war of position’, merebut pandangan dunia public dan memenangkan hati rakyat  akan eksistensi diri dan gagasannya, lalu tetap tampil sebagai agen Perubahan.

Nampaknya, bagian terahir ini telah pudar, mungkin karena kita kehilangan integritas, terjebak sensasi, kering dan dangkal ! sehingga dalam banyak aksi ‘kaum intelektual’ harusnya mendapat simpati namun yang diraih kebanyakan hanyalah antipatik.

 



Refleksi akhir Tahun, kepada jiwa-jiwa aktivis yang sedang terlelap..

Abdul Ghani,

Sorong, 29 Desember 2021

 

 

Minggu, 07 November 2021

Wasiat Ilmu dan Akhlaq, Abdul Ghani


(Tulisan ini sebenarnya ku peruntukkan untuk santriku, pada suatu waktu aku menyampaikan pesan-pesan kepada mereka, lalu ada salah seorang santri bernama Fakri meminta teksnya untuk dipelajari, wah ku jawab belum ku tulis, nanti ya kalau luag baru ku tuliskan untuk Fakri, ya begitulah,, kesibukan menggiring kita sampai hampir tak ada waktu untuk menulis. Padahal kita sadar, raga kita akan musnah tapi pikiran yang ditulis akan terus berkembang ke generasi berikutnya walau kita telah tiada). Wallau alam.

Wasiat Ilmu dan Akhlaq

Dalam agama kita diajarkan bahwa menuntut ilmu itu adalah wajib bagi tiap muslim laki-laki maupun perempuan. sebagaimana kita ketahui bersama akan hadis nabi Saw “talabul ilmi faridatun ala kulli muslimin wal muslimat” menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun perempuan. ‘wajib’ sebagaimana shalat, kalau tidak dikerjakan akan berdosa, maka supaya kita adil dalam membangun definisi, belajar atau menambah ilmu pengetahuan jika tidak ditunaikan seharusnya kita juga merasa berdosa.

Ia juga tidak mengenal profesi, apakah murid, guru, pedagang, pengusaha, selama ia menyandang gelar sebagai Muslim maka wajib baginya untuk menambah dan memperbaharui ilmu pengetahuan. Belajar tak mengenal batas usia, wajib belajar bukan hanya 9 tahun sampai tamat SMP, atau 16 tahun sampai jadi seorang sarjana. Melainkan ‘Minal Mahdi illlahdi’dari buaian Ibu sampai masuk liang lahad.

Kita yakin suatu bangsa bila ia berpegang pada ilmu pengetahuan maka bangsa itu tak akan terbelakang, sebaliknya jika bangsa itu generasinya meninggalkan ilmu maka pasti bangsa itu akan terbelakang. Ini sejalan dengan hadis nabi yang lain “ man arada dunya faalaihi bil ilmi wa man aradal akhirata fa alaihi bil ilmi”barang siapa yang menginginkan dunia dan akhirat maka itu bisa diraih dengan ilmu.

Dan dalam aktivitas dunia pendidikan, kita tak bisa melepaskan diri dari aktivitas tulis menulis. Ini dianggap sepeleh padahal ia merupakan hal paling fundamental (mendasar) untuk tercapainya peradaban yang maju. Kita tau ketika jepang dibom bardir di hirosima dan Nagasaki, pertanyaan yang muncul bukan hanya ada berapa tentara yang tersisa, melainkan yang tak kalah penting ialah berapa guru yang masih tersisia, karena mereka sadar disitulah kunci mereka dapat memulihkan bangsanya. Imam asyyafi’I pernah menyampaikan

الْعِلْمُ صَيْدٌ وَالْكِتَابَةُ قَيْدُهُ قَيِّدْ صُيُوْدَكَ بِالْحِبَالِ الْوَاثِقَهْ

فَمِنَ الْحَمَاقَةِ أَنْ تَصِيْدَ غَزَالَةً وَتَتْرُكَهَا بَيْنَ الْخَلاَئِقِ طَالِقَهْ

Ilmu bagaikan hewan buruan dan tulisan adalah ikatannya, ikatlah buruanmu dengan tali yang sangat kokoh. Adalah suatu kebodohan apabila engkau pergi berburu, setelah buruan itu sudah engkau tangkap dan ada di hadapapanmu lalu engkau biarkan ia lepas dan pergi begitu saja.

Kita sudah jauh-jauh datang dari kampong halaman untuk ilmu ini, setelah ilmu ada dihadapan kita maka kita harus ikat dia, minimal dengan catatan, karena kita sebagai manusia adalah mahallul khata’ wannisyan yaaitu tempatnya salah dan lupa, maka untuk meminimalisisr kita dari lupa maka kita wajib mencatat.   

 ulama dulu sampai nulis ditembok, di pelapah kurma, di tulang, di batu. Sampai seorang sastrawan Indonesia pun pernah bersenandung “menulislah, jika pena tak ada menulislah dengan arang, jika kertas telah habis menulislah pada dinding, jika menulis itu dilarang maka menulislah dengan darah”. Kita tak diminta menulis di dinding, karena kita punya kertas. Tak pernu menulis dengan arang karena kita punya pena. Terkadang yang tak kita miliki bukan itu melainkan semangat dan kemauan, itu yang telah hilang dari generasi kita.

Umar bin abdul aziz pernah berwasiat :

إن استطعت أن تكون عالما فكن، فإن لم تستطع فكن متعلما، فإن لم تكن متعلما فأحبهم، فإن لم تستطع فلا تبغضهم            

Sedapat mungkin jadilah engkau orang yang menguasai ilmu pengetahuan. Jika tak sanggup maka jadilah penintut imu yang baik, jika pun masih tak sanggup maka cintailah, senangilah mereka yang mencintai ilmu dan aktivitas yang menunjang tumbuhnya ilmu, jikapun masih tak bisa paling tidak jangan membenci dan menghardik mereka yang mencintai ilmu, jangan dihalang-halangi, sebaliknya dukunglah mereka.

Jika kita ingin bertanya, manakah yang lebih utama antara ilmu dengan harta ? orang yang pandangannya sempit maka ia akan mengatakan harta. Banyak generasi dikampung ahirnya tidak memperhatikan pentingnya pendidikan kerena merasa itu hanya akan menghabiskan uang sementara belum tentu dapat pekerjaan layak.

Untuk menjawab ini kita kutib apa yang disampaikan imam asyyafi’I berikut :

العلم خيرمن المال، العلم يحرسك وأنت تحرس المال، والمال تنقصه النفقة، والعلم يزكو بلانفاق

Ilmu jauh lebih utama dari harta, ilmu menjagamu tapi kalau harta kamu yang menjaganya, harta dibelanjakan habis, tapi ilmu diajarkan akan bertambah.

Ini seharusnya turut mengkostruk pandangan kita bahwa memandang dunia pendidikan bukan hanya semata-mata demi meraih pekerjaan, biasanya kalau niatnya hanya sebatas ini ya mudah saja makanya banyak yang beli ijazah. Tapi bukan itu esensinya, ilmu ialah untuk memperbaiki kualitas kehidupan, pekerjaan akan ikut dengan sendirinya. Hawatir tak makan saja kita sudah mengingkari nimat Tuhan, selama kita bergerak rezeki itu sudah pasti kita dapatkan.

Setelah kita menghayati kedudukan ilmu, lalu apakah sudah cukup sampai disitu sebagai modal kehidupan ? jawabanyya ialah tidak ! karena ilmu harus disertai dengan adab dan akhlaq. Ilmu yang tidak dibangun dengan pondasi adab dan akhlaq maka biasanya ilmunya hanya akan digunakan untuk merusak. Tatatanan bangsa ini selama ini bukan dirusak oleh orang-orang yang bodoh, melainkan oleh orang-orang yang berilmu namun kehilangan adab. Kemampunnya berhitung tak digunakan untuk memulihkan perekonomian bangsa, malah digunakan untuk menguras apa yang bisa dikuras, sampai-sampai habis keringatnya sendiri keringat rakyatnya pun dikuras, lahirlah korupsi.

            Olehnya itu moral maupun akahlaq ini harus ditanamkan pada generasi kita sejak dini, perilaku curang di masa sekolah kalau dibiarkan itu akan naik level menjadi besar. Nyontek di masa kecil ialah kebiasaan buruk yang ingin cepat dapat hasil tapi malas berusaha belajar dengan giat, yang kelak pada level berikutnya ia mau cepat kaya tapi malas menabung, akhirnya milik milik rakyat dipandang sebagai miliknya sendiri.

            Kita sudah cukup panjang mengurai, pada bagian terahir ini kita tutup dengan apa yang disampaikan umar bin abdul aziz pada anaknya, ketika anaknya bertanya penuh keheranan melihat ada serigala ditengah gerombolan domba namun mereka akur. Apa yang menjadi jawaban umar,

يا بني اذا صلح الرأس فليس على الجسد بـأس

“Wahai anakku jika isi kepalamu beres, maka tubuhpun takkan punya masalah”   

ia menjawab dengan jawaban hikmah, bahwa segala sesuatu yang diwujudkan oleh raga adalah representasi isi kepala, begitulah kehidupan manusia. Jika kepala isinya merusak maka raga akan merusak, jika kepala isinya hanya ingin memangsa kaum lemah, menindas ketika berkuasa, maka raga akan melaksanakan itu. Kepala adalah panglima raga hanyalah prajurit. Maka jagalah pikiran mu selalu positif karena ia akan menjadi perkataan, jagaah perkataan mu selalu positif karena ia akan menjadi tindakan, jagalah tindakanmu selau positif karena ia akan membentuk  kebiasaan, jagalah kebiasaanmu selalu positif karena ia akan menjadi takdir dalam hidupmu. Dunia ini kacau kebanyakan karena isi kepala tidak beres

sebagai kesimpulan, yang pertama ialah kemajuan peradaban hanya bisa dicapai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), muslim tak boleh alergi dengan itu dan harus berfikiran terbuka. Kedua, ilmu yang kehilangan adab dan akhklaq hanya akan digunakan untuk merusak. Keduanya menjadi satu-kesatuan tak terpisahkan.

Abdul Ghani

Sorong 08 november 2021.

 

Kamis, 28 Oktober 2021

Pemuda dan idealisme, Abdul Ghani


    Bicara soal pemuda adalah pembicaraan yang tak pernah dan tak boleh usai, karena sampai kapanpun kaum muda terus menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan berbangsa. Kita sudah cukup khatam untuk bernostalgia akan peristiwa-peristiwa heroic masa lalu. Tentu yang kita inginkan bukan hanya nostalgia belaka, sangat tidak kreatif jika hanya itu yang terus dibicarakan.

Sebelum jauh mengurai, kita patut lebih spesifik untuk bertanya “siapa sesungguhnya pemuda” ? apakah ia yang terikat secara definisi ? yaitu mereka yang sedang mengalami fase penting periode pertumbuhan antara 16 sampai 30 tahun ? lalu bagaiaman dengan nasib mereka yang lewat dari sekedar predikat angka ?

Secara formal, definisi ini boleh saja dipakai. Tapi jika hanya ini yang dijadikan acuan maka ini tidak hanya mendiskriminasi mereka yang terus berfikir muda walau usia sudah tua, namun juga menafikan kenyataan  bahwa banyak anak-anak muda secara fisik namun Tua renta akan gagasan dan isi kepala. Olehnya itu saya cenderung senang menciptakan definisi tersendiri akan siapa yang layak menyandang gelar pemuda.

“Muda” bagiku adalah soal karakter dan gaya berfikir, tidak semata-mata tentang usia. Betapa banyak mereka yang muda akan usia namun dalam pikiran dan tindakan seolah sedang menunggu datangnya ajal, pasrah dan apatis akan realita, tidak peduli lingkungan, dan hanya mampu berfikir secara mekanistik, yaitu kuliah, kerja, punya pendamping hidup, dapat gaji bulanan, tunggu tua, lalu mati. bagiku substansi pemuda ialah mereka yang progresif, visioner untuk terus menggagas, dan revolusioner menerjemahkan gagasan dalam tindakan.

Kongres Pemuda II bukan sekedar tentang peristiwa, namun harus dilihat bahwa peristiwa itu berangkat dari gagasan tentang mereka yang berfikir kedepan bukan kebelakang, mereka yang berfikir tentang nasib bangsa bukan semata nasib diri mereka sendiri. 1928 masih jauh dari tahun kemerdekaan maka mereka bermimpi akan Merdeka dengan tanah air yang satu.

Jadi, yang kita bicarakan adalah soal ide dan gagasan.  Eleanor Roosevelt memberi klaster seseorang berdasarkan hierarki berfikirnya, orang besar berbicara ide, orang biasa berbicara peristiwa, dan orang awam berbicara tentang orang lain. Inilah krisis yang kita bisa temukan hari ini, yaitu pemuda yang lebih asyik membicarakan orang lain daripada berbicara soal gagasan. Mereka lebih asyik Menjalani hidup secara mekanistik, menjadi manusia-manusia setengah robot. hidup laksana manusia tanpa kepala tampil sebagai mayat berjalan. hidup dengan  fisiknya namun mati akan pikirnya.

Dalam banyak hal kita harus mengakui Kritik Markiuse terhadap manusia modern yang tenggelam dan kehilangan identitas dirinya sebagai manusia. Manusia semakin teralienasi kemanusiaannya. Kemajuan zaman yang seharusnya melayani kebutuhan manusia tapi kenyataannya manusianyalah yang sibuk melayani kemajuan, hingga Teknologi tidak menjadi sarana pembebasan melainkan sarana penindasan.

Ilustrasi Markiuse, generasi hari ini bagaikan mereka yang sedang menaiki bus besar dengan fasilitas-fasilitas yang nyaman. Menjadikan mereka tak sadar sebenarnya bus itu sedang mengarah pada jurang kebinasaan. Jangan dulu berfikir bus itu sebagai institusi-institusi besar, Atau apapun yang diluar diri. Berfikirlah, jangan-jangan Bus itu adalah diriku sendiri.

Pemuda hari ini sibuk mengidentifikasi diri dibalik banyaknya property. yaitu hidup demi kenikmatan dan kepuasan bukan tentang bahagia. Happiness (bahagia) adalah level manusia yang membuat ia naik kelas dari hayawan, karena hayawan tak mampu merasakan dan bercerita tentang bahagia. Hayawan hanya sampai nalurinya pada level ‘pleasure’ yaitu makan untuk bertahan hidup dan melakukan perkawinan untuk menyalurkan nafsu. Maslow menyebutnya sebagai kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan paling mendasar. sementara yang paling tinggi ialah aktualisasi diri, menggagas dan merekayasa masa depan dengan kelebihan dirinya sebagai makhluq kreatif. Namun anehnya kita banyak terjebak pada level ini, yaitu level manusia yang paling dasar (physiological needs)

Padahal pemuda, mahasiswa dan kaum intelektual adalah kelompok yang paling mungkin melakukan The great refusal yaitu mobilisasi dengan kekuatan massa besar-besaran, menolak ketimpangan dan melakukan perubahan ke arah perbaikan. Mereka adalah golongan yang semestinya tetap eksis sebagai penyeimbang status quo. Gie pernah menyindir ‘makin redupnya idealisme dan heroisme pemuda, makin banyak korupsi’. Yaitu karena hilangnya kelompok penyeimbang yang kritis atas kekuasaan. Pemuda seharusnya menjadi kelompok yang terus tampil terdepan berada pada barisan yang independen, yang selalu berdiri tegak menentang kezoliman.

Atau jika tak ingin memilih jalan idealisme, kata Gie, lupakan saja ! silahkan ikut arus. Bergabunglah dengan group yang kuat lalu belajarlah memfitnah dan teknik menjiat. Karir hidup akan cepat menanjak. Atau kalau mau lebih enak, bekerjalah disebuh perusahaan yang bisa memberikan sebuah rumah kecil, sebuah mobil atau jaminan lain, belajarlah patuh dengan atasan, kemudian carilah isteri yang manis, lalu kehidupan selesai.

Mahasiswa dan kaum muda harusnya mengajukan untuk dirinya tentang satu pertanyaan fundamental who am I ?” lalu katakana aku adalah seorang intelektual yang ingin mencanangkan kebenaran walau harus hidup dalam keterasingan. Namun, itulah konsekwensi memilih jalan sebagai kaum intelektual. “The eagle flies alone” elang selalu terbang tinggi, melihat lebih luas, walau harus menerima konsekwensi ia harus sendiri. Sendiri dan terasing karena kebenaran lebih baik dari pada hidup dalam kemunafikan..

 selamat hari sumpah pemuda..!

Abdul Ghani.. 

(disampaikan dalam forum Dialog Publik yang diselenggarakan oleh IMM komisariat FKIP unimuda Sorong)

Jumat, 22 Oktober 2021

Surga Kecil Jatuh Ke Bumi, Abdul Ghani



Hari ini kami bersilaturrahim ke suku kokoda. Seperti yang terlihat, alamnya yang begitu ramah. Namun sayang kekayaan SDM belum ditopang dengan SDA yang memumpuni. 

Jika mendengar kata papua tentu yang terbesik di benak adalah kekayaan alamnya yang begitu melimpah. Dari minyak bumi, Gas, tambang mas, hingga budi-daya mutiara. tapi coba deh melihat lebih dalam, siapa sih yang ada dibalik kekayaan alam itu. Asing memiliki taring begitu tajam yang nancap terlalu dalam, jika difikirkan dengan kaca mata idealisme hanya akan melahirkan frustasi demi frustasi yang tak berhujung. 

Kita mungkin akan mendapati benang merah mengapa isu SARA menjadi barang paling sensitive di Tanah ini. Ya, ia adalah alat yang pas bagi mereka yang dalam tanda kutib "asing" merekayasa perpecah-belahan. Tentu kita ingat kasus Rasisme agustus 2019, kasus ini bergejolak begitu hebat, tak terlalu di publis oleh media-media tanah air namun gempar di berbagai media asing. Sementara kesaksian mereka yang mengalami langsung suasana begitu mencekam, tak berhasil dengan isu Agama, maka dicobanya perpecahan dengan isu Sara. Selalu dihadap-hadapkan stigma ‘pendatang dan asli’, seolah-olah mereka bagai air dan minyak. Padahal keduanya adalah anak kandung ibu pertiwi.

di tempat kami berkunjung, hobi anak-anak main ke laut dan hutan masih lebih menyenangkan dari pada pergi sekolah. Para guru harus bekerja keras dengan segala keterbatasan ini, tugas pencerdasan adalah langkah yang paling fundamental untuk mensejahterkan generasi, hanya perubahan pola fikir yang mampu merubah keterbelakangan. Dan perubahan pola fikir itu hanya dapat diterapkan dalam efektifitas dunia pendidikan. 

mengutip Ali Syariati akan pentingnya generasi yang tercerahkan, bahwa "miskin itu bukan semalam tanpa makan, melainkan sesaat tanpa berfikir". bisa kita bayangkan jika kemampuan berfikir ini hilang atas generasi, maka bisa kita tebak generasi mendatang akan menjadi generasi patah pensil yang jauh tertinggal oleh arus zaman.

Mereka yang tak mau pikir panjang, termakan profokasi untuk memisahkan diri, padahal setelah pisah apakah mereka dapat menjamin kesejahteraan yang mereka cita-citakan itu ? belum tentu. Saya ingin mengadopsi pandangan Sayyid Qutb melihat bangsa arab dulu. Ia katakan ‘membebaskan bangsa arab atas Thagut Romawi dan Thagut Persia lalu menyerahkannnya kembali kepada Thagut arab’ itu sama saja, Thagut tetaplah Thagut, tagut itu sendirilah yang harus dilawan. 

Jika ungkapan ini saya adopsi kurang lebih “kehendak untuk memisahkan diri dari NKRI bukanlah solusi, kebodohan tetaplah menyebababkan keterbelakangan, maka kebodohan itu sendirilah sebagai Musuh yang harus dilawan, maka tindakan yang paling pas ialah mengupayakan pencerdasan. Dengan keawaman saya, saya yakin jika suatu bangsa berpegang teguh pada kemajuan IPTEK maka mustahil bangsa tersebut terbelakang, namun tetap dalam koridor makna tersiratnya bersihkan bangsa ini dari para koruptor, mereka hanyalah parasit-parasit perusak negeri Negeri.

"Pencerdasan Jalan Pertama Untuk Revolusi".

sorong, 22 okt 2021

Santri dan Segudang Cerita




Setiap orang punya kisahnya sendiri, dan kisahku banyak diukir pada dunia pesantren.

Pahit manis, suka duka, tapi begitulah hidup.. Jika engkau keras maka hidup akan lunak padamu, jika kau lunak maka kehidupanlah yang keras padamu. Cita tertinggi dan motivasi ku dulu adalah nyantri agar cepat selesai, dan bebas dari dunia pesantren, bagaimana tidak ia bagaikan sijnul mukminin, terpenjara 6 tahun lamanya. 

ternyata setelah 5 tahun tamat, justru ku kembali mengabdikan diri ke pesantren juga lebih dari 4 tahun.. Dan sekarang benar-benar telah lepas namun pelajaran hidup tetap membekas.

Awam ku dulu, penegakan disiplin adalah kekejaman, setelah punya akal barulah rekonstruksi definisi kejam itu berubah makna menjadi tanda kasih sayang para Guru yang ingin melihat para santrinya menjadi lebih baik. 

Beberapa orang tua yang belum memahami ini, menggunakan perasaan bukan akal dalam mendidik, tak jarang mrk dikontrol oleh keinginan anak padahal keinginan anak yang harusnya dikontrol oleh orang tua dengan segala kapasitas yg dimilikinya. 

menangis hari ini karena keluhnya menuntut ilmu jauh lebih baik dari pada ia ditangisi di masa mendatang karena menjalani kehidupan yang jauh dari bimbingan ilmu dan agama. 

Teruntuk santri2ku di IMMIM, 2 bulan lalu aku meninggalkan kalian tanpa pamit. Hanya menulis surat dan ucapan selamat tinggal serta doa yang ditempel depan pintu kamar. Ternyata surat itu mengundang kesedihan karena pergi yang hanya berjejak secarik kertas. 

Selamat Hari Santri.. Sorong 22 okt. 2021

Selasa, 07 September 2021

Mengukir cerita kehidupan, Abdul Ghani


Apa yang terjadi tak selalu sejalan dengan apa yang difikirkan, apa yang didapatkan tak selalu sejalan dengan apa yang diinginkan.

Hidup ini kadang lucu, kita maunya timur yang diberi Tuhan barat. Giliran Kitanya yang mau barat ternyata rezekinya ke timur. Sulit aku menebakMu Tuhan. Kadang aku kebingungan yang mana dari sekian realita ini yang terjadi atas intervensiMu dan yang mana atas kecerobohanku sehingga aku dapat mengerti yang mana yang aku harus syukuri dan yang mana yang harus aku koreksi.

Engkau mengajarkan kami agar bersyukur, menerima rezeki dengan hati yang lapang. Namun, disisi lain engkau mengatakan nasib itu ada ditangan kami, artinya kami punya kehendak memilih yang mana dari sekian rezekiMu. lalu Tanyaku.. Kapan harus ku terima dan kapan harus ku buat keputusanku sendiri walau melawan arus semesta.

Disatu sisi aku merasa merdeka dengan prinsip eksistensialis dimana manusia bebas mengendalikan diri berdasar kapasitasnya. Namun disisi lain bergudang teori harus ambruk dimana kapasitas tak mampu mengukur apa yang terjadi dihari esok.

Kini, aku harus belajar ulang tentang menghayati makna dari apa yang engkau perkenalkan dengan sebutan 'Taufiq' (sesuai), yaitu perlunya menghadirkan persesuaian antara keinginanku dan keinginanMu untukku atas kehendakMu.

Pada titik ini, Einstein nampaknya tak hanya saintifis, tapi juga filosofis sekaligus religius.  Terlihat dari apa yang ia kemukakan 'tak semua yang dihitung dapat diperhitungkan, tak semua yang diperhitungkan dapat dihitung'. Pemahaman awamku, bahwa dibalik usaha manusia ada Tuhan sebagai Penentu hasilnya.

Sampai pada ahirnya, Keputusan harus kubuat, dimana arus lalu-lintas,  udara yang ku hirup, dan tanah yang ku pijaki, menggiring ku untuk sampai ke tanah ini. Ku tak tau skenario apa yang Engkau siapkan untukku diatas tanah yang baru saja ku pijaki ini. Dengan kedangkalan ku, aku tetap yakin akan kebaikan tentang keseluruhan dari rencanaMu.

Engkau mengatakan fantasyiru fil ardi wabtagu min fadlillah.. Bertebaranlah di muka bumi untuk menjemput keutamaanMu (RezekiMu). Bertebaran, bukan bertumpuk atau berkerumun.

Jagalah aku untuk tetap melibatkanMu dalam tiap langkah yang kuambil. Terimakasihku padaMu karena tiap pertanyaan yang ku munajatkan selalu engkau jawab dengan caraMu. yang ku takutkan ialah jika engkau mendiamkanku disaat aku terdesak untuk terus melangkah. Lalu pada siapa lagi partner Pemberi keputusan yang tepat untukku bersandar.

Sudah menjadi rumus kehidupan paling mendasar, perubahan hanya akan dihasilkan dari 'gerakan' yaitu berpindah dari satu keadaan ke keadaan yang lain.

Bismillahi Tawakkaltu.

Hari Pertama sudah dilewati, kini hari kedua di Tanah Sorong. Dan untuk seterusnya tak tau hingga kapan. Inilah ikhtiarku. TakdirMu yang menggiringku untuk menjalani amanah baru ini.

Sejak mei 2012 pertama kali kaki berpijak di pulau sulawesi, hingga kini september 2021 pijakan harus ku angkat untuk sampai pada titik yang lain. 

Makassar,, tanah yang baik, ada banyak cerita di tanah ini. dan sekali lagi syukurku ialah telah diperjumpakan dengan orang-orang baik pada setiap tempat yang telah dan yang hendak ku tuju.

Selanjunya ku akan memainkan peranku mengikuti skenarioMu. Mengalir seperti air. Mengikuti arus yang Engkau takdirkan.

hidup ialah tentang datang dan pergi, mengukir cerita, lalu memberi makna pada setiap lembaran, hingga ceritamu layak dikenang atau entah mungkin dilupakan.(Abdul Ghani, Dosen UNIMUDA Sorong)


Sorong, 7 september 2021

Abdul Ghani (Dosen UNIMUDA Sorong)

Sabtu, 19 Juni 2021

Menenteng buku dan kotak kacamata


Sejenak aku lewat di depan Pos security sambil menenteng buku dan kotak kacamata. Seperti biasa ku memberikan senyum kepada bapak penjaga yang bertugas, yah hitung-hitung ‘senyum sebagai ibadah’ paling tidak untuk mengimbangi ibadah lain yang kadang diikuti oleh kelesuan yang tak pernah mampu untuk sempurna.


Si bapak security menyapa dengan pertanyaan. Apa itu pak ? oh ini pak dari mengambil buku yang ketinggalan, jawabku. Si bapak berbalik mengomentari, wah bapak ini sudah mengajar kok masih belajar. Hanya ku jawab dengan senyum kecil dan berkata ‘itulah pak, hhee’.


Dalam hati jawabanku sebenarnya panjang kali lebar, yah tak kusampaikan, karena umumnya orang hanya ingin mendengarkan apa yang mereka ingin dengar tidak semata-mata tentang apa yang benar. Sehingga di alam realita kadang terjadi disinformasi yang berhujung pada post truth, yaitu berita yang terlalu melampaui kebenaran dimana fakta kalah membentuk opini public dibandingkan dengan emosi dan keyakinan personal.


Apa maksudnya ? si A yang sedang duduk menikmati pemandangan disebuah gedung tinggi lalu diamati oleh si B. lalu diceritakan kepada si C oleh si B. penambahan cerita lebih sering terjadi dari pada pengurangan hingga si C memahami bahwa A hendak melakukan bunuh diri. Lalu sampai kepada telinga si D bahwa si A sudah mati bunuh diri di sebuah gedung. Besoknya si D tak sengaja berpapasan dengan si A dijalanan, ia kaget mengira itu adalah arwah yang berjalan gentayangan. 


Dari sini, antara pesan dan realita sudah jauh berbeda, orang tak selalu ingin mendengarkan apa yang benar melainkan apa yang mereka (suka) ingin dengar.  Sehingga seorang yang pandai dalam beretorika mengerti betul bagaimana cara memanipulasi lawan tutur untuk mengikuti apa yang mereka inginkan. sepertinya kita harus banyak belajar dari teori dan praktek seorang sales dan Multi Level Marketing. Hhee


Kembali pada jawaban yang terlintas dalam hati dan pikiran, itulah yang ingin kujawab dalam tulisan ini dan diperuntukan bagi siapa saja yang senang membaca. Mengapa sudah mengajar masih mau belajar ? pertanyaan ini sederhana namun begitu dalam untuk dijawab. 


Jauh sebelum diperkenalkan istilah “Long Life Education” alias pendidikan seumur hidup di era modern ini, kurang dari seribu lima ratus tahun yang lalu Islam melalui nabi Muhammad saw sudah memperkenalkan  belajar itu ‘minal Mahdi ilallahdi’ dari kita lahir sampai kita mati.


Seorang yang saleh secara ritual, jika lalai atas kewajibannya lalu merasa bersalah seharusnya agar kesadaran akan kesalehan itu berimbang ‘berdiam diri tak menambah pengetahuan pun harusnya merasa berdosa’, sebab itu juga wajib. Wajib belajar bukan hanya 9 tahun atau sampai 13 tahun hingga meraih gelar sarjana saja. Sebab ‘yang kita bicarakan disini adalah ilmu bukan ijazah’. Ilmu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanat konstitusi bukan sekedar ijazah untuk melamar pekerjaan.


Semakin tinggi tingkat pendidikan harusnya semakin sebanding dengan tingkat kesadaran. Kesadaran akan apa ? bukan sadar karena sudah hebat, melainkan sadar masih banyak yang belum diketahui. dipuncak kesadarannya akan pengetahuan Socrates mengingatkan kita ‘hanya satu yang aku tau yaitu aku tidak tau’. 


Taukah engkau perbedaan orang bodoh dan cerdas ? Orang bodoh tak dapat mengetahui kebodohannya karena ia tak punya alat untuk itu (yang seperti ini biasanya merasa pintar). orang cerdas dapat mengenali dan mengukur ilmunya hingga ia sadar luasnya samudra pengetahuan sementara yang baru dia raih hanya secuil hinga ia harus malu atas ‘perasaan bodohnya’. 


Sebelum tulisan ini berahir, ada satu poin lagi yang ingin sedikit diurai dari baris paling pertama pada tulisan ini yaitu ‘Buku dan Kotak kaca mata’. Keduanya menjadi kombinasi yang terdengar waow bangetz, seolah menggambarkan diriku yang kutu-bukunya masyaallah,hhee… Tentu jawabannya Tidak, Tidak, dan sama sekali Tidak !. inilah yang bung Roland Barthes juga mengatakannya sebagai mitos ‘Kacamata’. Yaitu menggeser makna kacamata dari makna aslinya ke makna lain dan diyakini sebagai kebenaran’.  Mendefinisikan kacamata sebagai kutu buku dan menggambarkannya sebagai ciri orang pintar adalah kesalahan, sebab untuk pintar syaratnya ‘belajar’ bukan pakai kacamata. Sementara makna kacamata yang sebenarnya ialah menggambarkan orang yang ‘sakit matanya’. Dalam kehidupan sehari-hari terlalu banyak praktik mitis yang sering kita konsumsi dan diterima sebagai definisi fundamental.


Sederhananya, poin tulisan ini hanya dua, pandai dalam membaca realita dan pengingat akan wajib belajar seumur hidup.


Jika pemahaman yang kita miliki dibangun hanya dari apa yang dilihat dan sekedar didengar, itu terlalu mengindikasikan konstruksi berfikir yang belum kokoh dan world viw yang masih rapuh hingga anda akan rentan menjalani hidup dalam dunia manipulatif.  Dan Jika tidak shalat takut dosa, maka sedetik saja bermalasan untuk tidak belajar juga seharusnya berdosa karena ia juga adalah wajib. 


Sekian dan wallahu alam..

Salam hangat..

Abdul Ghani..

Abdul Ghani (Dosen Unimuda Sorong)

Selasa, 18 Mei 2021

Kemanusiaan berjalan dengan sebelah kaki, Pincang tak dapat berdiri Tegak

Kemanusiaan berjalan dengan sebelah kaki tak dapat berdiri Tegak



Mengawali narasi singkat ini, saya mengutib Qs 2 : 120 : 

وَلَنْ تَرْضٰى عَنْكَ الْيَهُوْدُ وَلَا النَّصٰرٰى حَتّٰى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ 


"Dan orang-orang Yahudi dan nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti Millah mereka. 

Dan pada banyak ayat lain Bani Israil disebut sebagai ummat yang tak mau bersyukur (tidak berterimakasih atau merasa puas).

'Bani Israil' pada dasarnya ialah nama yang sangat religius. Bermakna Anak-keturunannya Israel. Siapa Israel ? Dalam bahasa ibrani Isra bermakna Hamba dan El bermakna Tuhan. Israel ialah Hamba Tuhan yang sepadan dengan Abdullah dalam Bahasa Arab bermakna Hamba Allah. Israel ialah julukan pada Nabi Ya'kub as. Dan istilah bani israil ialah anak keturunan Ya'kub. Yang paling masyhur ialah Yahudi dari Yahuda anak ke 4 dari Bani Israil yang keturunannya mendominasi kisah anak Ya'kub.

Ketidak-relaan Yahudi (atas ajaran Muhammad) menggunakan lafaz (لن) sekali-kali tidak akan pernah sampai kapan pun, sementara nasrani dalam ayat tersebut diperantarai oleh (و Atof) bermakna sama-sama tidak rela namun setelah lafaz Nashara (Nashrani)  hanya menggunakan (لا = tidak) masih ringan ketidak relaannya daripada لن (tidak akan pernah rela). Mungkin itu salah satu alasan mengapa sangat jarang dan hampir tidak pernah terdengar 'Yahudi memeluk Islam' dari pada Nashrani yang sering disaksikan dimana-mana banyak yang Muallaf.

Orang yang melihat secara skriptual menyadari bahwa  konfrontasi Yahudi atas palestine sebagai realita yang menerjemahkan diri secara konsisten berdasar berita yang pernah dikabarkan Tuhan (لن) 'sekali-kali' tidak akan pernah berahir kecuali dengan berahirnya kehidupan.

Spekulasi apapun yang dibangun oleh Zionis, orentalis maupun liberalis tak akan pernah bisa membenarkan pembantaian atas nyawa Manusia. Tak perlu menjadi Muslim untuk membela palestine, cukup kita menjadi manusia. Kalaupun tidak bersaudara karena satu keyakinan, atau tidak bersaudara karena berbeda Tanah Air, satu hal yang penting bahwa kita masih bersaudara karena sesama Manusia.


Dunia tak seharusnya menutup mata atas realita, nyawa demi nyawa direnggut. Pembunuhan oleh yahudi dibenarkan dengan dalil bukan soal keyakinan tapi persoalan perbatasan wilayah (politik) 'kalian tak perlu ikut campur', disisi lain ekspansi dilakukan atas doktrin keyakinan mereka bahwa mereka kembali kepada Tanah yang dijanjikan (dalam kitab suci mereka) sebagai hak atas warisan nenek moyang.


Inilah salah satu brand berfikir yang pernah dikritik tajam oleh jamaluddin al-Afghani, bahwa nasionalis barat dibanggakan sebagai negarawan, sementara nasionalis timur (Dunia Islam) dipropagandakan sebagai teroris.  Kekurangan baju seperti di Papua bagi mereka itu adalah terbelakang, tapi hampir tidak berpakean di Pantai bali dimaknai itulah kemajuan.


Pembulian atas Idiom kerap terjadi, satu tindakan yang sama tapi memiliki makna berbeda ketika dilakoni oleh aktor berbeda. Ini akan menjadi yang saya sebut sebagai 'kebrengsekan berfikir' jika diadopsi juga oleh generasi tanah air. Yah begitulah, kita terkadang asyik menjebak diri untuk berapologi dibawah inferioritas. Bermental kalah tapi masih turut juga membenarkan kekalahan dengan mengusung diri sebagai moderat dan melirik-lirik siapa sih si 'Radikal' dan ekstrimis. Padahal bulshit, bagi saya itu hanya stigma yang belum muve on atas prodak propaganda yang justeru semakin menciptakan sekat berfikir. Sejak zaman penjajahan belanda pola menghadap-hadapkan sudah sering terjadi dengan istilah devide et impera, dimana pribumi dibuat tak lagi memikirkan siapa musuh bersama tapi malah saling memusuhi sesama, maraklah perpecahan. 


Stop mengonsumsi idiom yang menikam diri, yang memperlebar kesenjangan persaudaraan. menjadi terang bukan dengan membakar tapi kamulah yang harus bersinar. Menjadi benar tak perlu menyalah-nyalahkan tapi tampilah dengan jujur apa adanya. Dihadapan kita Ada hal besar yang lebih membutuhkan perhatian dari pada sibuk menunjuk atau menfatwa sana-sini. Menggagas masa depan yang visioner jauh lebih penting dari pada sibuk memberi predikat pada orang lain. Bersikap inklusif, ideal, moderat, tak perlu diikutkan dengan rasa sinis pada mereka yang dinilai berseberangan, cukup tampillah sebagaimana cara engkau berfikir. 


Mungkin kita harus mengambil salah satu hikmah mengapa Nabi muhammad saw tidak menyatukan manusia dibawah panji kemanusiaan semata seperti sosialisme, sy membenarkan anggapan bahwa doktrin sosialisme hanya akan semakin mempertajam kelas, masyarakat tanpa kelas yang semakin menciptakan kelas, kaum proletar diajari untuk membenci kaum borjuis, buruh didoktrin untuk memusuhi kapital, yang pada puncaknya proletar jika menumbangkan borjuasi akan membentuk diri sebagai borjuasi baru. lihat China, sosialis tapi kapitalis, endingnya sama saja. Maka perjuangan Muhammad bukan sekedar sosialis karena ada potensi terciptanya sekat berfikir dan permusuhan kelas antara proletar dan borjuis, maka لا اله الا الله kalimat persatuan tanpa sekat tanpa kelas.


Mereka yang berkorban nyawa mempertahankan wilayah, tak punya senjata lemparan batupun jadi senjata, melawan peluru hanya dengan berdemonstrasi karena tak kuasa anak, istri, rumah, dan tempat mereka dilahirkan diambil alih tak kenal kompromi. Siapa sebenarnya yang teroris. Ini harusnya menjadi PR kemanusiaan bagi dunia Internasional. Barat yang begitu lantang meneriakan Humanisme menjadi Kalem-adem ketika dehumanisasi dilakukan oleh mereka yang se-Genre dengannya. Kemanusiaan masing berjalan dengan sebelah kaki, pincang tak dapat berdiri tegak.


Kebenaran harus terus disuarakan, pembunuhan tak boleh dibenarkan, kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan. Tak ada satu manusiapun yang dilahirkan oleh ibunya sebagai budak, seluruhnya adalah Merdeka, manusia yang memperbudak manusia ia mengingkari kemanusiaannya. Dunia harus bersikap, sampai kapan kemerdekaan sebuah bangsa ditentukan dan dimonopoli oleh segelintir adidaya. Bukankah mereka juga manusia ?


Amanat undang-undang dasar kita 'kemerdekaan adalah hak segala bangsa, oleh sebab itu Penjajahan diatas dunia haruslah dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Dulu Palestin sudah dengan gagah berani mengakui Indonesia sebagai negara merdeka yang berhak berdaulat, sekarang pengakuan yang sama mereka butuhkan untuk menjalani kehidupan yang layak sebagai Manusia.


Mari mangambil bagian menyuarakan kebenaran dan menolong saudara kita berdasarkan kapasitas. jangan dulu level mengorbankan nyawa kesana, toh semua orang akan mati, namun sudikah kita berkorban harta untuk mebantu saudara-saudara kita. Seribu rupiah tak terlalu berarti bagi anda namun begitu berarti bagi saudara kita di palestine. (paragraf terahir ialah Pelajaran penuh hikmah dari Kh Ahmad Dahlan).


#Persaudaraan karena sesama Manusia tak mengenal batas teritorial dan batas keyakinan. Kemerdekaan untuk Palestina🤲 


Abdul Ghani

Rabu, 19 Mei 2021

Abdul Ghani (Dosen UNIMUDA SOrong)

Sabtu, 15 Mei 2021

لولا المربي ما عرفت ربي,




لولا المربي ما عرفت ربي

Ramadhan 2021, alhamdulillah ala kulli hal masih diberi kesempatan oleh yang kuasa untuk bersilaturrahim dengan para sesepu.

Paling kanan adalah kak Irfan Islami, yang sudah punya segudang pengalaman dan ilmu. Dulu waktu nyantri angkatan kami banyak berinteraksi dengan beliau. Dari persoalan belajar, menegakkan disiplin, rihlah, hingga ke gunung ngangkut kayu bakar pake truk besar. 💪😢Hhee

Yah, kalo santri yang sekarang sih enak apa-apa langsung jadi dan langsung saji. Tapi, minusnya disitu, di 'rumus kehidupannya',  kata orang Hidup itu seperti mengayun sepeda, agar tetap seimbang kamu harus tetap bergerak, ada kalanya tanjakan ada kalanya penurunan. Saat nanjak memang berat tapi yakin pemandangan di ketinggiannya indah mempesona. Kalau kamu berhenti berayun kamu akan mundur ke belakang terlempar lalu terjatuh. Jikalau kamu bersikap keras terhadap hidup, ia akan lunak padamu. Tapi kalau kamu yang lunak, lembek, apa-apa serba mengeluh atas hidup maka jangankan kehidupan bahkan berkedip mata pun akan terasa berat bagimu. Sekarang beliau kak Irfan dengan Ilmunya dari Mesir dan UI ia menjalani tanggung jawab akademik di Univeraitas Yarsi jakarta.

Bagian kirinya kami panggil Pak Aji. (drs. H. Asyikin) pendiri pondok pesanteren tempat kami belajar menempa hidup. Beliau sosok yang luar biasa, merupakan orang tua bagi kami seluruhnya. Sekarang Al-kautsar telah mencetak banyak alumni yang berpencar ke berbagai penjuru. Nabi menyampaikan dalam hadisnya bahwa hal yang tidak terputus dan akan terus mengalir pahalanya meski anak adam telah wafat ialah ilmu yang bermanfaat, amal jariyah, dan doa anak yang saleh. In syaa Allah ke tiga-tiganya tercapai pada lembaga pendidikan yang senantiasa mencetak generasi penerus dan generasi harapan. Yang disampingku adalah ustzd Luqman, dulu beliau adalah kepala sekolah kami saat MTS.

Teringat apa yang diulang-ulang dulu oleh para Musyrif "proses itu hasilnya memang tak kamu rasakan hari ini, tapi tunggu nanti, kelak, lima atau sepuluh tahun, atau belasan tahun kedepan setelah kamu selesai dari sini baru kamu mengerti dan merasakan". Tiap kita tentu harus jujur dengan itu, bahwa 'orang yang menanam tomat tak mungkin hasilnya Batu'. Selalu sesuai apa yang kamu tanam. Ada kalanya buah yang kamu petik itu maksimal adakalanya minimal, kalau minimal ya  artinya kamu masih harus berintropeksi diri dan berusaha lebih bersungguh-sungguh lagi.

Siapapun yang memasuki gerbang pondok kini dapat membaca dengan jelas  tulisan penuh makna pada temboknya

'لولا المربي ما عرفت ربي'

 jikalau bukan karena (didikan) Guruku, ku takkan mengenal Tuhanku.

Terimakasih kepada para guru sebagai orang tua kedua  bagi kami. Ooiyah, foto kedua adalah dokumentasi beberapa waktu lalu dengan saudara-saudara seperjuangan saat mondok. Watak mereka macam-macam, ada yang dikenal karena yang gokil, menjengkelkan, adapula karena kecerdasannya bahkan dianggap genius.

Demikianlah potret kecil dari kehidupan, kita tak harus mengasingkan diri karena tak suka antara satu-sama lain, melainkan harus berinteraksi dan belajar menerima keberagaman. Pelajajaran hidup tak kalah banyak dari pelajaran kelas. Salam sukses bagi para طالب العلم yang sudah terjun pada profesi dan pekerjaan masing-masing.

 

Catatan liburan ramadhan 2021.

Abdul Ghani (Dosen Unimuda Sorong)

A G

Sabtu, 17 April 2021

Puasa (dialektika Iman dan Sabar), Abdul Ghani

 



Puasa (Dialektika Iman dan Sabar),

Oleh : Abdul Ghani

Dalam Qs al-baqarah : 183, orang beriman diseru oleh Tuhan untuk menjalankan ibadah puasa. yang diseru ialah orang beriman bukan orang mukmin (lihat permulaan surah al-mu’minun). Yang mana konotasi mukmin ialah ia yang sampai pada level iman paripurna sementara beriman ialah ‘kata kerja’, selama ia ada imannya maka selama itu ia diseru untuk berpuasa. sebagaimana penjahat dengan orang yang berbuat jahat. Kalau penjahat maka segala hal yang ia lakukan kapanpun dan dimanapun adalah jahat, tapi kalau orang ‘berbuat jahat’ artinya yang jahat hanya perbuatannya disaat itu saja. 

Maka seruan oleh ayat ini, seluruh orang yang percaya kepada Allah sebagai Tuhan (dalam islam) apakah ia orang beriman yang masih suka berbohong maupun orang beriman yang jujur, orang beriman yang malas ibadah maupun yang rajin, orang beriman awam mapun yang ulama, penjahat maupun ahli ibadah, selama ada iman dalam dirinya maka selama itu ia wajib berpuasa. Seolah ada makna tersirat bahwa puasa adalah konsekswensi iman artinya siapa yang tidak mau puasa patut dipertanyakan kembali keimanannya.

Puasa merupakan ibadah yang paling menguji tingkat ‘Sabar’. Ada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah

الصيام نصف صبر (رواه إبن ماجة)        puasa ialah separuh dari sabar                    .

Mengapa sabar ? karena hampir seluruh kesabaran kita diuji saat berpuasa. Bebicara soal sabar ini perlu kita klasifikasi dulu agar menjadi jelas uraiannya dan agar tak salah memaknai dan menempatkan kata ‘sabar’.

Diantaranya yaitu ‘sabar dari’ dan ‘sabar untuk’. Pertama ‘sabar dari’ yaitu atas apa yang menimpa. Dalam Qs al-ankabut : 2 : manusia dikabarkan menggunakan sighah istifham (pertanyaan) namun bermakna khabar (berita) yang menginformasikan kepada manusia bahwa mereka yang mengaku beriman apakah dibiarkan saja beriman tanpa diuji ? Artinya orang yang telah berikrar beriman pasti dan pasti mereka akan diuji. Rumusnya ujian ada yang lulus dan ada yang gagal. Ia yang lulus dengan ujian akan naik ke level iman lebih tinggi namun ia yang gagal masih harus berintropeksi diri mungkin ada yang kurang atau ada yang keliru dari cara ia beriman dan menjalankan keimanannya.

Ujiannya ada bermacam-macam. Ada orang yang diuji dengan kesusahan atau kekurangan harta, diuji dengan kekayaan, dan adapula yang diuji dengan jabatan. Ia yang diuji dengan kesusahan Tuhan ingin melihat apakah dengan kesulitan yang ia alami menjadikan ia sebagai pribadi yang tetap bersabar dan berusaha atau malah ia melecehkan Tuhan atas ujian yang dialaminya. Pernah saya berada di suatu forum tasyakuran, salah seorang yang berada disitu menceritakan ada pemuda dari kerabatnya yang mencaci maki Tuhan atas jeleknya hasil panen bahkan ‘kata yang ia anggap ‘lelucon’ atau sekedar guyonan kekesalan’ sampai ia mengatakan ingin menyihir Tuhan seandainya bisa. Na’udzubillah. Walaupun Tuhan yang maha menilai tapi pribadi seperti ini mengindikasikan ‘orang yang gagal dalam ujiannya’ dan tak akan naik kelas.

Ada yang diuji dengan materi (harta) Tuhan ingin melihat apakah ia bersyukur dengan hartanya atau tidak. Apakah ia tetap memperhatikan bagaimana harta itu diraih, dan bagaimana ia dibelanjakan, suatu kasus juga sejauh yang saya tau, tentang seorang yang diingatkan untuk mengeluarkan zakat mal, ia menjawab ‘saya mau beli mobil’ sehingga dijadikan alasan untuk tidak mengeluarkan zakat mal padahal mencapai nisab. Dalam Qs attaubah : 103, sebagai landasan mengeluarkan zakat mal, bahwa dalam harta yang disimpan terdapat hak orang miskin apakah orang miskin yang datang meminta maupun yang tidak datang meminta.

Dalam ajaran agama islam ada lima pokok hukum ajaran islam yang harus dijaga keberlangsungannya. Diantaranya hifzuddin (memelihara agama), hifzunnafs (memelihara diri dan orang lain), hifzunnasl (memelihara keturunan), hifzulmal (memelihara harta), dan hidfzul aql (memelihara akal).

Untuk memelihara harta bukan berarti ditumpuk agar menjadi banyak, seperti air yang dibendung tak dibiarkan mengalir maka airnya akan membusuk, berulat, kotor dan menimbuilkan penyakit. Demikianlah pula dengan harta Jika tak dikeluarkan sesuai nisabnya maka akan bercampur dengan hak orang miskin didalamnya. Akan ada saja cara Tuhan mengambilnya dari orang kaya yang kikir, apakah berupa didatangkan penyakit yang sulit disembuhkan hingga tumpukan harta habis untuk biaya berobat.

Selanjutnya ada orang yang diuji dengan jabatan. Tuhan ingin melihat apakah dengan jabatan ia menjadi amanah atau khiyanah. Abu Bakar Assidik ketika dibaiat menjadi khalifah diantara penggalan pidatonya ia sampaikan dihadapan kaum muslimin ‘aku sesungguhnya telah menjadi wali kalian walau aku tidak lebih baik dari kalian, barang siapa yang menemukan aku salah maka koreksilah aku dan siapa yang menemakan aku benar dukunglah aku, kebenaran adalah amanah dan dusta adalah khiyanah, siapa diantara kalian yang merasa lemah bagiku kalian adalah kuat karena aku akan memenuhi hak-hak kalian, dan siapa yang merasa kuat bagiku kalian lemah karena aku akan mengambil harta kalian (untuk didistribusikan sesuai nishabnya).

Dari penggalan pidato Abu Bakr dapat dinilai sesungguhnya menjadi pemimpin ialah untuk mengushakan kesejahteraan bukan untuk memperkaya diri atau kelompok. Hadis nabi saw : la imana lima la amanata lahu’ tidak beriman orang yang tidak amanah.

Demikian macam-macam ujian bagi orang yang telah mengikrarkan iman. Hanya saja orang selalu diuji sesuai dengan kadar keimanannya. Orang yang diuji dengan perkara besar jangan bersedih hati artinya dengan begitu disisi Tuhan anda dianggap layak karena ujian itu sebanding dengan kadar iman anda, sebaliknya orang yang diuji dengan perkara sepeleh harus merasa curiga jangan-jangan disisi Tuhan level saya memang segini. Sehingga dari bangunan berfikir yang Tauhidi memandang segala persoalan dalam rangka berprasangka baik pada Tuhan bukan malah sebaliknya melecehkan Tuhan.

Kedua ialah ‘sabar untuk’ yaitu sabar untuk beristiqamah dalam ketaatan. Momentum bulan suci ramadhan kesabaran kita betul-betul direviw oleh Tuhan. Dari hal yang sepeleh keinginan untuk makan dan minum kita diminta untuk menahannya, ada kebiasaan diluar puasa menggibah orang lain kita bersabar menahan diri untuk itu. Segala perilaku tercela kita tahan dan menggantinya dengan kebaikan, dari cara berfikir, bertutur, hingga cara bertindak. Ada keletihan untuk menjalankan ketaatan namun dalam keletihan itu kita diuji untuk bersabar sehingga dipersimpangan jalan kita didapati sebagai orang yang sabar untuk beristiqamah ataukah malah menyerah dengan keadaan.

Dalam Qs al-baqarah : 155 allah menjanjikan untuk diberi kabar gembira atas orang-orang yang sabar setelah sekian banyak review keimanan yang dialaminya. Wabassyirissobirin ‘ berilah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar”.

Untuk memberikaan stimulus atas puasa yang kita jalani mungkin kita perlu sedikit merekonstruksi paradigm berfikir tentang puasa. Yaitu puasa sebagai ibadah yang membelenggu ataukah sebagai pembebas’.

Puasa sebagai pembebas sedikit terdengar keterbalikan dari amaliyahnya, sebab yang dirasa bukanlah pembebas melainkan mengekang, ia mengekang segala rasa ingin apakah dari keinginan nafsu perut maupun nafsu syahwat yang kebanyakan manusia seharusnya ia yang memimpin dua hal ini tapi tak jarang dua hal ini yang malah memimpinnya. baru diberi sedikit rasa lapar (Qs 2 : 155) Orang rela melakukan apa saja demi desakan perut, hawatir besok makan apa itu sudah mendurhakai Tuhan, Qs Hud : 6 : bahwa tiada satu hewan melata pun dimuka bumi melainkan telah ditentukan rezekinya. Tapi, Jangan juga dengan dalil itu kamu duduk berpangku tangan, rezeki disipkan Tuhan itu benar, tapi kalau tidak dijemput ya masa mau tunggu Tuhan mengantarkannya di rumahmu. Rezeki disipkan Tuhan tapi manusianya harus aktif bergerak. “Tak perlu hawatir selama kamu masih punya Tuhan”. Demikianlah nafsu syahwat suka merengek seperti anak-anak ‘annafsu ka attifli’, setelah minta ini mau minta itu, dikasih itu minta itu lagi tak ada batasnya, kalau manusia menghamba pada yang satu ini maka gunung dan lautan pun dikasi ia takkan pernah cukup. “sederhananya, bukan syahwat dan perut yang semestinya mengkondisikan kita tapi kitalah yang mengkondisikan keduanya supaya tidak Rusuh”. Maka dibutuhkan riyadhah (latihan) melalui puasa ramadhan yang dijalani penuh kesungguhan untuk mengkondisikan “kerusuhan batin” yang dapat berdampak pada kerusuhan personal hingga social.

Pierre F. Bourdieu mengistilahkan kebiasaan tertentu dengan “habitus”, contoh, orang yang biasa curang satu kali diminta adil itu terasa asing dan berat baginya, sebaliknya orang yang biasa adil satu kali diminta curang atau melihat kecurangan itu terasa berat luar biasa. Terjadi gejolak batin yang begitu hebat ketika orang keluar dari kebiasaanya. Orang yang disiplin berpuasa, satu kali meninggalkannya akan merasa sangat rugi, sebaliknya orang yang tidak disiplin akan merasa sangat menderita untuk berpuasa. Sudah menjadi kebiasaan. Kebiasaan hanya bisa dirubah dengan kebiasaan, hal yang tak terbiasa masih bisa dibiasakan selama ada rasa ingin (niat).

Imam Algazali mengkategorikan puasa pada tiga tingkatan, yang pertama ialah puasanya orang awam (umum) yaitu menahan diri dari dua hal yang disebutkan diatas. Pada tahap ini dapat dimengerti kita akan berada pada level “segalanya adalah kekangan” karena segalanya dibatasi. Kedua ialah puasa orang khusus ; yaitu bukan hanya menahan makan dan  minum. Berapa banyak orang menahan makan dan minum tapi tak menahan lisannya untuk menyebar fitnah, tak menahan keputusannya untuk berlaku curang dan tidak adil, tak menahan diri dari melakukan hal yang tidak berguna. Maka pada tingkat kedua ia menahan bukan hanya nafsu tapi juga dari perilaku tercela yang pada dasarnya tidak membatalkan puasa tapi merusak nilai puasa. Nabi bersabda “rubba min soimin laisa lahu min siyamihi illalju’wal atsi” betapa banyak orang berpuasa tapi tidak mendapatkan apa-apa selain lapar dan dahaga. Dan pada tingkat ketiga yaitu puasanya khawasul khawas yaitu yang lebih khusus dari orang-orang khusus.

Kalau puasa orang khusus yaitu menahan diri dari niat tidak terpuji, artinya ada niatnya tapi ia menahannya. Namun khawasul khawas jangankan berbuat curang, berfikir untuk berbuat curang saja tak ada. Jangankan mau maksiat, berfikir tentang maksiat saja itu tak ada. Itulah level para Nabi, orang-orang shaleh dan kita berupaya meneladani mereka. Orang yang mampu sampai pada level ini adalah ia yang betul-betul bersabar dengan segala kesugguhan.

Sehingga hasil dari kesabaran (puasa) tersebut melahirkan pribadi yang ‘Taqwa’. Abu hurairah pernah ditanya soal taqwa, ia mengilustrasikan sebagai ‘orang yang berjalan disekitaran duri, kira-kira apa yang akan dia lakukan’ tentu ia akan memperhatikan setiap langkah, waspada dan hati-hati. Demikianlah taqwa yaitu orang yang lulus menjalani ujian kesabaran (puasa) akan lahir menjadi pribadi yang hati-hati.

Mengenai soal kehati-hatian, dalam Qs attahrim : 6 ; Tuhan menyeru/memerintahkan kepada kita untuk memelihara diri dan keluarga dari api neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan batu. Menggunakan kata ‘qu’ yaitu  fiil amr dari bangunan kata yang sama dengan kata ‘taqwa’ dari kata waqa yaqi wiqayah’.  Sederhananya orang yang bertaqwa ialah orang yang memelihara diri dan keluarganya agar tak menginjak duri api neraka.

Selain pencapaian taqwa lewat puasa juga ialah kita dilatih untuk takhallaq bi akhlaqillah yaitu berahlaq dengan akhlaq Allah. Tuhan ialah zat yang sifat jamaliyah (keindahan) jauh lebih besar daripada keperkasaannya (jamaliyah), cintanya jauh lebih besar dari pada laknatnya. Itu tercermin dari asmaul husna bahwa nama yang menggambarkan kasih sayang lebih dominan dari yang menggabarkan ‘kesangaran’Nya. Lewat puasa kita dilatih untuk lebih mencerminkan sikap kasih sayang walau Allah yang Maha penyayang,  belajar memaafkan walau allah yang Maha pemaaf, allah tak makan kita dilatih untuk tak makan, allah maha kuat kita dilatih untuk menjadi pribadi yang kuat, walau yang menyandang kata ‘Maha’ hanyalah allah sebagai Tuhan. banyak orang yang bertuhan tapi tak banyak yang berkarakter ketuhanan, bertuhan ialah kesiapan individu dalam menerima Tuhan sebagai kepercayaan, sedangkan berketuhanan adalah esensinya yang termanifestasi dalam perilaku manusia (takhallaq bi akhlaqillah)

Tuhan cinta kepada hambanya, Lewat puasa Tuhan ingin agar dekat dengan yang dicinta, maka puasa sebagai jalan yang dapat mengantar hamba dekat dengan Rabnya. Ibarat hubungan dua orang, kalau ada yang ketiga dianggap pengganggu, usir dia supaya kamu bisa lebih dekat. bebaskan diri dari belenggu nafsu dan usir segala bisikan setan (baik dari manusia maupun jin) karena itu adalah pengganggu harmonisasi hubunganmu dengan Tuhan. Allah itu cemburu dan kecemburuannya kalau kamu lebih memilih hal yang dilarangnya. Tuhan ingin bertemu dengan hamba yang dicintanya, kita dikasih jalan Tuhan sudah menunggu diujung jalan, kalau kita tak sampai tentu Tuhan kecewa.

Melalui puasa kita digembleng menjadi pribadi yang lebih baik, kalau tak ada hasil perbaikan yang dicapai berarti puasa kita gagal. Selamat berpuasa semoga kita mampu meraih predikat Taqwa.

Dompu, 17 april 2021

A G

Abdul Ghani (Dosen Unimuda Sorong)

Jiwa-jiwa Aktivis yang terlelap, Abdul Ghani

Hari ini touring ke Pulau Arar,   bersama anak-anak muda yang ambisius, mendiskusikan berbagai gagasan. Dari sekian pembahasan terselip ba...