(Abdul Ghani)
Islam
sebagai agama tidak hanya mengajarkan ritual dalam arti yang sempit. Namum,
seluruh aspek kehidupan dikandung dalam islam. Seiring berjalannya waktu, kata
'syariah' maknanya telah direduksi. Dimana ia hanya berkonotasi pada potong
tangan, penggal kepala, rajam, dan hal-hal menyeramkan. Sehingga orang normal
mau tidak mau harus dibuat takut oleh syariah yang terkesan barbar.
Padahal, menentang eksploitasi,
menegakkan keadilan, memperlakukan manusia sama rata juga adalah syarat tegas
akan syariah. Orang yang menolak islam dalam sejarah ialah mereka yang tak
mau status sosialnya tergeser. Artinya kehadiran islam sebagai agama harusnya
memberi efek pada promlematika social.
Negara
atau institusi ada yang menerapkan bagian terkecil dari syariah untuk menyebut
diri mereka sudah islami. Padahal itu sebatas kedok untuk menutupi kepentingan (Profit) yang lebih besar. Potong tangan untuk pencuri kecil tapi membiarkan pencuri
besar (asing dengan segala wajahnya), rajam untuk pezina sementara mereka yang
menikmati tumpukan harta oleh segelintir orang jadi hal biasa. Ini terlihat
seperti menghukumi kejahatan kecil namun membiarkan kejahatan besar. Mengutuk
kejahatan berdampak personal namun merawat kerakusan berdampak nasional
ketika
seorang pedagang mengadukan pencurian atas dagangannya pada nabi dan meminta
nabi menghukum pelakunya, orang tersebut malah dinasehati. 'dia lapar engkau
tak memberinya makan, dia bodoh engkau tak menasehatinya'. Artinya bagaimana
mungkin menghukumi pencuri karena ia mencuri dalam keadaan lapar. Harusnya
orang-orang berada (konglomerat, penguasa) dan orang berilmu bertanggung jawab
atas keadilan distributif akan harta dan pengetahuan yang dimilikinya.
Orang berharta jika masih mencuri
silahkan eksekusi, orang berilmu yang bertindak bodoh silahkan diadili. Sebab
tindakannya bertentangan dengan kapasitasnya. Artinya adil haruslah tegak lebih
dulu baru berlakukan hukum.
Penyempitan makna syairah bukan hal
kebetulan, kelompok yang menafsirkan agama sebatas ritualistik adalah aset yang
harus dirawat oleh rezim korup. mereka tak lagi mengkritik sebab agama hanya
diartikan sebatas shalat hingga haji, titik. !
Kalaupun penguasa keliru bagi
mereka nasehati saja, jangan dikritik apalagi dihujat.
'siapa loe siapa gue' cocok
dinisbatkan pada kelompok berfikir seperti ini. Siapa ia sebagai ormas pasif
mampu memberi efek hanya dengan nasehat bijak pada negara yang dinahkodai para
bajak laut dan perompak. Padahal, penyebaran islam menyebabkan banyak
nyawa berguguran karena konsekwensi penentangannya atas ketimpangan sosial yang
terjadi.
Kita
memang bukan negara yg menerapkan syariat Islam, tapi kesadaran kritis atas
dorongan teologi harusnya membuat pemeluk agama (apapun itu) tak menganut
keyakinan secara pasif. toh Buat apa beragama kalau tak memberi efek pada situasi
sosial !
(tulisan ini merupakan sedikit dari penggalan materi yang disampaikan dalam forum Darul Arqam Madya Nasional PC IMM Kab. Gowa, pesantren Sultan Hasanuddin, 11 Februari 2021)
1 komentar:
Mari Bersilaturrahim Pemikiran agar gagasan-gagasan Besar itu tak tertelan waktu
Posting Komentar