Sejenak aku lewat di depan Pos security sambil menenteng buku dan kotak kacamata. Seperti biasa ku memberikan senyum kepada bapak penjaga yang bertugas, yah hitung-hitung ‘senyum sebagai ibadah’ paling tidak untuk mengimbangi ibadah lain yang kadang diikuti oleh kelesuan yang tak pernah mampu untuk sempurna.
Si bapak security menyapa dengan pertanyaan. Apa itu pak ? oh ini pak dari mengambil buku yang ketinggalan, jawabku. Si bapak berbalik mengomentari, wah bapak ini sudah mengajar kok masih belajar. Hanya ku jawab dengan senyum kecil dan berkata ‘itulah pak, hhee’.
Dalam hati jawabanku sebenarnya panjang kali lebar, yah tak kusampaikan, karena umumnya orang hanya ingin mendengarkan apa yang mereka ingin dengar tidak semata-mata tentang apa yang benar. Sehingga di alam realita kadang terjadi disinformasi yang berhujung pada post truth, yaitu berita yang terlalu melampaui kebenaran dimana fakta kalah membentuk opini public dibandingkan dengan emosi dan keyakinan personal.
Apa maksudnya ? si A yang sedang duduk menikmati pemandangan disebuah gedung tinggi lalu diamati oleh si B. lalu diceritakan kepada si C oleh si B. penambahan cerita lebih sering terjadi dari pada pengurangan hingga si C memahami bahwa A hendak melakukan bunuh diri. Lalu sampai kepada telinga si D bahwa si A sudah mati bunuh diri di sebuah gedung. Besoknya si D tak sengaja berpapasan dengan si A dijalanan, ia kaget mengira itu adalah arwah yang berjalan gentayangan.
Dari sini, antara pesan dan realita sudah jauh berbeda, orang tak selalu ingin mendengarkan apa yang benar melainkan apa yang mereka (suka) ingin dengar. Sehingga seorang yang pandai dalam beretorika mengerti betul bagaimana cara memanipulasi lawan tutur untuk mengikuti apa yang mereka inginkan. sepertinya kita harus banyak belajar dari teori dan praktek seorang sales dan Multi Level Marketing. Hhee
Kembali pada jawaban yang terlintas dalam hati dan pikiran, itulah yang ingin kujawab dalam tulisan ini dan diperuntukan bagi siapa saja yang senang membaca. Mengapa sudah mengajar masih mau belajar ? pertanyaan ini sederhana namun begitu dalam untuk dijawab.
Jauh sebelum diperkenalkan istilah “Long Life Education” alias pendidikan seumur hidup di era modern ini, kurang dari seribu lima ratus tahun yang lalu Islam melalui nabi Muhammad saw sudah memperkenalkan belajar itu ‘minal Mahdi ilallahdi’ dari kita lahir sampai kita mati.
Seorang yang saleh secara ritual, jika lalai atas kewajibannya lalu merasa bersalah seharusnya agar kesadaran akan kesalehan itu berimbang ‘berdiam diri tak menambah pengetahuan pun harusnya merasa berdosa’, sebab itu juga wajib. Wajib belajar bukan hanya 9 tahun atau sampai 13 tahun hingga meraih gelar sarjana saja. Sebab ‘yang kita bicarakan disini adalah ilmu bukan ijazah’. Ilmu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanat konstitusi bukan sekedar ijazah untuk melamar pekerjaan.
Semakin tinggi tingkat pendidikan harusnya semakin sebanding dengan tingkat kesadaran. Kesadaran akan apa ? bukan sadar karena sudah hebat, melainkan sadar masih banyak yang belum diketahui. dipuncak kesadarannya akan pengetahuan Socrates mengingatkan kita ‘hanya satu yang aku tau yaitu aku tidak tau’.
Taukah engkau perbedaan orang bodoh dan cerdas ? Orang bodoh tak dapat mengetahui kebodohannya karena ia tak punya alat untuk itu (yang seperti ini biasanya merasa pintar). orang cerdas dapat mengenali dan mengukur ilmunya hingga ia sadar luasnya samudra pengetahuan sementara yang baru dia raih hanya secuil hinga ia harus malu atas ‘perasaan bodohnya’.
Sebelum tulisan ini berahir, ada satu poin lagi yang ingin sedikit diurai dari baris paling pertama pada tulisan ini yaitu ‘Buku dan Kotak kaca mata’. Keduanya menjadi kombinasi yang terdengar waow bangetz, seolah menggambarkan diriku yang kutu-bukunya masyaallah,hhee… Tentu jawabannya Tidak, Tidak, dan sama sekali Tidak !. inilah yang bung Roland Barthes juga mengatakannya sebagai mitos ‘Kacamata’. Yaitu menggeser makna kacamata dari makna aslinya ke makna lain dan diyakini sebagai kebenaran’. Mendefinisikan kacamata sebagai kutu buku dan menggambarkannya sebagai ciri orang pintar adalah kesalahan, sebab untuk pintar syaratnya ‘belajar’ bukan pakai kacamata. Sementara makna kacamata yang sebenarnya ialah menggambarkan orang yang ‘sakit matanya’. Dalam kehidupan sehari-hari terlalu banyak praktik mitis yang sering kita konsumsi dan diterima sebagai definisi fundamental.
Sederhananya, poin tulisan ini hanya dua, pandai dalam membaca realita dan pengingat akan wajib belajar seumur hidup.
Jika pemahaman yang kita miliki dibangun hanya dari apa yang dilihat dan sekedar didengar, itu terlalu mengindikasikan konstruksi berfikir yang belum kokoh dan world viw yang masih rapuh hingga anda akan rentan menjalani hidup dalam dunia manipulatif. Dan Jika tidak shalat takut dosa, maka sedetik saja bermalasan untuk tidak belajar juga seharusnya berdosa karena ia juga adalah wajib.
Sekian dan wallahu alam..
Salam hangat..
Abdul Ghani..
Abdul Ghani (Dosen Unimuda Sorong)