Hari ini touring ke Pulau Arar, bersama anak-anak muda yang ambisius, mendiskusikan berbagai gagasan.
Dari sekian pembahasan terselip bagaimana Kecaman Edwar Said atas
Intelek yang terpenjara akan jurusan, tak mau berbicara atau berpikir hal-hal
diluar bidang akademiknya atau diistilahkan Edwar sebagai profesionalitas
pasif. ialah mereka yang melihat ketimpangan hanya merespon dengan mengatakan
'itu kan bukan bidang saya'. walaupun tidak dalam lisan namun demikian dalam
tindakan.
Masyarakat awam tak mau tau,
selama 'engkau' menjejaki dunia sebagai makhluq akademis, mau-tidak mau
harus menjadi individu yang 'siap dipake' tanpa satupun alasan dengan kata
'TIDAK'.
Namun, ini melahirkan konsekwensi bagi mereka yang begitu
bersemangat melihat keluar tapi tak sempat membangun dari dalam, yaitu tipe
Intelek yang pandai hampir dalam segala bidang kecuali bidangya sendiri !
Ditengah tawa, ada satu
suara yang menambah dengan tipe yang ketiga yaitu intelek yang sudah terpenjara
dalam bidangnya plus tak khatam pula akan bidang keilmuannya sendiri. Kalau
Yang ini menjadi masalah !
Mengingat tugas Kaum intelektual itu berat, mereka harus siap
menyuarakan kebenaran walau harus diasingkan.
'Bung Karno Muda'
diasingkan dua kali oleh Pemerintah Hindia Belanda karena tampil sebagai
agitator dalam perjuangan proklamasi kemerdekaan.
Buya Hamka diasingkan dalam Penjara Oleh 'bung Karno Tua'
atas tuduhan-tuduhan tidak masuk akal. Yang dilatar-belakangi oleh pertentangan
ideology beberapa tokoh masyumi versus semangat revolusi ala Bung Karno.
Karena kekesalannya, ia katakan ‘atas nama pancasila si Pancasila diperlakukan
tidak pancasilais. Oleh rakyat pancasila menyatukan perbedaan, oleh penguasa
pancasila adalah senjata untuk menyingkirkan mereka yang berbeda. (gaya kuno
itu masih nampak sampai hari ini).
Bagaimanapun, Orang berilmu mampu memetik hikmah dibalik peristiwa.
Ternyata telah lama ia berusaha menulis Buku Tafsir namun tak pernah berhasil
karena kesibukan. dalam penjara (dua tahun)
keinginan itu terwujud dan tulisannya berhasil diselesaikan pas
disaat-saat terahir ia keluar dari penjara. Itu dikisahkan Buya sendiri dalam
tafsir al-Azhar yang ditulisnya hingga hari ini dapat sampai ke tangan pembaca.
Namun diahir hayatnya, bung Karno meminta agar kelak kalau ia wafat
yang menyolati jenazahnya ialah sahabatnya yaitu 'Buya Hamka'.
Sebagai Seorang Ulama, dengan bijak ia katakan ‘yang tidak ia sukai
selama ini bukan bung karno’nya, tapi
perbuatannya’. Dua hal ini mengisyaratkan perbedaan. Kalau yang tidak disukai adalah Bung Karno maka
dari A sampai Z dalam diri Bung Karno layak dibenci sekalipun itu baik. Tapi kalau yang tidak disukai hanya
perbuatannya, berarti cukup itu saja ! Dengan kehadirannya menyolati jenazah
bung Karno, segala kesalahannya pun ia
maafkan.
Masih banyak contoh yang bisa menjelaskan intelek dan
konsekwensinya. Termasuk juga Pramoedya Ananta Toer yang banyak merasakan
masa-masa pahit dari sebagian besar umur dalam hidupnya. sejak zaman belanda
sudah di penjara, lanjut zaman soeharto dibuang ke Maluku karena dianggap
sebagai simpatisan PKI walau pada akhirnya dibebaskan karena tidak terbukti,
namun kenyataannya ia telah lama menderita karena pembuangan itu sendiri. dalam
pembuangan dan pengasingannya justeru ia menghasilkan banyak karya yang sudah
diterjemahkan dalam banyak bahasa diberbagai negara.
Dalam islam ada Imam Abu Hanifah, yang dipenjara karena tak mau
jika Fatwa keagamaannya dibeli dengan jabatan yang hendak digunakan untuk
membenarkan penguasa. Begitulah, Dunia yang ditempuh oleh mereka yang tampil
sebagai intelektual. Berani bersikap dan berpegang teguh mempejuangkan pandangan
dunianya. Mengatakan benar jika itu memang benar, dan mengatakan tidak jika itu
memang salah !
tidak sebaliknya tampil sebagai Haman yaitu teknokrat yang
menggadaikan ilmu untuk menghamba pada kezoliman. malas mengkritik, dengan
dalil taat penguasa dan macam-macam. Padahal kebenaran tak melekat pada
otoritas individu terkecuali jika itu adalah Tuhan ! selama ia adalah manusia
maka selama itu sangat mungkin ia salah, maka kaum intelektual harus menegaskan
diri untuk berada pada kebenaran bukan berfokus pada kekuasaan.
Lalu, bagaimana Intelektual memainkan perannya ? kalau kita
menjawab dengan Gramsci, maka tiap kita adalah intelektual hanya saja tidak
setiap kita memainkan peran sebagai intelektual, lebih spesifiknya jadilah
intelektual organic yang lahir ditengah rakyat, besar bersama rakyat dan
menyatu dengan rakyat untuk melakukan perubahan social. Bukan hanya merubah
keadaan namun merubah demi perbaikan.
Sederhanya intelek tak akan mendiskusikan penderitaan rakyat di
hotel-hotel mewah. Berbicara keadilan sambil memperkaya individu dan kelompok.
Berbicara isu-isu social namun dalam tindakan begitu individual, atau
berbicara tentang mereka yang terpinggirkan namun dalam kenyataan selalu duduk
empuk ditengah pusaran kekuasaan.
Sejarah banyak mencatat, suatu kekuasaan yang mengendalikan massa
hanya dengan Dominasi (dalam bahasanya Gramsci) yaitu menggunakan perangkat
keras memang berhasil dengan cepat namun tak dapat bertahan lama, justru
melahirkan arus balik yaitu kebencian yang mematikan.
Benito Musolini yang tampil sebagai dictator Fasis kejam dan
efektif, diakhir hayatnya malah dibunuh oleh rakyatnya sendiri dan mayatnya digantung
lalu jadi bulan-bulanan massa. Mengapa bisa sekejam itu pada pemimpin sendiri ?
iya bisa. Karena musolini tak memenangkan hati rakyat sebagai kemenangan sejati,
ia hanya melakukan yang dalam pandangan Gramsci sebagai ‘War of Movement’ yaitu
dominasi menggunakan perangkat keras melalui jalan Fasis diktator.
Kaum intelektual seharusnya tampil dengan Hegemoni, yaitu kebalikan
dari dominasi. Melakukan ‘war of position’, merebut pandangan dunia public dan
memenangkan hati rakyat akan eksistensi
diri dan gagasannya, lalu tetap tampil sebagai agen Perubahan.
Nampaknya, bagian terahir ini telah pudar, mungkin karena kita
kehilangan integritas, terjebak sensasi, kering dan dangkal ! sehingga dalam
banyak aksi ‘kaum intelektual’ harusnya mendapat simpati namun yang
diraih kebanyakan hanyalah antipatik.
Refleksi akhir
Tahun, kepada jiwa-jiwa aktivis yang sedang terlelap..
Abdul Ghani,
Sorong, 29
Desember 2021