Selasa, 28 Desember 2021

Jiwa-jiwa Aktivis yang terlelap, Abdul Ghani

Hari ini touring ke Pulau Arar,  bersama anak-anak muda yang ambisius, mendiskusikan berbagai gagasan.

Dari sekian pembahasan terselip bagaimana Kecaman Edwar Said atas Intelek yang terpenjara akan jurusan, tak mau berbicara atau berpikir hal-hal diluar bidang akademiknya atau diistilahkan Edwar sebagai profesionalitas pasif. ialah mereka yang melihat ketimpangan hanya merespon dengan mengatakan 'itu kan bukan bidang saya'. walaupun tidak dalam lisan namun demikian dalam tindakan.

Masyarakat awam tak mau tau,  selama 'engkau' menjejaki dunia sebagai makhluq akademis, mau-tidak mau harus menjadi individu yang 'siap dipake' tanpa satupun alasan dengan kata 'TIDAK'.

Namun, ini melahirkan konsekwensi bagi mereka yang begitu bersemangat melihat keluar tapi tak sempat membangun dari dalam, yaitu tipe Intelek yang pandai hampir dalam segala bidang kecuali bidangya sendiri !

Ditengah tawa,  ada satu suara yang menambah dengan tipe yang ketiga yaitu intelek yang sudah terpenjara dalam bidangnya plus tak khatam pula akan bidang keilmuannya sendiri. Kalau Yang ini menjadi masalah !

Mengingat tugas Kaum intelektual itu berat, mereka harus siap menyuarakan kebenaran walau harus diasingkan. 

'Bung Karno Muda' diasingkan dua kali oleh Pemerintah Hindia Belanda karena tampil sebagai agitator dalam perjuangan proklamasi kemerdekaan.

Buya Hamka diasingkan dalam Penjara Oleh 'bung Karno Tua' atas tuduhan-tuduhan tidak masuk akal. Yang dilatar-belakangi oleh pertentangan ideology beberapa tokoh masyumi versus semangat revolusi ala Bung Karno.

Karena kekesalannya, ia katakan ‘atas nama pancasila si Pancasila diperlakukan tidak pancasilais. Oleh rakyat pancasila menyatukan perbedaan, oleh penguasa pancasila adalah senjata untuk menyingkirkan mereka yang berbeda. (gaya kuno itu masih nampak sampai hari ini).

Bagaimanapun, Orang berilmu mampu memetik hikmah dibalik peristiwa. Ternyata telah lama ia berusaha menulis Buku Tafsir namun tak pernah berhasil karena kesibukan. dalam penjara (dua tahun)  keinginan itu terwujud dan tulisannya berhasil diselesaikan pas disaat-saat terahir ia keluar dari penjara. Itu dikisahkan Buya sendiri dalam tafsir al-Azhar yang ditulisnya hingga hari ini dapat sampai ke tangan pembaca.

Namun diahir hayatnya, bung Karno meminta agar kelak kalau ia wafat yang menyolati jenazahnya ialah sahabatnya yaitu 'Buya Hamka'.

Sebagai Seorang Ulama, dengan bijak ia katakan ‘yang tidak ia sukai selama ini bukan bung karno’nya,  tapi perbuatannya’. Dua hal ini mengisyaratkan perbedaan.  Kalau yang tidak disukai adalah Bung Karno maka dari A sampai Z dalam diri Bung Karno layak dibenci sekalipun itu baik.  Tapi kalau yang tidak disukai hanya perbuatannya, berarti cukup itu saja ! Dengan kehadirannya menyolati jenazah bung Karno,  segala kesalahannya pun ia maafkan.

Masih banyak contoh yang bisa menjelaskan intelek dan konsekwensinya. Termasuk juga Pramoedya Ananta Toer yang banyak merasakan masa-masa pahit dari sebagian besar umur dalam hidupnya. sejak zaman belanda sudah di penjara, lanjut zaman soeharto dibuang ke Maluku karena dianggap sebagai simpatisan PKI walau pada akhirnya dibebaskan karena tidak terbukti, namun kenyataannya ia telah lama menderita karena pembuangan itu sendiri. dalam pembuangan dan pengasingannya justeru ia menghasilkan banyak karya yang sudah diterjemahkan dalam banyak bahasa diberbagai negara.

Dalam islam ada Imam Abu Hanifah, yang dipenjara karena tak mau jika Fatwa keagamaannya dibeli dengan jabatan yang hendak digunakan untuk membenarkan penguasa. Begitulah, Dunia yang ditempuh oleh mereka yang tampil sebagai intelektual. Berani bersikap dan berpegang teguh mempejuangkan pandangan dunianya. Mengatakan benar jika itu memang benar, dan mengatakan tidak jika itu memang salah !

tidak sebaliknya tampil sebagai Haman yaitu teknokrat yang menggadaikan ilmu untuk menghamba pada kezoliman. malas mengkritik, dengan dalil taat penguasa dan macam-macam. Padahal kebenaran tak melekat pada otoritas individu terkecuali jika itu adalah Tuhan ! selama ia adalah manusia maka selama itu sangat mungkin ia salah, maka kaum intelektual harus menegaskan diri untuk berada pada kebenaran bukan berfokus pada kekuasaan.

Lalu, bagaimana Intelektual memainkan perannya ? kalau kita menjawab dengan Gramsci, maka tiap kita adalah intelektual hanya saja tidak setiap kita memainkan peran sebagai intelektual, lebih spesifiknya jadilah intelektual organic yang lahir ditengah rakyat, besar bersama rakyat dan menyatu dengan rakyat untuk melakukan perubahan social. Bukan hanya merubah keadaan namun merubah demi perbaikan.

Sederhanya intelek tak akan mendiskusikan penderitaan rakyat di hotel-hotel mewah. Berbicara keadilan sambil memperkaya individu dan kelompok. Berbicara isu-isu social namun dalam tindakan begitu individual, atau berbicara tentang mereka yang terpinggirkan namun dalam kenyataan selalu duduk empuk ditengah pusaran kekuasaan.

Sejarah banyak mencatat, suatu kekuasaan yang mengendalikan massa hanya dengan Dominasi (dalam bahasanya Gramsci) yaitu menggunakan perangkat keras memang berhasil dengan cepat namun tak dapat bertahan lama, justru melahirkan arus balik yaitu kebencian yang mematikan.

Benito Musolini yang tampil sebagai dictator Fasis kejam dan efektif, diakhir hayatnya malah dibunuh oleh rakyatnya sendiri dan mayatnya digantung lalu jadi bulan-bulanan massa. Mengapa bisa sekejam itu pada pemimpin sendiri ? iya bisa. Karena musolini tak memenangkan hati rakyat sebagai kemenangan sejati, ia hanya melakukan yang dalam pandangan Gramsci sebagai ‘War of Movement’ yaitu dominasi menggunakan perangkat keras melalui jalan Fasis diktator.

Kaum intelektual seharusnya tampil dengan Hegemoni, yaitu kebalikan dari dominasi. Melakukan ‘war of position’, merebut pandangan dunia public dan memenangkan hati rakyat  akan eksistensi diri dan gagasannya, lalu tetap tampil sebagai agen Perubahan.

Nampaknya, bagian terahir ini telah pudar, mungkin karena kita kehilangan integritas, terjebak sensasi, kering dan dangkal ! sehingga dalam banyak aksi ‘kaum intelektual’ harusnya mendapat simpati namun yang diraih kebanyakan hanyalah antipatik.

 



Refleksi akhir Tahun, kepada jiwa-jiwa aktivis yang sedang terlelap..

Abdul Ghani,

Sorong, 29 Desember 2021

 

 

Jiwa-jiwa Aktivis yang terlelap, Abdul Ghani

Hari ini touring ke Pulau Arar,   bersama anak-anak muda yang ambisius, mendiskusikan berbagai gagasan. Dari sekian pembahasan terselip ba...