(Abdul Ghani)
Adalah hal yang mengusik benak, kata-kata dikonstruk menjadi sebuah
slogan pada keadaan tertentu digiring untuk memukul lawan.
Slogan aku paling NKRI secara polos menggambarkan siapa saja yang
meneriakan itu sebagai negarawan, Kata Moderat, secara polos menggambarkan diri
sebagai kelompok ideal atau penengah.
Namun, diam-diam secara tersirat slogan tersebut menghendaki lawan
kata, ini umpanya Mubtada' dalam bahasa arab tidak lengkap kalau tidak ada khabarnya.
Belum lengkap slogan 'Cinta NKRI' kalau belum menemukan lawannya
yang tidak cinta NKRI atau tidak Pancasilais, Belum lengkap Slogan Moderat
kalau belum menemukan Ekstrimis, Belum lengkap 'inklusif' kalau belum menuduh
selainnya ekslusif. Belum lengkap slogan 'tolerasi' kalau belum menemukan
'intoleran'. Demikian pula liberal tak lengkap kalau belum menemukan lawannya
yang konservatif.
Sekalipun kata-kata tersebut tak memiliki tuan sebagai lawan, mau
tidak mau lawan harus diciptakan agar slogannya tak terdengar ambigu. Mereka
harus mencari subjek agar 'lawan kata' itu tak menjadi musuh yang tidak
bertuan.
Ya, walau harus menunjuk sana-sini secara sembrono. Ini bukanlah
hal yang baru, melainkan ini adalah pola lama yang telah diperankan diberbagai
waktu dan tempat.
Kita mungkin masih ingat apa yang dikatakan Buya Hamka atas
kejengkelannya pada gengster macam ini
'untuk membela pancasila, mereka injak-injaklah si pancasilais.
Untuk menjunjung pancasila, si pancasila harus dikuburkan.
Untuk membela sila pertama (ketuhanan), orang beragama harus
bekerja sama dengan komunis (anti tuhan).
Untuk menegakkan kemanusiaan, manusia yang dibenci ditangkap dan
dibenamkan kedalam penjara. Sedangkan anak istrinya dibuat melarat.
'Keadilan sosial' dasar negara kelima ditegakkan dengan
sungguh-sungguh. Yaitu dibagi-bagilah dengan adil dan merata kemiskinan dan
kemelaratan , ketakutan, dan kecemasan dikalangan rakyat banyak, sedang
penguasa saking kasihannya pada rakyat 'tak usah' mengambil bagian sedikitpun
dari kemiskinan dan kemelaratan itu'.
Menjadi rumus kalisik 'kebohongan yang dilakukan berulang-ulang
akan diterima sebagai kebenaran, bahkan pembohong pun akan percaya atas
kebohongannya sendiri. makna berbagai idiom positif direduksi dan dipersempit,
lalu dikerdilkan.
Sebut saja seperti Radikal atau jihadi, adalah bagian dari reduksi
makna yang digunakan untuk menghantam timur tengah. Lahirlah stigma 'muslim
adalah teroris' yang dianggap radikal dan atas nama jihad melakukan kejahatan
tak manusiawi.
Radikal artinya identik dengan senjata, jihad identik dengan bom
bunuh diri yang dilakukan dengan konyol hingga muslim digambarkan sebagai ummat
yang rela mati demi doktrin jumpa dengan bidadari di Surga. Citra ini terlalu
konyol untuk dikonsumsi oleh orang-orang yang berakal.
Ahirnya, dengan dalih menangkap teroris dilumpuhkanlah timur tengah
hingga mereka tak punya kaki dan tangan untuk mempertahankan minyak yang sedang
dirampok oleh para 'pemburu teroris'.
Kalau berbicara rekayasa internasional oleh imperealis, itu sah-sah
saja, ya namanya juga strategi dan politik. Siapa yang kuat dia berkuasa, ini
hanya bentuk lain dari hukum rimba.
Namun, kalau kita mau melakukan look inside setelah look outside.
Harusnya kita lebih jeli melakoni penggunaan istilah-istilah, yang terdengar
sederhana tapi berpotensi menimbulkan pengkotak-kotakan, perbedaan, permusuhan
dan perpecahan. Lalu, kelompok yang tak bertanggung jawab dengan senang hati
mengambil untung.
Saya bermimpi, istilah-istilah tersebut : Pancasilais/ tidak
pancasilais, paling NKRI/ kurang ber-NKRI, inklusif/ekslusif, moderat/ekstrimis,
liberal/konservatif, toleran/intoleran, Islam Nusantara/Islam Arab, atau apapun
itu dikeluarkan dari klasifikasi kosa-kata beragama atau bernegara agar
generasi tak semakin terpola dan terjebak oleh rekayasa dan adu-domba.
Untuk Islam sebagai agama, Islam ya Islam ! Nabi tak pernah
mengukuhkan islam sebagai jenis moderat, liberal, konservatif, ekstrimis, atau
apalah itu. Istilah-istilah ini bagi saya lebih mencerminkan watak personal
yang dipatenkan secara institutional.
Jangan setelah kita disatukan dengan Tauhid lalu, mau
dicerai-beraikan oleh istilah yang dipopulerkan kemarin sore.
Makassar, 14 feb. 2021