Sabtu, 17 April 2021

Puasa (dialektika Iman dan Sabar), Abdul Ghani

 



Puasa (Dialektika Iman dan Sabar),

Oleh : Abdul Ghani

Dalam Qs al-baqarah : 183, orang beriman diseru oleh Tuhan untuk menjalankan ibadah puasa. yang diseru ialah orang beriman bukan orang mukmin (lihat permulaan surah al-mu’minun). Yang mana konotasi mukmin ialah ia yang sampai pada level iman paripurna sementara beriman ialah ‘kata kerja’, selama ia ada imannya maka selama itu ia diseru untuk berpuasa. sebagaimana penjahat dengan orang yang berbuat jahat. Kalau penjahat maka segala hal yang ia lakukan kapanpun dan dimanapun adalah jahat, tapi kalau orang ‘berbuat jahat’ artinya yang jahat hanya perbuatannya disaat itu saja. 

Maka seruan oleh ayat ini, seluruh orang yang percaya kepada Allah sebagai Tuhan (dalam islam) apakah ia orang beriman yang masih suka berbohong maupun orang beriman yang jujur, orang beriman yang malas ibadah maupun yang rajin, orang beriman awam mapun yang ulama, penjahat maupun ahli ibadah, selama ada iman dalam dirinya maka selama itu ia wajib berpuasa. Seolah ada makna tersirat bahwa puasa adalah konsekswensi iman artinya siapa yang tidak mau puasa patut dipertanyakan kembali keimanannya.

Puasa merupakan ibadah yang paling menguji tingkat ‘Sabar’. Ada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah

الصيام نصف صبر (رواه إبن ماجة)        puasa ialah separuh dari sabar                    .

Mengapa sabar ? karena hampir seluruh kesabaran kita diuji saat berpuasa. Bebicara soal sabar ini perlu kita klasifikasi dulu agar menjadi jelas uraiannya dan agar tak salah memaknai dan menempatkan kata ‘sabar’.

Diantaranya yaitu ‘sabar dari’ dan ‘sabar untuk’. Pertama ‘sabar dari’ yaitu atas apa yang menimpa. Dalam Qs al-ankabut : 2 : manusia dikabarkan menggunakan sighah istifham (pertanyaan) namun bermakna khabar (berita) yang menginformasikan kepada manusia bahwa mereka yang mengaku beriman apakah dibiarkan saja beriman tanpa diuji ? Artinya orang yang telah berikrar beriman pasti dan pasti mereka akan diuji. Rumusnya ujian ada yang lulus dan ada yang gagal. Ia yang lulus dengan ujian akan naik ke level iman lebih tinggi namun ia yang gagal masih harus berintropeksi diri mungkin ada yang kurang atau ada yang keliru dari cara ia beriman dan menjalankan keimanannya.

Ujiannya ada bermacam-macam. Ada orang yang diuji dengan kesusahan atau kekurangan harta, diuji dengan kekayaan, dan adapula yang diuji dengan jabatan. Ia yang diuji dengan kesusahan Tuhan ingin melihat apakah dengan kesulitan yang ia alami menjadikan ia sebagai pribadi yang tetap bersabar dan berusaha atau malah ia melecehkan Tuhan atas ujian yang dialaminya. Pernah saya berada di suatu forum tasyakuran, salah seorang yang berada disitu menceritakan ada pemuda dari kerabatnya yang mencaci maki Tuhan atas jeleknya hasil panen bahkan ‘kata yang ia anggap ‘lelucon’ atau sekedar guyonan kekesalan’ sampai ia mengatakan ingin menyihir Tuhan seandainya bisa. Na’udzubillah. Walaupun Tuhan yang maha menilai tapi pribadi seperti ini mengindikasikan ‘orang yang gagal dalam ujiannya’ dan tak akan naik kelas.

Ada yang diuji dengan materi (harta) Tuhan ingin melihat apakah ia bersyukur dengan hartanya atau tidak. Apakah ia tetap memperhatikan bagaimana harta itu diraih, dan bagaimana ia dibelanjakan, suatu kasus juga sejauh yang saya tau, tentang seorang yang diingatkan untuk mengeluarkan zakat mal, ia menjawab ‘saya mau beli mobil’ sehingga dijadikan alasan untuk tidak mengeluarkan zakat mal padahal mencapai nisab. Dalam Qs attaubah : 103, sebagai landasan mengeluarkan zakat mal, bahwa dalam harta yang disimpan terdapat hak orang miskin apakah orang miskin yang datang meminta maupun yang tidak datang meminta.

Dalam ajaran agama islam ada lima pokok hukum ajaran islam yang harus dijaga keberlangsungannya. Diantaranya hifzuddin (memelihara agama), hifzunnafs (memelihara diri dan orang lain), hifzunnasl (memelihara keturunan), hifzulmal (memelihara harta), dan hidfzul aql (memelihara akal).

Untuk memelihara harta bukan berarti ditumpuk agar menjadi banyak, seperti air yang dibendung tak dibiarkan mengalir maka airnya akan membusuk, berulat, kotor dan menimbuilkan penyakit. Demikianlah pula dengan harta Jika tak dikeluarkan sesuai nisabnya maka akan bercampur dengan hak orang miskin didalamnya. Akan ada saja cara Tuhan mengambilnya dari orang kaya yang kikir, apakah berupa didatangkan penyakit yang sulit disembuhkan hingga tumpukan harta habis untuk biaya berobat.

Selanjutnya ada orang yang diuji dengan jabatan. Tuhan ingin melihat apakah dengan jabatan ia menjadi amanah atau khiyanah. Abu Bakar Assidik ketika dibaiat menjadi khalifah diantara penggalan pidatonya ia sampaikan dihadapan kaum muslimin ‘aku sesungguhnya telah menjadi wali kalian walau aku tidak lebih baik dari kalian, barang siapa yang menemukan aku salah maka koreksilah aku dan siapa yang menemakan aku benar dukunglah aku, kebenaran adalah amanah dan dusta adalah khiyanah, siapa diantara kalian yang merasa lemah bagiku kalian adalah kuat karena aku akan memenuhi hak-hak kalian, dan siapa yang merasa kuat bagiku kalian lemah karena aku akan mengambil harta kalian (untuk didistribusikan sesuai nishabnya).

Dari penggalan pidato Abu Bakr dapat dinilai sesungguhnya menjadi pemimpin ialah untuk mengushakan kesejahteraan bukan untuk memperkaya diri atau kelompok. Hadis nabi saw : la imana lima la amanata lahu’ tidak beriman orang yang tidak amanah.

Demikian macam-macam ujian bagi orang yang telah mengikrarkan iman. Hanya saja orang selalu diuji sesuai dengan kadar keimanannya. Orang yang diuji dengan perkara besar jangan bersedih hati artinya dengan begitu disisi Tuhan anda dianggap layak karena ujian itu sebanding dengan kadar iman anda, sebaliknya orang yang diuji dengan perkara sepeleh harus merasa curiga jangan-jangan disisi Tuhan level saya memang segini. Sehingga dari bangunan berfikir yang Tauhidi memandang segala persoalan dalam rangka berprasangka baik pada Tuhan bukan malah sebaliknya melecehkan Tuhan.

Kedua ialah ‘sabar untuk’ yaitu sabar untuk beristiqamah dalam ketaatan. Momentum bulan suci ramadhan kesabaran kita betul-betul direviw oleh Tuhan. Dari hal yang sepeleh keinginan untuk makan dan minum kita diminta untuk menahannya, ada kebiasaan diluar puasa menggibah orang lain kita bersabar menahan diri untuk itu. Segala perilaku tercela kita tahan dan menggantinya dengan kebaikan, dari cara berfikir, bertutur, hingga cara bertindak. Ada keletihan untuk menjalankan ketaatan namun dalam keletihan itu kita diuji untuk bersabar sehingga dipersimpangan jalan kita didapati sebagai orang yang sabar untuk beristiqamah ataukah malah menyerah dengan keadaan.

Dalam Qs al-baqarah : 155 allah menjanjikan untuk diberi kabar gembira atas orang-orang yang sabar setelah sekian banyak review keimanan yang dialaminya. Wabassyirissobirin ‘ berilah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar”.

Untuk memberikaan stimulus atas puasa yang kita jalani mungkin kita perlu sedikit merekonstruksi paradigm berfikir tentang puasa. Yaitu puasa sebagai ibadah yang membelenggu ataukah sebagai pembebas’.

Puasa sebagai pembebas sedikit terdengar keterbalikan dari amaliyahnya, sebab yang dirasa bukanlah pembebas melainkan mengekang, ia mengekang segala rasa ingin apakah dari keinginan nafsu perut maupun nafsu syahwat yang kebanyakan manusia seharusnya ia yang memimpin dua hal ini tapi tak jarang dua hal ini yang malah memimpinnya. baru diberi sedikit rasa lapar (Qs 2 : 155) Orang rela melakukan apa saja demi desakan perut, hawatir besok makan apa itu sudah mendurhakai Tuhan, Qs Hud : 6 : bahwa tiada satu hewan melata pun dimuka bumi melainkan telah ditentukan rezekinya. Tapi, Jangan juga dengan dalil itu kamu duduk berpangku tangan, rezeki disipkan Tuhan itu benar, tapi kalau tidak dijemput ya masa mau tunggu Tuhan mengantarkannya di rumahmu. Rezeki disipkan Tuhan tapi manusianya harus aktif bergerak. “Tak perlu hawatir selama kamu masih punya Tuhan”. Demikianlah nafsu syahwat suka merengek seperti anak-anak ‘annafsu ka attifli’, setelah minta ini mau minta itu, dikasih itu minta itu lagi tak ada batasnya, kalau manusia menghamba pada yang satu ini maka gunung dan lautan pun dikasi ia takkan pernah cukup. “sederhananya, bukan syahwat dan perut yang semestinya mengkondisikan kita tapi kitalah yang mengkondisikan keduanya supaya tidak Rusuh”. Maka dibutuhkan riyadhah (latihan) melalui puasa ramadhan yang dijalani penuh kesungguhan untuk mengkondisikan “kerusuhan batin” yang dapat berdampak pada kerusuhan personal hingga social.

Pierre F. Bourdieu mengistilahkan kebiasaan tertentu dengan “habitus”, contoh, orang yang biasa curang satu kali diminta adil itu terasa asing dan berat baginya, sebaliknya orang yang biasa adil satu kali diminta curang atau melihat kecurangan itu terasa berat luar biasa. Terjadi gejolak batin yang begitu hebat ketika orang keluar dari kebiasaanya. Orang yang disiplin berpuasa, satu kali meninggalkannya akan merasa sangat rugi, sebaliknya orang yang tidak disiplin akan merasa sangat menderita untuk berpuasa. Sudah menjadi kebiasaan. Kebiasaan hanya bisa dirubah dengan kebiasaan, hal yang tak terbiasa masih bisa dibiasakan selama ada rasa ingin (niat).

Imam Algazali mengkategorikan puasa pada tiga tingkatan, yang pertama ialah puasanya orang awam (umum) yaitu menahan diri dari dua hal yang disebutkan diatas. Pada tahap ini dapat dimengerti kita akan berada pada level “segalanya adalah kekangan” karena segalanya dibatasi. Kedua ialah puasa orang khusus ; yaitu bukan hanya menahan makan dan  minum. Berapa banyak orang menahan makan dan minum tapi tak menahan lisannya untuk menyebar fitnah, tak menahan keputusannya untuk berlaku curang dan tidak adil, tak menahan diri dari melakukan hal yang tidak berguna. Maka pada tingkat kedua ia menahan bukan hanya nafsu tapi juga dari perilaku tercela yang pada dasarnya tidak membatalkan puasa tapi merusak nilai puasa. Nabi bersabda “rubba min soimin laisa lahu min siyamihi illalju’wal atsi” betapa banyak orang berpuasa tapi tidak mendapatkan apa-apa selain lapar dan dahaga. Dan pada tingkat ketiga yaitu puasanya khawasul khawas yaitu yang lebih khusus dari orang-orang khusus.

Kalau puasa orang khusus yaitu menahan diri dari niat tidak terpuji, artinya ada niatnya tapi ia menahannya. Namun khawasul khawas jangankan berbuat curang, berfikir untuk berbuat curang saja tak ada. Jangankan mau maksiat, berfikir tentang maksiat saja itu tak ada. Itulah level para Nabi, orang-orang shaleh dan kita berupaya meneladani mereka. Orang yang mampu sampai pada level ini adalah ia yang betul-betul bersabar dengan segala kesugguhan.

Sehingga hasil dari kesabaran (puasa) tersebut melahirkan pribadi yang ‘Taqwa’. Abu hurairah pernah ditanya soal taqwa, ia mengilustrasikan sebagai ‘orang yang berjalan disekitaran duri, kira-kira apa yang akan dia lakukan’ tentu ia akan memperhatikan setiap langkah, waspada dan hati-hati. Demikianlah taqwa yaitu orang yang lulus menjalani ujian kesabaran (puasa) akan lahir menjadi pribadi yang hati-hati.

Mengenai soal kehati-hatian, dalam Qs attahrim : 6 ; Tuhan menyeru/memerintahkan kepada kita untuk memelihara diri dan keluarga dari api neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan batu. Menggunakan kata ‘qu’ yaitu  fiil amr dari bangunan kata yang sama dengan kata ‘taqwa’ dari kata waqa yaqi wiqayah’.  Sederhananya orang yang bertaqwa ialah orang yang memelihara diri dan keluarganya agar tak menginjak duri api neraka.

Selain pencapaian taqwa lewat puasa juga ialah kita dilatih untuk takhallaq bi akhlaqillah yaitu berahlaq dengan akhlaq Allah. Tuhan ialah zat yang sifat jamaliyah (keindahan) jauh lebih besar daripada keperkasaannya (jamaliyah), cintanya jauh lebih besar dari pada laknatnya. Itu tercermin dari asmaul husna bahwa nama yang menggambarkan kasih sayang lebih dominan dari yang menggabarkan ‘kesangaran’Nya. Lewat puasa kita dilatih untuk lebih mencerminkan sikap kasih sayang walau Allah yang Maha penyayang,  belajar memaafkan walau allah yang Maha pemaaf, allah tak makan kita dilatih untuk tak makan, allah maha kuat kita dilatih untuk menjadi pribadi yang kuat, walau yang menyandang kata ‘Maha’ hanyalah allah sebagai Tuhan. banyak orang yang bertuhan tapi tak banyak yang berkarakter ketuhanan, bertuhan ialah kesiapan individu dalam menerima Tuhan sebagai kepercayaan, sedangkan berketuhanan adalah esensinya yang termanifestasi dalam perilaku manusia (takhallaq bi akhlaqillah)

Tuhan cinta kepada hambanya, Lewat puasa Tuhan ingin agar dekat dengan yang dicinta, maka puasa sebagai jalan yang dapat mengantar hamba dekat dengan Rabnya. Ibarat hubungan dua orang, kalau ada yang ketiga dianggap pengganggu, usir dia supaya kamu bisa lebih dekat. bebaskan diri dari belenggu nafsu dan usir segala bisikan setan (baik dari manusia maupun jin) karena itu adalah pengganggu harmonisasi hubunganmu dengan Tuhan. Allah itu cemburu dan kecemburuannya kalau kamu lebih memilih hal yang dilarangnya. Tuhan ingin bertemu dengan hamba yang dicintanya, kita dikasih jalan Tuhan sudah menunggu diujung jalan, kalau kita tak sampai tentu Tuhan kecewa.

Melalui puasa kita digembleng menjadi pribadi yang lebih baik, kalau tak ada hasil perbaikan yang dicapai berarti puasa kita gagal. Selamat berpuasa semoga kita mampu meraih predikat Taqwa.

Dompu, 17 april 2021

A G

Abdul Ghani (Dosen Unimuda Sorong)

Jiwa-jiwa Aktivis yang terlelap, Abdul Ghani

Hari ini touring ke Pulau Arar,   bersama anak-anak muda yang ambisius, mendiskusikan berbagai gagasan. Dari sekian pembahasan terselip ba...