Sabtu, 13 Februari 2021

Stigma Radikal, Perang Urat Syaraf

 

(Abdul Ghani)

Adalah hal yang mengusik benak, kata-kata dikonstruk menjadi sebuah slogan pada keadaan tertentu digiring untuk memukul lawan.

Slogan aku paling NKRI secara polos menggambarkan siapa saja yang meneriakan itu sebagai negarawan, Kata Moderat, secara polos menggambarkan diri sebagai kelompok ideal atau penengah.

Namun, diam-diam secara tersirat slogan tersebut menghendaki lawan kata, ini umpanya Mubtada' dalam bahasa arab tidak lengkap kalau tidak ada khabarnya.

Belum lengkap slogan 'Cinta NKRI' kalau belum menemukan lawannya yang tidak cinta NKRI atau tidak Pancasilais, Belum lengkap Slogan Moderat kalau belum menemukan Ekstrimis, Belum lengkap 'inklusif' kalau belum menuduh selainnya ekslusif. Belum lengkap slogan 'tolerasi' kalau belum menemukan 'intoleran'. Demikian pula liberal tak lengkap kalau belum menemukan lawannya yang konservatif.

Sekalipun kata-kata tersebut tak memiliki tuan sebagai lawan, mau tidak mau lawan harus diciptakan agar slogannya tak terdengar ambigu. Mereka harus mencari subjek agar 'lawan kata' itu tak menjadi musuh yang tidak bertuan.

Ya, walau harus menunjuk sana-sini secara sembrono. Ini bukanlah hal yang baru, melainkan ini adalah pola lama yang telah diperankan diberbagai waktu dan tempat.

Kita mungkin masih ingat apa yang dikatakan Buya Hamka atas kejengkelannya pada gengster macam ini

'untuk membela pancasila, mereka injak-injaklah si pancasilais. Untuk menjunjung pancasila, si pancasila harus dikuburkan.

Untuk membela sila pertama (ketuhanan), orang beragama harus bekerja sama dengan komunis (anti tuhan).

Untuk menegakkan kemanusiaan, manusia yang dibenci ditangkap dan dibenamkan kedalam penjara. Sedangkan anak istrinya dibuat melarat.

'Keadilan sosial' dasar negara kelima ditegakkan dengan sungguh-sungguh. Yaitu dibagi-bagilah dengan adil dan merata kemiskinan dan kemelaratan , ketakutan, dan kecemasan dikalangan rakyat banyak, sedang penguasa saking kasihannya pada rakyat 'tak usah' mengambil bagian sedikitpun dari kemiskinan dan kemelaratan itu'.

Menjadi rumus kalisik 'kebohongan yang dilakukan berulang-ulang akan diterima sebagai kebenaran, bahkan pembohong pun akan percaya atas kebohongannya sendiri. makna berbagai idiom positif direduksi dan dipersempit, lalu dikerdilkan.

Sebut saja seperti Radikal atau jihadi, adalah bagian dari reduksi makna yang digunakan untuk menghantam timur tengah. Lahirlah stigma 'muslim adalah teroris' yang dianggap radikal dan atas nama jihad melakukan kejahatan tak manusiawi.

Radikal artinya identik dengan senjata, jihad identik dengan bom bunuh diri yang dilakukan dengan konyol hingga muslim digambarkan sebagai ummat yang rela mati demi doktrin jumpa dengan bidadari di Surga. Citra ini terlalu konyol untuk dikonsumsi oleh orang-orang yang berakal.

Ahirnya, dengan dalih menangkap teroris dilumpuhkanlah timur tengah hingga mereka tak punya kaki dan tangan untuk mempertahankan minyak yang sedang dirampok oleh para 'pemburu teroris'.

Kalau berbicara rekayasa internasional oleh imperealis, itu sah-sah saja, ya namanya juga strategi dan politik. Siapa yang kuat dia berkuasa, ini hanya bentuk lain dari hukum rimba.

Namun, kalau kita mau melakukan look inside setelah look outside. Harusnya kita lebih jeli melakoni penggunaan istilah-istilah, yang terdengar sederhana tapi berpotensi menimbulkan pengkotak-kotakan, perbedaan, permusuhan dan perpecahan. Lalu, kelompok yang tak bertanggung jawab dengan senang hati mengambil untung.

Saya bermimpi, istilah-istilah tersebut : Pancasilais/ tidak pancasilais, paling NKRI/ kurang ber-NKRI, inklusif/ekslusif, moderat/ekstrimis, liberal/konservatif, toleran/intoleran, Islam Nusantara/Islam Arab, atau apapun itu dikeluarkan dari klasifikasi kosa-kata beragama atau bernegara agar generasi tak semakin terpola dan terjebak oleh rekayasa dan adu-domba.

Untuk Islam sebagai agama, Islam ya Islam ! Nabi tak pernah mengukuhkan islam sebagai jenis moderat, liberal, konservatif, ekstrimis, atau apalah itu. Istilah-istilah ini bagi saya lebih mencerminkan watak personal yang dipatenkan secara institutional.

Jangan setelah kita disatukan dengan Tauhid lalu, mau dicerai-beraikan oleh istilah yang dipopulerkan kemarin sore.

Makassar, 14 feb. 2021

Koreksi Teologis

(Abdul Ghani)

Islam sebagai agama tidak hanya mengajarkan ritual dalam arti yang sempit. Namum, seluruh aspek kehidupan dikandung dalam islam. Seiring berjalannya waktu, kata 'syariah' maknanya telah direduksi. Dimana ia hanya berkonotasi pada potong tangan, penggal kepala, rajam, dan hal-hal menyeramkan. Sehingga orang normal mau tidak mau harus dibuat takut oleh syariah yang terkesan barbar.

Padahal, menentang eksploitasi, menegakkan keadilan, memperlakukan manusia sama rata juga adalah syarat tegas akan syariah. Orang yang menolak islam dalam sejarah ialah mereka yang tak mau status sosialnya tergeser. Artinya kehadiran islam sebagai agama harusnya memberi efek pada promlematika social.

Negara atau institusi ada yang menerapkan bagian terkecil dari syariah untuk menyebut diri mereka sudah islami. Padahal itu sebatas kedok untuk menutupi kepentingan (Profit) yang lebih besar. Potong tangan untuk pencuri kecil tapi membiarkan pencuri besar (asing dengan segala wajahnya), rajam untuk pezina sementara mereka yang menikmati tumpukan harta oleh segelintir orang jadi hal biasa. Ini terlihat seperti menghukumi kejahatan kecil namun membiarkan kejahatan besar. Mengutuk kejahatan berdampak personal namun merawat kerakusan berdampak nasional

ketika seorang pedagang mengadukan pencurian atas dagangannya pada nabi dan meminta nabi menghukum pelakunya, orang tersebut malah dinasehati. 'dia lapar engkau tak memberinya makan, dia bodoh engkau tak menasehatinya'. Artinya bagaimana mungkin menghukumi pencuri karena ia mencuri dalam keadaan lapar. Harusnya orang-orang berada (konglomerat, penguasa) dan orang berilmu bertanggung jawab atas keadilan distributif akan harta dan pengetahuan yang dimilikinya.

Orang berharta jika masih mencuri silahkan eksekusi, orang berilmu yang bertindak bodoh silahkan diadili. Sebab tindakannya bertentangan dengan kapasitasnya. Artinya adil haruslah tegak lebih dulu baru berlakukan hukum.

Penyempitan makna syairah bukan hal kebetulan, kelompok yang menafsirkan agama sebatas ritualistik adalah aset yang harus dirawat oleh rezim korup. mereka tak lagi mengkritik sebab agama hanya diartikan sebatas shalat hingga haji, titik. !

Kalaupun penguasa keliru bagi mereka nasehati saja, jangan dikritik apalagi dihujat.

'siapa loe siapa gue' cocok dinisbatkan pada kelompok berfikir seperti ini. Siapa ia sebagai ormas pasif mampu memberi efek hanya dengan nasehat bijak pada negara yang dinahkodai para bajak laut dan perompak. Padahal, penyebaran islam menyebabkan banyak nyawa berguguran karena konsekwensi penentangannya atas ketimpangan sosial yang terjadi.

Kita memang bukan negara yg menerapkan syariat Islam, tapi kesadaran kritis atas dorongan teologi harusnya membuat pemeluk agama (apapun itu) tak menganut keyakinan secara pasif. toh Buat apa beragama kalau tak memberi efek pada situasi sosial !


(tulisan ini merupakan sedikit dari penggalan materi yang disampaikan dalam forum Darul Arqam Madya Nasional PC IMM Kab. Gowa, pesantren Sultan Hasanuddin, 11 Februari 2021)

 


Perempuan, Kehormatan dan Eksploitasi.

(Analisis Kritis atas eksploitasi perempuan dibalik iklan)

Sebelum datangnya islam perempuan (arab) diperlakukan tidak lebih dari sekedar property oleh para aristocrat, semakin banyak propertynya semakin terhormat pula kedudukan mereka di mata masyarakat. islam membawa spirit Tauhid Lailaha Illallah sebagai kalimat revolusi yang merubah tatanan kehidupan, menentang perbudakan dan eksploitasi manusia oleh manusia, membebaskan dan mengangkat harkat dan martabat perempuan dari stigma yang begitu rendah lalu diberikan kedudukan yang terhormat. Kalimat tauhid berimplikasi pada kesetaran ummat manusia tanpa mengenal suku, bangsa, bahasa, warna kulit, maupun jenis kelamin.

Sejarah menunjukkan banyak tokoh perempuan yang layak dipandang setara dan bahkan melebi laki-laki bukan karena sesuatu yang melekat secara instrumental melainkan karena kualitas dirinya. Kita lihat bagaiamana hipatia, seorang astronom, filusuf, dan matematikawan helenistik dari aleksandria mesir mengajarkan filsafat dan astronomi. Hidup sekitar tahun 415 masehi, yang juga disymbolkan sebagai pergerakan hak perempuan. sepanjang hidupnya ia berkontribusi dalam dunia ilmu pengetahuan, hingga kematiannyapun dikenal sebagai martir dalam filsafat.

Yang ingin saya katakana ialah perempuan berhak mengidentikkan dirinya dengan kehormatan dan ilmu pengetahuan, sebagaimana sejarah menunjukkan itu.

Lalau, bagaimana dengan kenyataan hari ini ? cita-cita tokoh feminis nampaknya belum selesai ketika dalam dunia industri perempuan dijadikan cover untuk melabeli hasil produksi capital. Hal yang sudah dianggap biasa dan tak perlu dipermasalahkan namun disitu eksploitasi perempuan sedang bekerja. Kalau dilakukan pembacaan secara semiotic, kita akan menangkap satu hal penting dimana hegemoni capital memenuhi relung kehidupan. dan demi kesuksesan pemasaran perempuan dijadikan sebagai pemikat perhatian.

Sebagian perempuan menerima saja perlakuan demikian, entah mungkin ungkapan politisnya “simbiosis mutualisme” mereka pakai sehingga menikmatinya atau memang tidak paham, dalam istilah filsafatnya “tidak tahu akan ketidak-tahuannya”. Saya melihatnya lebih kepada hierarki pengetahuan yang mengimbangi kesadaran, semakin orang tau semakin ia sadar, begitupula sebaliknya, semakin rendah tingkat pengetahuan rendah pula tingkat kesadaran.

Kita persempit kasusnya dalam dunia periklanan. Untuk menganalisa ini, saya mengurai dengan pendekatan semiologinya Rolland barthes dengan apa yang ia sebut “mitos identifikasi” yaitu mereduksi  suatu makna menjadi identitas fundamental yang bukan karena adanya hubungan alamiyah. Contoh ; sebut saja salah satu “aplikasi jual-beli online”. Ketika buka youtobe kita disambut dengan beberapa orang perempuan mengiklankan aplikasi dengan cara berjoget yang mengundang “Tamu”.  Pertanyaannya, Apa hubungannya berjoged-joged dengan aplikasi jual beli online ? tidak ada. Joged dijadikan bagian dari identitas aplikasi sangat tidak nyambung. namun itu dapat bekerja efektiv karena menampilkan perempuan dengan cara yang disenangi public. Itulah yang saya maksud eksploitasi perempuan yang sedang bekerja. Yaitu dijadikan alat pemasaran, didesain harus bergerak seperi ini dan seperti itu, harus berkspresi seperti ini dan seperti itu.

Kasus diatas sama tidak nyambungnya dengan tagline “laki minum extrajos’, ‘orang pintar minum tolak angin’ sehingga memaksakan makna kalau minumannya yang lain berarti dia belum laki atau kalau bukan tolak angina yang kita minum berarti dia tidak pintar. Maknanya telah direduksi menjadi identitas fundamental dan memaksa alam bawah sadar kita untuk menerima itu.

Dalam kritik modernitasnya Harbert Marcuse menilai, hari ini bukan lagi kebutuhan nyata manusia yang menentukan produksi, tapi kebutuhan diciptakan supaya hasil produksi bisa laku, yang bekerja merekayasa kebutuhan manusia adalah dunia industri, dipamerkanlah sejumlah produk yang selalu diperbaharui setiap tahunnya melalui media, ini sangat pas dengan gaya konsumerisme kita yang suka bersosial media, merasa butuh untuk memiliki keluaran terbaru, ketika perasaan itu muncul maka rekayasa dunia industri sudah berhasil, dan selamat ! anda masuk dalam jebakan.

Itu dapat kita mengerti disatu sisi karena memang demikianlah dunia capital bekerja. Namun yang ingin digaris bawahi dalam tulisan ini yaitu hampir dalam memamerkan berbagai produk selalu menggunakan perempuan sebagai  alat memuluskan tujuan.

‘Sayyid Qutb‘ tokoh yang cukup keras dengan pandangan-pandangannya mengatakan dalam ma’alim fi at-thariqnya “ketika tugas kaum wanita hanyalah bersolek, merayu, dan merangsang nafsu, disinilah terletak keterbelakngan peradaban atau kejahiliyahan”.

(tulisan ini sedikit dari penggalan materi yang disampaikan pada Diksuswati PC IMM Kota Makassar, bollangi 6 desember 2020)

Abdul Ghani (Dosen UNIMUDA Sorong)

Jiwa-jiwa Aktivis yang terlelap, Abdul Ghani

Hari ini touring ke Pulau Arar,   bersama anak-anak muda yang ambisius, mendiskusikan berbagai gagasan. Dari sekian pembahasan terselip ba...