Minggu, 07 November 2021

Wasiat Ilmu dan Akhlaq, Abdul Ghani


(Tulisan ini sebenarnya ku peruntukkan untuk santriku, pada suatu waktu aku menyampaikan pesan-pesan kepada mereka, lalu ada salah seorang santri bernama Fakri meminta teksnya untuk dipelajari, wah ku jawab belum ku tulis, nanti ya kalau luag baru ku tuliskan untuk Fakri, ya begitulah,, kesibukan menggiring kita sampai hampir tak ada waktu untuk menulis. Padahal kita sadar, raga kita akan musnah tapi pikiran yang ditulis akan terus berkembang ke generasi berikutnya walau kita telah tiada). Wallau alam.

Wasiat Ilmu dan Akhlaq

Dalam agama kita diajarkan bahwa menuntut ilmu itu adalah wajib bagi tiap muslim laki-laki maupun perempuan. sebagaimana kita ketahui bersama akan hadis nabi Saw “talabul ilmi faridatun ala kulli muslimin wal muslimat” menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun perempuan. ‘wajib’ sebagaimana shalat, kalau tidak dikerjakan akan berdosa, maka supaya kita adil dalam membangun definisi, belajar atau menambah ilmu pengetahuan jika tidak ditunaikan seharusnya kita juga merasa berdosa.

Ia juga tidak mengenal profesi, apakah murid, guru, pedagang, pengusaha, selama ia menyandang gelar sebagai Muslim maka wajib baginya untuk menambah dan memperbaharui ilmu pengetahuan. Belajar tak mengenal batas usia, wajib belajar bukan hanya 9 tahun sampai tamat SMP, atau 16 tahun sampai jadi seorang sarjana. Melainkan ‘Minal Mahdi illlahdi’dari buaian Ibu sampai masuk liang lahad.

Kita yakin suatu bangsa bila ia berpegang pada ilmu pengetahuan maka bangsa itu tak akan terbelakang, sebaliknya jika bangsa itu generasinya meninggalkan ilmu maka pasti bangsa itu akan terbelakang. Ini sejalan dengan hadis nabi yang lain “ man arada dunya faalaihi bil ilmi wa man aradal akhirata fa alaihi bil ilmi”barang siapa yang menginginkan dunia dan akhirat maka itu bisa diraih dengan ilmu.

Dan dalam aktivitas dunia pendidikan, kita tak bisa melepaskan diri dari aktivitas tulis menulis. Ini dianggap sepeleh padahal ia merupakan hal paling fundamental (mendasar) untuk tercapainya peradaban yang maju. Kita tau ketika jepang dibom bardir di hirosima dan Nagasaki, pertanyaan yang muncul bukan hanya ada berapa tentara yang tersisa, melainkan yang tak kalah penting ialah berapa guru yang masih tersisia, karena mereka sadar disitulah kunci mereka dapat memulihkan bangsanya. Imam asyyafi’I pernah menyampaikan

الْعِلْمُ صَيْدٌ وَالْكِتَابَةُ قَيْدُهُ قَيِّدْ صُيُوْدَكَ بِالْحِبَالِ الْوَاثِقَهْ

فَمِنَ الْحَمَاقَةِ أَنْ تَصِيْدَ غَزَالَةً وَتَتْرُكَهَا بَيْنَ الْخَلاَئِقِ طَالِقَهْ

Ilmu bagaikan hewan buruan dan tulisan adalah ikatannya, ikatlah buruanmu dengan tali yang sangat kokoh. Adalah suatu kebodohan apabila engkau pergi berburu, setelah buruan itu sudah engkau tangkap dan ada di hadapapanmu lalu engkau biarkan ia lepas dan pergi begitu saja.

Kita sudah jauh-jauh datang dari kampong halaman untuk ilmu ini, setelah ilmu ada dihadapan kita maka kita harus ikat dia, minimal dengan catatan, karena kita sebagai manusia adalah mahallul khata’ wannisyan yaaitu tempatnya salah dan lupa, maka untuk meminimalisisr kita dari lupa maka kita wajib mencatat.   

 ulama dulu sampai nulis ditembok, di pelapah kurma, di tulang, di batu. Sampai seorang sastrawan Indonesia pun pernah bersenandung “menulislah, jika pena tak ada menulislah dengan arang, jika kertas telah habis menulislah pada dinding, jika menulis itu dilarang maka menulislah dengan darah”. Kita tak diminta menulis di dinding, karena kita punya kertas. Tak pernu menulis dengan arang karena kita punya pena. Terkadang yang tak kita miliki bukan itu melainkan semangat dan kemauan, itu yang telah hilang dari generasi kita.

Umar bin abdul aziz pernah berwasiat :

إن استطعت أن تكون عالما فكن، فإن لم تستطع فكن متعلما، فإن لم تكن متعلما فأحبهم، فإن لم تستطع فلا تبغضهم            

Sedapat mungkin jadilah engkau orang yang menguasai ilmu pengetahuan. Jika tak sanggup maka jadilah penintut imu yang baik, jika pun masih tak sanggup maka cintailah, senangilah mereka yang mencintai ilmu dan aktivitas yang menunjang tumbuhnya ilmu, jikapun masih tak bisa paling tidak jangan membenci dan menghardik mereka yang mencintai ilmu, jangan dihalang-halangi, sebaliknya dukunglah mereka.

Jika kita ingin bertanya, manakah yang lebih utama antara ilmu dengan harta ? orang yang pandangannya sempit maka ia akan mengatakan harta. Banyak generasi dikampung ahirnya tidak memperhatikan pentingnya pendidikan kerena merasa itu hanya akan menghabiskan uang sementara belum tentu dapat pekerjaan layak.

Untuk menjawab ini kita kutib apa yang disampaikan imam asyyafi’I berikut :

العلم خيرمن المال، العلم يحرسك وأنت تحرس المال، والمال تنقصه النفقة، والعلم يزكو بلانفاق

Ilmu jauh lebih utama dari harta, ilmu menjagamu tapi kalau harta kamu yang menjaganya, harta dibelanjakan habis, tapi ilmu diajarkan akan bertambah.

Ini seharusnya turut mengkostruk pandangan kita bahwa memandang dunia pendidikan bukan hanya semata-mata demi meraih pekerjaan, biasanya kalau niatnya hanya sebatas ini ya mudah saja makanya banyak yang beli ijazah. Tapi bukan itu esensinya, ilmu ialah untuk memperbaiki kualitas kehidupan, pekerjaan akan ikut dengan sendirinya. Hawatir tak makan saja kita sudah mengingkari nimat Tuhan, selama kita bergerak rezeki itu sudah pasti kita dapatkan.

Setelah kita menghayati kedudukan ilmu, lalu apakah sudah cukup sampai disitu sebagai modal kehidupan ? jawabanyya ialah tidak ! karena ilmu harus disertai dengan adab dan akhlaq. Ilmu yang tidak dibangun dengan pondasi adab dan akhlaq maka biasanya ilmunya hanya akan digunakan untuk merusak. Tatatanan bangsa ini selama ini bukan dirusak oleh orang-orang yang bodoh, melainkan oleh orang-orang yang berilmu namun kehilangan adab. Kemampunnya berhitung tak digunakan untuk memulihkan perekonomian bangsa, malah digunakan untuk menguras apa yang bisa dikuras, sampai-sampai habis keringatnya sendiri keringat rakyatnya pun dikuras, lahirlah korupsi.

            Olehnya itu moral maupun akahlaq ini harus ditanamkan pada generasi kita sejak dini, perilaku curang di masa sekolah kalau dibiarkan itu akan naik level menjadi besar. Nyontek di masa kecil ialah kebiasaan buruk yang ingin cepat dapat hasil tapi malas berusaha belajar dengan giat, yang kelak pada level berikutnya ia mau cepat kaya tapi malas menabung, akhirnya milik milik rakyat dipandang sebagai miliknya sendiri.

            Kita sudah cukup panjang mengurai, pada bagian terahir ini kita tutup dengan apa yang disampaikan umar bin abdul aziz pada anaknya, ketika anaknya bertanya penuh keheranan melihat ada serigala ditengah gerombolan domba namun mereka akur. Apa yang menjadi jawaban umar,

يا بني اذا صلح الرأس فليس على الجسد بـأس

“Wahai anakku jika isi kepalamu beres, maka tubuhpun takkan punya masalah”   

ia menjawab dengan jawaban hikmah, bahwa segala sesuatu yang diwujudkan oleh raga adalah representasi isi kepala, begitulah kehidupan manusia. Jika kepala isinya merusak maka raga akan merusak, jika kepala isinya hanya ingin memangsa kaum lemah, menindas ketika berkuasa, maka raga akan melaksanakan itu. Kepala adalah panglima raga hanyalah prajurit. Maka jagalah pikiran mu selalu positif karena ia akan menjadi perkataan, jagaah perkataan mu selalu positif karena ia akan menjadi tindakan, jagalah tindakanmu selau positif karena ia akan membentuk  kebiasaan, jagalah kebiasaanmu selalu positif karena ia akan menjadi takdir dalam hidupmu. Dunia ini kacau kebanyakan karena isi kepala tidak beres

sebagai kesimpulan, yang pertama ialah kemajuan peradaban hanya bisa dicapai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), muslim tak boleh alergi dengan itu dan harus berfikiran terbuka. Kedua, ilmu yang kehilangan adab dan akhklaq hanya akan digunakan untuk merusak. Keduanya menjadi satu-kesatuan tak terpisahkan.

Abdul Ghani

Sorong 08 november 2021.

 

Jiwa-jiwa Aktivis yang terlelap, Abdul Ghani

Hari ini touring ke Pulau Arar,   bersama anak-anak muda yang ambisius, mendiskusikan berbagai gagasan. Dari sekian pembahasan terselip ba...