Bicara soal pemuda adalah pembicaraan yang tak pernah dan tak boleh usai, karena sampai kapanpun kaum muda terus menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan berbangsa. Kita sudah cukup khatam untuk bernostalgia akan peristiwa-peristiwa heroic masa lalu. Tentu yang kita inginkan bukan hanya nostalgia belaka, sangat tidak kreatif jika hanya itu yang terus dibicarakan.
Sebelum jauh mengurai, kita patut lebih spesifik untuk bertanya
“siapa sesungguhnya pemuda” ? apakah ia yang terikat secara definisi ? yaitu
mereka yang sedang mengalami fase penting periode pertumbuhan antara 16 sampai
30 tahun ? lalu bagaiaman dengan nasib mereka yang lewat dari sekedar predikat angka
?
Secara formal, definisi ini boleh saja dipakai. Tapi jika hanya ini
yang dijadikan acuan maka ini tidak hanya mendiskriminasi mereka yang terus
berfikir muda walau usia sudah tua, namun juga menafikan kenyataan bahwa banyak anak-anak muda secara fisik
namun Tua renta akan gagasan dan isi kepala. Olehnya itu saya cenderung
senang menciptakan definisi tersendiri akan siapa yang layak menyandang gelar
pemuda.
“Muda” bagiku adalah soal karakter dan gaya berfikir, tidak
semata-mata tentang usia. Betapa banyak mereka yang muda akan usia namun dalam
pikiran dan tindakan seolah sedang menunggu datangnya ajal, pasrah dan apatis
akan realita, tidak peduli lingkungan, dan hanya mampu berfikir secara
mekanistik, yaitu kuliah, kerja, punya pendamping hidup, dapat gaji bulanan, tunggu
tua, lalu mati. bagiku substansi pemuda ialah mereka yang progresif, visioner
untuk terus menggagas, dan revolusioner menerjemahkan gagasan dalam tindakan.
Kongres Pemuda II bukan sekedar tentang peristiwa, namun
harus dilihat bahwa peristiwa itu berangkat dari gagasan tentang mereka yang
berfikir kedepan bukan kebelakang, mereka yang berfikir tentang nasib bangsa
bukan semata nasib diri mereka sendiri. 1928 masih jauh dari tahun kemerdekaan
maka mereka bermimpi akan Merdeka dengan tanah air yang satu.
Jadi, yang kita bicarakan adalah soal ide dan gagasan. Eleanor Roosevelt memberi klaster seseorang
berdasarkan hierarki berfikirnya, orang besar berbicara ide, orang
biasa berbicara peristiwa, dan orang awam berbicara tentang orang lain. Inilah
krisis yang kita bisa temukan hari ini, yaitu pemuda yang lebih asyik
membicarakan orang lain daripada berbicara soal gagasan. Mereka lebih asyik
Menjalani hidup secara mekanistik, menjadi manusia-manusia setengah robot. hidup
laksana manusia tanpa kepala tampil sebagai mayat berjalan. hidup dengan fisiknya namun mati akan pikirnya.
Dalam banyak hal kita harus mengakui Kritik Markiuse terhadap manusia
modern yang tenggelam dan kehilangan identitas dirinya sebagai manusia. Manusia
semakin teralienasi kemanusiaannya. Kemajuan zaman yang seharusnya melayani kebutuhan
manusia tapi kenyataannya manusianyalah yang sibuk melayani kemajuan, hingga
Teknologi tidak menjadi sarana pembebasan melainkan sarana penindasan.
Ilustrasi Markiuse, generasi hari ini
bagaikan mereka yang sedang menaiki bus besar dengan fasilitas-fasilitas yang
nyaman. Menjadikan mereka tak sadar sebenarnya bus itu sedang mengarah pada jurang
kebinasaan. Jangan dulu berfikir bus itu sebagai institusi-institusi besar, Atau
apapun yang diluar diri. Berfikirlah, jangan-jangan Bus itu adalah diriku
sendiri.
Pemuda hari ini sibuk mengidentifikasi diri
dibalik banyaknya property. yaitu hidup demi kenikmatan dan kepuasan bukan
tentang bahagia. Happiness (bahagia) adalah level manusia yang membuat ia naik
kelas dari hayawan, karena hayawan tak mampu merasakan dan bercerita tentang
bahagia. Hayawan hanya sampai nalurinya pada level ‘pleasure’ yaitu makan untuk
bertahan hidup dan melakukan perkawinan untuk menyalurkan nafsu. Maslow
menyebutnya sebagai kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan paling mendasar.
sementara yang paling tinggi ialah aktualisasi diri, menggagas dan merekayasa
masa depan dengan kelebihan dirinya sebagai makhluq kreatif. Namun anehnya kita
banyak terjebak pada level ini, yaitu level manusia yang paling dasar (physiological
needs)
Padahal pemuda, mahasiswa dan kaum
intelektual adalah kelompok yang paling mungkin melakukan The great refusal
yaitu mobilisasi dengan kekuatan massa besar-besaran, menolak ketimpangan dan melakukan perubahan ke arah perbaikan. Mereka adalah golongan yang semestinya tetap eksis
sebagai penyeimbang status quo. Gie pernah menyindir ‘makin redupnya idealisme
dan heroisme pemuda, makin banyak korupsi’. Yaitu karena hilangnya kelompok
penyeimbang yang kritis atas kekuasaan. Pemuda seharusnya menjadi kelompok yang
terus tampil terdepan berada pada barisan yang independen, yang selalu berdiri
tegak menentang kezoliman.
Atau jika tak ingin memilih jalan idealisme,
kata Gie, lupakan saja ! silahkan ikut arus. Bergabunglah dengan group yang
kuat lalu belajarlah memfitnah dan teknik menjiat. Karir hidup akan cepat
menanjak. Atau kalau mau lebih enak, bekerjalah disebuh perusahaan yang bisa
memberikan sebuah rumah kecil, sebuah mobil atau jaminan lain, belajarlah patuh
dengan atasan, kemudian carilah isteri yang manis, lalu kehidupan selesai.
Mahasiswa dan kaum muda harusnya mengajukan untuk dirinya tentang satu pertanyaan fundamental “who am I ?” lalu katakana aku adalah seorang intelektual yang ingin mencanangkan kebenaran walau harus hidup dalam keterasingan. Namun, itulah konsekwensi memilih jalan sebagai kaum intelektual. “The eagle flies alone” elang selalu terbang tinggi, melihat lebih luas, walau harus menerima konsekwensi ia harus sendiri. Sendiri dan terasing karena kebenaran lebih baik dari pada hidup dalam kemunafikan..
Abdul Ghani..
(disampaikan dalam forum Dialog Publik yang diselenggarakan oleh IMM komisariat FKIP unimuda Sorong)