Kamis, 28 Oktober 2021

Pemuda dan idealisme, Abdul Ghani


    Bicara soal pemuda adalah pembicaraan yang tak pernah dan tak boleh usai, karena sampai kapanpun kaum muda terus menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan berbangsa. Kita sudah cukup khatam untuk bernostalgia akan peristiwa-peristiwa heroic masa lalu. Tentu yang kita inginkan bukan hanya nostalgia belaka, sangat tidak kreatif jika hanya itu yang terus dibicarakan.

Sebelum jauh mengurai, kita patut lebih spesifik untuk bertanya “siapa sesungguhnya pemuda” ? apakah ia yang terikat secara definisi ? yaitu mereka yang sedang mengalami fase penting periode pertumbuhan antara 16 sampai 30 tahun ? lalu bagaiaman dengan nasib mereka yang lewat dari sekedar predikat angka ?

Secara formal, definisi ini boleh saja dipakai. Tapi jika hanya ini yang dijadikan acuan maka ini tidak hanya mendiskriminasi mereka yang terus berfikir muda walau usia sudah tua, namun juga menafikan kenyataan  bahwa banyak anak-anak muda secara fisik namun Tua renta akan gagasan dan isi kepala. Olehnya itu saya cenderung senang menciptakan definisi tersendiri akan siapa yang layak menyandang gelar pemuda.

“Muda” bagiku adalah soal karakter dan gaya berfikir, tidak semata-mata tentang usia. Betapa banyak mereka yang muda akan usia namun dalam pikiran dan tindakan seolah sedang menunggu datangnya ajal, pasrah dan apatis akan realita, tidak peduli lingkungan, dan hanya mampu berfikir secara mekanistik, yaitu kuliah, kerja, punya pendamping hidup, dapat gaji bulanan, tunggu tua, lalu mati. bagiku substansi pemuda ialah mereka yang progresif, visioner untuk terus menggagas, dan revolusioner menerjemahkan gagasan dalam tindakan.

Kongres Pemuda II bukan sekedar tentang peristiwa, namun harus dilihat bahwa peristiwa itu berangkat dari gagasan tentang mereka yang berfikir kedepan bukan kebelakang, mereka yang berfikir tentang nasib bangsa bukan semata nasib diri mereka sendiri. 1928 masih jauh dari tahun kemerdekaan maka mereka bermimpi akan Merdeka dengan tanah air yang satu.

Jadi, yang kita bicarakan adalah soal ide dan gagasan.  Eleanor Roosevelt memberi klaster seseorang berdasarkan hierarki berfikirnya, orang besar berbicara ide, orang biasa berbicara peristiwa, dan orang awam berbicara tentang orang lain. Inilah krisis yang kita bisa temukan hari ini, yaitu pemuda yang lebih asyik membicarakan orang lain daripada berbicara soal gagasan. Mereka lebih asyik Menjalani hidup secara mekanistik, menjadi manusia-manusia setengah robot. hidup laksana manusia tanpa kepala tampil sebagai mayat berjalan. hidup dengan  fisiknya namun mati akan pikirnya.

Dalam banyak hal kita harus mengakui Kritik Markiuse terhadap manusia modern yang tenggelam dan kehilangan identitas dirinya sebagai manusia. Manusia semakin teralienasi kemanusiaannya. Kemajuan zaman yang seharusnya melayani kebutuhan manusia tapi kenyataannya manusianyalah yang sibuk melayani kemajuan, hingga Teknologi tidak menjadi sarana pembebasan melainkan sarana penindasan.

Ilustrasi Markiuse, generasi hari ini bagaikan mereka yang sedang menaiki bus besar dengan fasilitas-fasilitas yang nyaman. Menjadikan mereka tak sadar sebenarnya bus itu sedang mengarah pada jurang kebinasaan. Jangan dulu berfikir bus itu sebagai institusi-institusi besar, Atau apapun yang diluar diri. Berfikirlah, jangan-jangan Bus itu adalah diriku sendiri.

Pemuda hari ini sibuk mengidentifikasi diri dibalik banyaknya property. yaitu hidup demi kenikmatan dan kepuasan bukan tentang bahagia. Happiness (bahagia) adalah level manusia yang membuat ia naik kelas dari hayawan, karena hayawan tak mampu merasakan dan bercerita tentang bahagia. Hayawan hanya sampai nalurinya pada level ‘pleasure’ yaitu makan untuk bertahan hidup dan melakukan perkawinan untuk menyalurkan nafsu. Maslow menyebutnya sebagai kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan paling mendasar. sementara yang paling tinggi ialah aktualisasi diri, menggagas dan merekayasa masa depan dengan kelebihan dirinya sebagai makhluq kreatif. Namun anehnya kita banyak terjebak pada level ini, yaitu level manusia yang paling dasar (physiological needs)

Padahal pemuda, mahasiswa dan kaum intelektual adalah kelompok yang paling mungkin melakukan The great refusal yaitu mobilisasi dengan kekuatan massa besar-besaran, menolak ketimpangan dan melakukan perubahan ke arah perbaikan. Mereka adalah golongan yang semestinya tetap eksis sebagai penyeimbang status quo. Gie pernah menyindir ‘makin redupnya idealisme dan heroisme pemuda, makin banyak korupsi’. Yaitu karena hilangnya kelompok penyeimbang yang kritis atas kekuasaan. Pemuda seharusnya menjadi kelompok yang terus tampil terdepan berada pada barisan yang independen, yang selalu berdiri tegak menentang kezoliman.

Atau jika tak ingin memilih jalan idealisme, kata Gie, lupakan saja ! silahkan ikut arus. Bergabunglah dengan group yang kuat lalu belajarlah memfitnah dan teknik menjiat. Karir hidup akan cepat menanjak. Atau kalau mau lebih enak, bekerjalah disebuh perusahaan yang bisa memberikan sebuah rumah kecil, sebuah mobil atau jaminan lain, belajarlah patuh dengan atasan, kemudian carilah isteri yang manis, lalu kehidupan selesai.

Mahasiswa dan kaum muda harusnya mengajukan untuk dirinya tentang satu pertanyaan fundamental who am I ?” lalu katakana aku adalah seorang intelektual yang ingin mencanangkan kebenaran walau harus hidup dalam keterasingan. Namun, itulah konsekwensi memilih jalan sebagai kaum intelektual. “The eagle flies alone” elang selalu terbang tinggi, melihat lebih luas, walau harus menerima konsekwensi ia harus sendiri. Sendiri dan terasing karena kebenaran lebih baik dari pada hidup dalam kemunafikan..

 selamat hari sumpah pemuda..!

Abdul Ghani.. 

(disampaikan dalam forum Dialog Publik yang diselenggarakan oleh IMM komisariat FKIP unimuda Sorong)

Jumat, 22 Oktober 2021

Surga Kecil Jatuh Ke Bumi, Abdul Ghani



Hari ini kami bersilaturrahim ke suku kokoda. Seperti yang terlihat, alamnya yang begitu ramah. Namun sayang kekayaan SDM belum ditopang dengan SDA yang memumpuni. 

Jika mendengar kata papua tentu yang terbesik di benak adalah kekayaan alamnya yang begitu melimpah. Dari minyak bumi, Gas, tambang mas, hingga budi-daya mutiara. tapi coba deh melihat lebih dalam, siapa sih yang ada dibalik kekayaan alam itu. Asing memiliki taring begitu tajam yang nancap terlalu dalam, jika difikirkan dengan kaca mata idealisme hanya akan melahirkan frustasi demi frustasi yang tak berhujung. 

Kita mungkin akan mendapati benang merah mengapa isu SARA menjadi barang paling sensitive di Tanah ini. Ya, ia adalah alat yang pas bagi mereka yang dalam tanda kutib "asing" merekayasa perpecah-belahan. Tentu kita ingat kasus Rasisme agustus 2019, kasus ini bergejolak begitu hebat, tak terlalu di publis oleh media-media tanah air namun gempar di berbagai media asing. Sementara kesaksian mereka yang mengalami langsung suasana begitu mencekam, tak berhasil dengan isu Agama, maka dicobanya perpecahan dengan isu Sara. Selalu dihadap-hadapkan stigma ‘pendatang dan asli’, seolah-olah mereka bagai air dan minyak. Padahal keduanya adalah anak kandung ibu pertiwi.

di tempat kami berkunjung, hobi anak-anak main ke laut dan hutan masih lebih menyenangkan dari pada pergi sekolah. Para guru harus bekerja keras dengan segala keterbatasan ini, tugas pencerdasan adalah langkah yang paling fundamental untuk mensejahterkan generasi, hanya perubahan pola fikir yang mampu merubah keterbelakangan. Dan perubahan pola fikir itu hanya dapat diterapkan dalam efektifitas dunia pendidikan. 

mengutip Ali Syariati akan pentingnya generasi yang tercerahkan, bahwa "miskin itu bukan semalam tanpa makan, melainkan sesaat tanpa berfikir". bisa kita bayangkan jika kemampuan berfikir ini hilang atas generasi, maka bisa kita tebak generasi mendatang akan menjadi generasi patah pensil yang jauh tertinggal oleh arus zaman.

Mereka yang tak mau pikir panjang, termakan profokasi untuk memisahkan diri, padahal setelah pisah apakah mereka dapat menjamin kesejahteraan yang mereka cita-citakan itu ? belum tentu. Saya ingin mengadopsi pandangan Sayyid Qutb melihat bangsa arab dulu. Ia katakan ‘membebaskan bangsa arab atas Thagut Romawi dan Thagut Persia lalu menyerahkannnya kembali kepada Thagut arab’ itu sama saja, Thagut tetaplah Thagut, tagut itu sendirilah yang harus dilawan. 

Jika ungkapan ini saya adopsi kurang lebih “kehendak untuk memisahkan diri dari NKRI bukanlah solusi, kebodohan tetaplah menyebababkan keterbelakangan, maka kebodohan itu sendirilah sebagai Musuh yang harus dilawan, maka tindakan yang paling pas ialah mengupayakan pencerdasan. Dengan keawaman saya, saya yakin jika suatu bangsa berpegang teguh pada kemajuan IPTEK maka mustahil bangsa tersebut terbelakang, namun tetap dalam koridor makna tersiratnya bersihkan bangsa ini dari para koruptor, mereka hanyalah parasit-parasit perusak negeri Negeri.

"Pencerdasan Jalan Pertama Untuk Revolusi".

sorong, 22 okt 2021

Santri dan Segudang Cerita




Setiap orang punya kisahnya sendiri, dan kisahku banyak diukir pada dunia pesantren.

Pahit manis, suka duka, tapi begitulah hidup.. Jika engkau keras maka hidup akan lunak padamu, jika kau lunak maka kehidupanlah yang keras padamu. Cita tertinggi dan motivasi ku dulu adalah nyantri agar cepat selesai, dan bebas dari dunia pesantren, bagaimana tidak ia bagaikan sijnul mukminin, terpenjara 6 tahun lamanya. 

ternyata setelah 5 tahun tamat, justru ku kembali mengabdikan diri ke pesantren juga lebih dari 4 tahun.. Dan sekarang benar-benar telah lepas namun pelajaran hidup tetap membekas.

Awam ku dulu, penegakan disiplin adalah kekejaman, setelah punya akal barulah rekonstruksi definisi kejam itu berubah makna menjadi tanda kasih sayang para Guru yang ingin melihat para santrinya menjadi lebih baik. 

Beberapa orang tua yang belum memahami ini, menggunakan perasaan bukan akal dalam mendidik, tak jarang mrk dikontrol oleh keinginan anak padahal keinginan anak yang harusnya dikontrol oleh orang tua dengan segala kapasitas yg dimilikinya. 

menangis hari ini karena keluhnya menuntut ilmu jauh lebih baik dari pada ia ditangisi di masa mendatang karena menjalani kehidupan yang jauh dari bimbingan ilmu dan agama. 

Teruntuk santri2ku di IMMIM, 2 bulan lalu aku meninggalkan kalian tanpa pamit. Hanya menulis surat dan ucapan selamat tinggal serta doa yang ditempel depan pintu kamar. Ternyata surat itu mengundang kesedihan karena pergi yang hanya berjejak secarik kertas. 

Selamat Hari Santri.. Sorong 22 okt. 2021

Jiwa-jiwa Aktivis yang terlelap, Abdul Ghani

Hari ini touring ke Pulau Arar,   bersama anak-anak muda yang ambisius, mendiskusikan berbagai gagasan. Dari sekian pembahasan terselip ba...