Selasa, 02 Maret 2021

Tentang Kita yang belum bisa memberi harga pada 24 jam yang kita punya

 



Dibarat kita mengenal semboyan Time is money (waktu adalah uang), begitulah cara pandang mereka atas hidup, cara pandang materealistik melahirkan gaya hidup yang materealis, apaun bentuknya ia bermuara terhadap sesuatu yang dapat diukur secara langsung. jika sesuatu tak berwujud maka tak ada ukurannya untuk diterima, penganut paham athaeis pun kurang-lebih mencerminkan hal serupa, ketika Tuhan tak ada dalam wujud materi sama halnya ia tidak ada, maka materi melahirkan ukuran yang paling real untuk diterima.

Dalam hal waktu-pun ukurannya adalah materi, setiap saat, setiap tempat, dan keadaan haruslah dapat memberi untung dalam hidup, cara pandang ini melahirlah dunia yang secara ekonomi bersistemkan kapital dimana yang bermodal sebagai penguasa. bagaimanapun sekulernya gaya hidup barat yang kita kenal namun dalam soal menghargai waktu mereka patut jadi contoh, karena didalamnya ada usaha dan kerja keras.

Sementara di timur, dalam menilai waktu kita kenal semboyan yang kebalikan dari barat “Al-waqtu atsmanu minadzzahabi (waktu lebih berharga dari pada emas)”. Semboyan timur yang lebih identic dengan dunia islam ini berkarakter relijius, bukanlah nilai itu diletakkan atas dasar materi seperti emas permata sebagai salah satu sumber nilai, ternyata ada lagi yang lebih dari itu itulah waktu.

pertanyaannya “lalu bagaimana dengan kita”? dalam dunia mahasiswa, waktu itu Nampak berarti dipenghujung semester, yaitu ketika mahasiswa itu diperhadapkan antara jurang Drop out dan harapan diberi masa tangguh, yakin entah berapa pekanpun waktu yang diberi akan menjadi sangat bermakna. Bagaimana tidak, anda mau selesaikan sendiri atau anda yang diselesaikan oleh kampus.

Sewaktu masih luang, Ada dalih “untuk apa cepat selesai jika hanya akan menambah jumlah pengangguran”.? Hey kamu, belum selesai saja sudah menghadirkan dalam fikiranmu mau jadi pengangguran, bukankah caramu berfikir mengarahkanmu pada bagaimana caramu hidup, itu sama halnya dengan kamu berdoa ya Tuhan jadikanlah aku pengangguran. fikiranmu ibarat peta maka ragamu akan jalan kearah peta yang ada dikepalamu sebagai penunjuk arah.

Dalihnya pun bermacam-macam, dikotomisasi kerap menjadi premise apologis, sekilas terdengar benar namun melalaikan. Lihat saja mereka yang mengatakan untuk apa cepat selesai jika minim pengalaman, harusnya bukan selesainya yang disalahkan tapi kesalahannya kenapa engkau tidak menciptakan pengalaman itu dengan waktu yang kau punya. Tulisan ini bukan mengarahkan pada diskriminasi yang lambat selesai, akan tetapi sebuah ajakan untuk mengisi waktu dengan sesuatu yang berarti. Walau kadang, lambat juga menghalangi untuk berbuat hal-hal lain, saya percaya baik-jeleknya nasib seseorang tidak ditentukan oleh lambat tidaknya ia selesai dari dunia kampus melainkan ditentukan oleh apa yang dapat ia perbuat.

Bentuk lain dari tradisi tak menghargai waktu ialah ketika birokrasi kampus menyelanggarakan kegiatan yang dihadiri oleh pejabat tinggi, pada pelaksanaannya, waktunya bisa berjam-jam lebih molor dari yang diagendakan disebabkan sang perjabat besar masih dalam pengawalan. Sehingga mahasiswa yang cerdas jika ingin hadir maka cukup memperkirakan “kira-kira satu atau dua jam dari waktu yang diagendakan baru hadir” karena molor dua jam dianggap tepat waktu, sedangkan tepat waktu dianggap terlalu berlebihan, dan terlambat adalah suatu kebiasaan. Sehingga tak sedikit agenda-agenda yang harus terselenggara diundur untuk menyesuaikan dengan manusia-manusianya, padahal harusnya manusianyalah yang mesti menyesuaikan diri dengan agenda. antara birokrasi kampus maupun mahasiswa, bagaikan satu nafas dalam dua badan, gayanya hampir sama dalam wujud yang berbeda, tak perlu saling menyalahkan.

Pada malam hari mahasiswa rela berlarut-larut dengan waktu, namun disubuh dan pagi hari tak berdaya dimedan tempur melawan bantal, terdapat bisikan yang begitu kuat, tidur lagi, sebentar lagi. melawan diri sendiri selalu amatlah berat. Waktu akan memiliki nilai bagi mereka yang membuatnya bernilai, sebaliknya ia tak memiliki arti apa-apa jika dibiarkan jadi sia-sia.

Untuk mengukur waktu, pertanyaan ini dapat kita ajukan kepada mereka ; Jika ingin mengerti arti waktu satu tahun, tanyalah pada siswa yang tak naik kelas, Jika ingin mengerti makna satu hari, tanyalah pada buruh dengan gaji harian, jika ingin mengerti makna satu jam, tanyalah pada kekasih yang menunggu lama untuk berjumpa, jika ingin memaknai waktu satu second, tanyalah seorang yang memenangkan medali dari lari maraton. Mereka akan menjawab betapa satu-detikpun tak dapat disia-siakan.

Secara tak sadar, dalam hidup kita ada yang memposisikan waktu kedalam dua kategori, yaitu linier dan sirkuler, walau jika ingin diteorikan sebenarnya tidak seteoretis itu juga. Waktu yang dikategorikan secara linier yaitu oleh mereka yang beranggapan bahwa waktu akan selalu berjalan kedepan dan berkelanjutan, pepatah arab menyebutnya “Lan Tarji’al Ayyamullati Madzot” tidak akan kembali hari-hari yang telah berlalu. Mereka yang berpandangan demikian akan berimplikasi terhadap penerjemahan waktu kedalam aktivitas-aktivitasnya seperti lahirnya semboyan, kesempatan tak datang dua kali maka gunakanlah sebaik mungkin, gunakanlah masa mudamu untuk berjuang karena masa tua kita tinggal menikmati hasil. Jika kesadaran ini tersugesti maka kita akan menjadi pribadi yang selalu ingin berkembang dari masa-ke masa.

Kedua adalah mereka yang menganut waktu secara sirkuler, yaitu yang beranggapan waktu tidak berjalan kedepan, ia selalu berulang dalam situasi dan kondisi yang berbeda. Buktinya setelah pagi ini berlalu, masih akan ada pagi esok yang datang kembali. Jika dalam suatu situasi merasa gagal, tak perlu hawatir masih ada kesempatan berikutnya. Tugas kita hanya perlu berbuat dan menunggun hari esok untuk menyempurnakan hal-hal yang belum sempurna. Implikasi lain dari corak berfikir seperti ini yaitu pada mereka yang beranggapan sejarah selalu berulang, contohnya ada qabil ada habil, ada musa ada firaun, ada Nabi Muhammad ada abu Lahab, itu sebagai symbol kebaikan dan keburukan yang selalu ada.

Dalam konteks kekuasaan, corak berfikir ini beranggapan bahwa kekuasaan akan dipergilirkan, ketika kekuasaan lama telah Berjaya, maka kelak akan datang suatu masa dimana ia akan runtuh dan digantikan oleh kekuasaan baru, dari satu dinasti ke dinasti yang lain, dari raja yang satu ke raja yang lain, begitulah sejarah berbicara, bagaikan buah apabila telah matang atau membusuk ditangkainya dengan sendirinya akan jatuh digantikan oleh buah-buah lain yang berdatangan. berfikir yang sirkuler beranggapan waktu akan berputar dan kita hanya perlu mengisi perputaran waktu.

Implikasi dari dua corak pandang diatas tercermin dalam tingkah kita sebagai reaksi atas kecenderungan terhadap salah satunya. Mereka yang beranggapan waktu bergerak secara linier maka sedetikpun tak akan ia biarkan lewat tanpa manfaat. Sebaliknya, mereka yang berfikir secara sirkular selalu menggantungkan harapan akan apa yang terjadi dihari esok. Kalau kita mau kritis, hari esok jelas akan datang tetapi bagaimana kualitas kedatangannya itu bergantung bagaimana kedatangan itu kita sambut dengan kesiapan dan segala upaya. Jika pun hari esok pasti datang, pun belum tentu ia hadir untuk kita.

Kalau kita mau lebih mengerucut, memposisikan waktu secara linier akan mendorong kita berkembang walaupun ada yang terkesan lambat, sementara memposisikan waktu secara sirkular mendorong kita untuk bergantung, yaitu bergantung kepada hari esok yang belum pasti untuk kita. Tinggal sikap kita, dengan kesadaran ini apakah mau kita jadikan alat untuk memilih dan memilah setiap tindakan yang kita ambil agar berkualitas, atau justeru melakukan hal yang membuat kita statis atau bahkan mengalami degradasi. Itu pilihan anda karena manusia adalah makhluq merdeka.  Tapi ingat ! Orang sukses dan orang gagal sama sama punya waktu 24 jam. Mengapa hasilnya berbeda? itu karena bergantung bagaimana cara mereka menjalani 24 jam yang mereka punya

 

Dompu NTB

Rabu, 14 april 2020

 

Tidak ada komentar:

Jiwa-jiwa Aktivis yang terlelap, Abdul Ghani

Hari ini touring ke Pulau Arar,   bersama anak-anak muda yang ambisius, mendiskusikan berbagai gagasan. Dari sekian pembahasan terselip ba...