Sabtu, 13 Februari 2021

Koreksi Teologis

(Abdul Ghani)

Islam sebagai agama tidak hanya mengajarkan ritual dalam arti yang sempit. Namum, seluruh aspek kehidupan dikandung dalam islam. Seiring berjalannya waktu, kata 'syariah' maknanya telah direduksi. Dimana ia hanya berkonotasi pada potong tangan, penggal kepala, rajam, dan hal-hal menyeramkan. Sehingga orang normal mau tidak mau harus dibuat takut oleh syariah yang terkesan barbar.

Padahal, menentang eksploitasi, menegakkan keadilan, memperlakukan manusia sama rata juga adalah syarat tegas akan syariah. Orang yang menolak islam dalam sejarah ialah mereka yang tak mau status sosialnya tergeser. Artinya kehadiran islam sebagai agama harusnya memberi efek pada promlematika social.

Negara atau institusi ada yang menerapkan bagian terkecil dari syariah untuk menyebut diri mereka sudah islami. Padahal itu sebatas kedok untuk menutupi kepentingan (Profit) yang lebih besar. Potong tangan untuk pencuri kecil tapi membiarkan pencuri besar (asing dengan segala wajahnya), rajam untuk pezina sementara mereka yang menikmati tumpukan harta oleh segelintir orang jadi hal biasa. Ini terlihat seperti menghukumi kejahatan kecil namun membiarkan kejahatan besar. Mengutuk kejahatan berdampak personal namun merawat kerakusan berdampak nasional

ketika seorang pedagang mengadukan pencurian atas dagangannya pada nabi dan meminta nabi menghukum pelakunya, orang tersebut malah dinasehati. 'dia lapar engkau tak memberinya makan, dia bodoh engkau tak menasehatinya'. Artinya bagaimana mungkin menghukumi pencuri karena ia mencuri dalam keadaan lapar. Harusnya orang-orang berada (konglomerat, penguasa) dan orang berilmu bertanggung jawab atas keadilan distributif akan harta dan pengetahuan yang dimilikinya.

Orang berharta jika masih mencuri silahkan eksekusi, orang berilmu yang bertindak bodoh silahkan diadili. Sebab tindakannya bertentangan dengan kapasitasnya. Artinya adil haruslah tegak lebih dulu baru berlakukan hukum.

Penyempitan makna syairah bukan hal kebetulan, kelompok yang menafsirkan agama sebatas ritualistik adalah aset yang harus dirawat oleh rezim korup. mereka tak lagi mengkritik sebab agama hanya diartikan sebatas shalat hingga haji, titik. !

Kalaupun penguasa keliru bagi mereka nasehati saja, jangan dikritik apalagi dihujat.

'siapa loe siapa gue' cocok dinisbatkan pada kelompok berfikir seperti ini. Siapa ia sebagai ormas pasif mampu memberi efek hanya dengan nasehat bijak pada negara yang dinahkodai para bajak laut dan perompak. Padahal, penyebaran islam menyebabkan banyak nyawa berguguran karena konsekwensi penentangannya atas ketimpangan sosial yang terjadi.

Kita memang bukan negara yg menerapkan syariat Islam, tapi kesadaran kritis atas dorongan teologi harusnya membuat pemeluk agama (apapun itu) tak menganut keyakinan secara pasif. toh Buat apa beragama kalau tak memberi efek pada situasi sosial !


(tulisan ini merupakan sedikit dari penggalan materi yang disampaikan dalam forum Darul Arqam Madya Nasional PC IMM Kab. Gowa, pesantren Sultan Hasanuddin, 11 Februari 2021)

 


1 komentar:

Abdul Ghani mengatakan...

Mari Bersilaturrahim Pemikiran agar gagasan-gagasan Besar itu tak tertelan waktu

Jiwa-jiwa Aktivis yang terlelap, Abdul Ghani

Hari ini touring ke Pulau Arar,   bersama anak-anak muda yang ambisius, mendiskusikan berbagai gagasan. Dari sekian pembahasan terselip ba...