Dibarat kita mengenal semboyan Time is
money (waktu adalah uang), begitulah cara pandang mereka atas hidup,
cara pandang materealistik melahirkan gaya hidup yang materealis, apaun
bentuknya ia bermuara terhadap sesuatu yang dapat diukur secara langsung. jika
sesuatu tak berwujud maka tak ada ukurannya untuk diterima, penganut paham
athaeis pun kurang-lebih mencerminkan hal serupa, ketika Tuhan tak ada dalam
wujud materi sama halnya ia tidak ada, maka materi melahirkan ukuran yang
paling real untuk diterima.
Dalam hal waktu-pun ukurannya adalah materi,
setiap saat, setiap tempat, dan keadaan haruslah dapat memberi untung dalam
hidup, cara pandang ini melahirlah dunia yang secara ekonomi bersistemkan
kapital dimana yang bermodal sebagai penguasa. bagaimanapun sekulernya gaya
hidup barat yang kita kenal namun dalam soal menghargai waktu mereka patut jadi
contoh, karena didalamnya ada usaha dan kerja keras.
Sementara di timur, dalam menilai waktu kita
kenal semboyan yang kebalikan dari barat “Al-waqtu atsmanu
minadzzahabi (waktu lebih berharga dari pada emas)”. Semboyan
timur yang lebih identic dengan dunia islam ini berkarakter relijius, bukanlah
nilai itu diletakkan atas dasar materi seperti emas permata sebagai salah satu
sumber nilai, ternyata ada lagi yang lebih dari itu itulah waktu.
pertanyaannya “lalu bagaimana dengan kita”?
dalam dunia mahasiswa, waktu itu Nampak berarti dipenghujung semester, yaitu
ketika mahasiswa itu diperhadapkan antara jurang Drop out dan
harapan diberi masa tangguh, yakin entah berapa pekanpun waktu yang diberi akan
menjadi sangat bermakna. Bagaimana tidak, anda mau selesaikan sendiri atau anda
yang diselesaikan oleh kampus.
Sewaktu masih luang, Ada dalih “untuk apa
cepat selesai jika hanya akan menambah jumlah pengangguran”.? Hey kamu,
belum selesai saja sudah menghadirkan dalam fikiranmu mau jadi pengangguran,
bukankah caramu berfikir mengarahkanmu pada bagaimana caramu hidup, itu sama
halnya dengan kamu berdoa ya Tuhan jadikanlah aku pengangguran. fikiranmu
ibarat peta maka ragamu akan jalan kearah peta yang ada dikepalamu sebagai
penunjuk arah.
Dalihnya pun bermacam-macam, dikotomisasi kerap
menjadi premise apologis, sekilas terdengar benar namun melalaikan. Lihat saja
mereka yang mengatakan untuk apa cepat selesai jika minim pengalaman, harusnya
bukan selesainya yang disalahkan tapi kesalahannya kenapa engkau tidak
menciptakan pengalaman itu dengan waktu yang kau punya. Tulisan ini bukan
mengarahkan pada diskriminasi yang lambat selesai, akan tetapi sebuah ajakan
untuk mengisi waktu dengan sesuatu yang berarti. Walau kadang, lambat juga
menghalangi untuk berbuat hal-hal lain, saya percaya baik-jeleknya nasib
seseorang tidak ditentukan oleh lambat tidaknya ia selesai dari dunia kampus
melainkan ditentukan oleh apa yang dapat ia perbuat.
Bentuk lain dari tradisi tak menghargai waktu
ialah ketika birokrasi kampus menyelanggarakan kegiatan yang dihadiri oleh
pejabat tinggi, pada pelaksanaannya, waktunya bisa berjam-jam lebih molor dari
yang diagendakan disebabkan sang perjabat besar masih dalam pengawalan.
Sehingga mahasiswa yang cerdas jika ingin hadir maka cukup memperkirakan
“kira-kira satu atau dua jam dari waktu yang diagendakan baru hadir” karena
molor dua jam dianggap tepat waktu, sedangkan tepat waktu dianggap terlalu
berlebihan, dan terlambat adalah suatu kebiasaan. Sehingga tak sedikit
agenda-agenda yang harus terselenggara diundur untuk menyesuaikan dengan
manusia-manusianya, padahal harusnya manusianyalah yang mesti menyesuaikan diri
dengan agenda. antara birokrasi kampus maupun mahasiswa, bagaikan satu nafas
dalam dua badan, gayanya hampir sama dalam wujud yang berbeda, tak perlu saling
menyalahkan.
Pada malam hari mahasiswa rela berlarut-larut
dengan waktu, namun disubuh dan pagi hari tak berdaya dimedan tempur melawan
bantal, terdapat bisikan yang begitu kuat, tidur lagi, sebentar lagi. melawan
diri sendiri selalu amatlah berat. Waktu akan memiliki nilai bagi mereka yang
membuatnya bernilai, sebaliknya ia tak memiliki arti apa-apa jika dibiarkan
jadi sia-sia.
Untuk mengukur waktu, pertanyaan ini dapat kita
ajukan kepada mereka ; Jika ingin mengerti arti waktu satu tahun, tanyalah pada
siswa yang tak naik kelas, Jika ingin mengerti makna satu hari, tanyalah pada
buruh dengan gaji harian, jika ingin mengerti makna satu jam, tanyalah pada
kekasih yang menunggu lama untuk berjumpa, jika ingin memaknai waktu satu
second, tanyalah seorang yang memenangkan medali dari lari maraton. Mereka akan
menjawab betapa satu-detikpun tak dapat disia-siakan.
Secara tak sadar, dalam hidup kita ada yang
memposisikan waktu kedalam dua kategori, yaitu linier dan sirkuler, walau jika
ingin diteorikan sebenarnya tidak seteoretis itu juga. Waktu yang dikategorikan
secara linier yaitu oleh mereka yang beranggapan bahwa waktu akan selalu
berjalan kedepan dan berkelanjutan, pepatah arab menyebutnya “Lan
Tarji’al Ayyamullati Madzot” tidak akan kembali hari-hari yang telah
berlalu. Mereka yang berpandangan demikian akan berimplikasi terhadap
penerjemahan waktu kedalam aktivitas-aktivitasnya seperti lahirnya semboyan,
kesempatan tak datang dua kali maka gunakanlah sebaik mungkin, gunakanlah masa
mudamu untuk berjuang karena masa tua kita tinggal menikmati hasil. Jika
kesadaran ini tersugesti maka kita akan menjadi pribadi yang selalu ingin
berkembang dari masa-ke masa.
Kedua adalah mereka yang menganut waktu secara
sirkuler, yaitu yang beranggapan waktu tidak berjalan kedepan, ia selalu
berulang dalam situasi dan kondisi yang berbeda. Buktinya setelah pagi ini
berlalu, masih akan ada pagi esok yang datang kembali. Jika dalam suatu situasi
merasa gagal, tak perlu hawatir masih ada kesempatan berikutnya. Tugas kita
hanya perlu berbuat dan menunggun hari esok untuk menyempurnakan hal-hal yang
belum sempurna. Implikasi lain dari corak berfikir seperti ini yaitu pada
mereka yang beranggapan sejarah selalu berulang, contohnya ada qabil ada habil,
ada musa ada firaun, ada Nabi Muhammad ada abu Lahab, itu sebagai symbol
kebaikan dan keburukan yang selalu ada.
Dalam konteks kekuasaan, corak berfikir ini
beranggapan bahwa kekuasaan akan dipergilirkan, ketika kekuasaan lama telah
Berjaya, maka kelak akan datang suatu masa dimana ia akan runtuh dan digantikan
oleh kekuasaan baru, dari satu dinasti ke dinasti yang lain, dari raja yang
satu ke raja yang lain, begitulah sejarah berbicara, bagaikan buah apabila
telah matang atau membusuk ditangkainya dengan sendirinya akan jatuh digantikan
oleh buah-buah lain yang berdatangan. berfikir yang sirkuler beranggapan waktu
akan berputar dan kita hanya perlu mengisi perputaran waktu.
Implikasi dari dua corak pandang diatas
tercermin dalam tingkah kita sebagai reaksi atas kecenderungan terhadap salah
satunya. Mereka yang beranggapan waktu bergerak secara linier maka sedetikpun
tak akan ia biarkan lewat tanpa manfaat. Sebaliknya, mereka yang berfikir
secara sirkular selalu menggantungkan harapan akan apa yang terjadi dihari
esok. Kalau kita mau kritis, hari esok jelas akan datang tetapi bagaimana
kualitas kedatangannya itu bergantung bagaimana kedatangan itu kita sambut
dengan kesiapan dan segala upaya. Jika pun hari esok pasti datang, pun belum
tentu ia hadir untuk kita.
Kalau kita mau lebih mengerucut, memposisikan
waktu secara linier akan mendorong kita berkembang walaupun ada yang terkesan
lambat, sementara memposisikan waktu secara sirkular mendorong kita untuk
bergantung, yaitu bergantung kepada hari esok yang belum pasti untuk kita.
Tinggal sikap kita, dengan kesadaran ini apakah mau kita jadikan alat untuk
memilih dan memilah setiap tindakan yang kita ambil agar berkualitas, atau
justeru melakukan hal yang membuat kita statis atau bahkan mengalami degradasi.
Itu pilihan anda karena manusia adalah makhluq merdeka. Tapi ingat !
Orang sukses dan orang gagal sama sama punya waktu 24 jam. Mengapa hasilnya
berbeda? itu karena bergantung bagaimana cara mereka menjalani 24 jam yang
mereka punya
Dompu NTB
Rabu, 14 april 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar