Selasa, 02 Maret 2021

IKHLAS DITINGGAL SAHABAT

 


Perasaan, baru beberapa hari lalu saya menyampaikan ke banyak orang tentang “manusia yang tak dikendalikan oleh rasionalitasnya, melainkan oleh hal-hal irasional dalam dirinya yang jika dijelaskan sulit dibenarkan akal”. Bahkan saya mengatakan manusia ini bandel, sudah jelas-jelas setelah dikalkulasi secara rasional ‘tinggal berdiam ditempat saat ini jauh lebih baik dari pada pulang kampung’.

Entah kenapa, belum cukup 24 jam setelah hal itu saya lontarkan, malah ahad siang dalam waktu kurang dari 5 menit saya putuskan membeli tiket terbang ke Dompu untuk hari seninnya. Dorongan kegelisahan itu begitu kuat, tidak biasanya ada keputusan yang saya ambil dalam waktu kurang dari lima menit, biasanya segala sesuatu ku putuskan setelah ditimbang berjam-jam dan kalau keputusan itu besar maka ku timbang hingga bertahun-tahun lamanya.

Senin pagi, saya kabari orang tua kalau siangnya saya pulang dan akan dijemput oleh bang Jul. beberapa menit setelah turun ke bandara. Saya bertanya sekaligus mendikte bang jul “apa kamu sudah kunjungi Mas Evan”?. Punya teman kok jarang dikunjungi, hingga timbul perasaan sesampainya saya dirumah, Evan adalah orang pertama yang paling ingin saya kunjungi.

sampai dirumah, orang-orang kaget lihat saya tiba, jangankan mereka saya saja kaget ternyata udah sampai rumah. Langkah cepat saya ambil untuk bersihkan diri demi menjalani mekanisme pembersihan jangan sampai bawa Virus. Saya tengok Hp kok puluhan panggilan tak terjawab, terlintas kabar yang simpang-siur. gelisah semakin hebat hingga saya langsung ke rumah Evan, pandangan saya begitu kosong didalam rumah melihat seorang sahabat yang sudah terbujur kaku, ternyata beberapa menit yang lalu ia baru saja menghembuskan nafas terakhirnya. Pandanganku menjadi gelap seketika tak bisa ku kenali orang-orang disekitar. Innalillah wa inna ilia rajiun, mungkin inilah jawaban saya datang sejauh ini tanpa perencanaan.

Satu tahun yang lalu saya keluar dari rumah ini untuk pamit ke Makassar, setelah genap satu tahun saya kembali dengan keadaan yang sangat berbeda, engkau yang sudah pergi tidak sempat pamit kepada sahabat-sahabatmu yang lain. Entah, lost kontak membuat kita jarang berkomunikasi walau setelah mendengar cerita ternyata engkau begitu ingin ketemu sama Ghani. Dan itu sering diulang-ulang selama sakit.

maafkan saya kawan, saya bingung harus memilih diksi yang mana, kosa-kata begitu tidak sepadan untuk menggambarkan situasi ini. Saya merasa buntu.

Sejak Mts kita sama-sama di Al-Kautsar, jika ada hari libur pesantren kita bermain sepeda melewati Gunung-gunung hingga puluhan kilo jauhnya untuk melihat pantai, masa kecil tak pernah dapat disebut melelahkan.

Sekarang, kami harus menghadapi situasi sulit, hal yang paling berat bagi manusia yaitu melepaskan dengan Ikhlas sesuatu yang paling disenanginya. Ditinggal kawan yang sudah seperti saudara memang berat, tapi kita sadar bahwa setiap yang Hidup pasti Mati, sekarang kepergianmu yang ditangisi, kelak kami yang diposisi itu untuk ditangisi oleh mereka yang lain.

Roda kehidupan terus melaju, hingga kelak kita semua menghadap sang Pencipta..

Al-Fatihah, doa kami menyertai


(foto diatas diambil ketika kita kelas 2 MTS)

 

 

Tidak ada komentar:

Jiwa-jiwa Aktivis yang terlelap, Abdul Ghani

Hari ini touring ke Pulau Arar,   bersama anak-anak muda yang ambisius, mendiskusikan berbagai gagasan. Dari sekian pembahasan terselip ba...