Selasa, 02 Maret 2021

MENJADI MANUSIA YANG BERNILAI

 


MENJADI MANUSIA YANG BERNILAI

 

Manusia Berharga karena ia diberi kemerdekaan untuk merekayasa dirinya,

Menciptakan nilai dan makna bagi Kehidupan.


 

Ketika hendak terlelap, aku bertanya pada diriku

Betulkah aku ini ada. ? atau keberadaanku ini hanyalah ilusi.?

beberapa saat, setelah kembali terjaga dari melewati gelapnya malam,

aku percaya bahwa aku baru saja kembali dari ketiadaan dan kelak akan kembali lagi menjadi tiada.

namun kehadiran matahari pagi terlalu menyilaukan, mengaburkan pandangan. Kerlap- kerlip warna kehidupan memecah orang kedalam berbagai kelompok. Ada yang pilih kelompok berwarna putih, ada pula yang terjebak pada warna hitam. Lalu, masing- masing hanyut didalamnya.

(Abdul Ghani)


 

 

Menjadikan masjid sebagai sekolah

Pada masa hijrahnya nabi dari mekkah ke madinah yang pertama ia lakukan adalah membangun masjid karena masjid merupakan tempat yang multi fungsi, disamping sebagai tempat ibadah juga adalah tempat bermusyawarah tentang berbagai persoalan keummatan maupun strategi dakwah dalam menyebar-luaskan ajaran islam, juga yang tak luput dari perhatian bahwa masjid juga sebagai tempat menyebar luaskan ilmu pengetahuan. masjid menjadi tempat sentral yang selalu terbuka untuk siapa saja demi menjalin hal-hal yang produktif.

Namun uniknya, ada sedikit perbedaan antara kultur masjid pada awal mula ia didirikan dibandingkan dengan kulturnya disekitar kita pada hari ini, kalau dulu masjid menjadi tempat yang selalu terbuka bagi siapa saja dan kapan saja, sekarang tidak sedikit masjid yang selalu ditutup rapat-rapat dan hanya dibuka pada saat lima waktu shalat. Jikalaupun dibuka seolah ada bahasa tak terucap bahwa dimasjid itu nampak seperti markaz untuk kelompok A bukan untuk kelompok B, sehingga khatib pun harus disesuaikan dengan kultur jamaah atau sebaliknya jamaah yang menyesuaikan khatib dengan kulturnya. seolah kesesuaian firqah menjadi salah satu syarat tambahan dalam menunaikan ibadah jum’at. Begitulah adanya, orang selalu sibuk dengan kulit tapi mengaburkan isinya. Focus kepada label yang membeda-bedakan mengabaikan esensi agama yang menyatukan. terkadang keterbatasan pengetahuan menjadikan seseorang bersikap keras terhadap apa yang dianutnya.

Keunikan lain, sebagian masjid ada yang selalu digembok dan dikunci, Entah apakah alasannya karena untuk menjaga kotak amal agar tidak hilang ? lalu bagaimana mereka bisa focus beribadah jika selalu memasang curiga ditempat ibadah.? dilematisnya juga terkadang masjid juga menjadi lahan subur untuk mengambil barang orang lain yang sedang ibadah oleh tangan tak bertanggung-jawab, sehingga orang yang shalat banyak yang was-was antara lirik tas diujung tembok atau focus kepada Tuhan. ataukah alasan lain masjid selalu ditutup agar orang-orang yang sekedar lewat tidak sembarangan menggunakan WC masjid karena itu hanya diperuntukkan bagi mereka yang datang shalat lima waktu. Terkadang orang beribadah hanya memfokuskannya pada satu titik, tapi luput untuk melihat bahwa menolong orang yang daruratpun juga adalah ibadah.

Dikutip dari DetikNews Pernah pada suatu malam terjadi peristiwa yang menghebohkan di Sulawesi selatan, pada 10 desember 2018 seorang mahasiswa  yang sedang lewat ditengah kegelapan malam, singgah kesebuah masjid untuk melaksanakan shalat lail, tapi oleh penduduk setempat yang melihatnya, anak muda itu diteriaki pencuri menggunakan pengeras suara, anehnya dituduh pencuri tanpa barang yang dicuri, dan tak diberi kesempatan untuk melakukan pembelaan atas dirinya. akhirnya anak muda malang itu dikeroyok oleh massa hingga tak terselamatkan, amat tragis ! aura  curiga dan was-was yang begitu hebat, sehingga pembunuhanpun dapat mereka lakukan di tempat ibadah. Tempat yang seharusnya menjadi media untuk meraih perhatian Tuhan malah dinodai dengan perbuatan yang amat dibenci Tuhan.

Untuk itu sebelum mengunjungi suatu tempat bahkan tempat ibadah sekalipun rasanya anda harus mengenali dulu seluk-beluk setempat, mayoritas penduduk setempat menganut faham apa dan berkarakteristik bagaimana, sehingga anda dapat menyesuaikan diri.

Dari berbagai macam bayang-bayang yang terlintas itu rasanya cukup untuk penulis sendiri beradaptasi, suatu kesyukuran bahwa tempat penulis beraktivitas adalah lingkungan tentram yang menganut prinsip bersatu dalam aqidah, toleransi dalam khilafiyah dan furuiyah, itulah pesantren IMMIM di Makassar tempat penulis bermukim beberapa tahun terakhir.

Pada suatu Jumat, sang khatib menyampaikan khutbahnya. Kali ini yang berkhotbah adalah sang guru, meski ia tidak pernah secara langsung mengajarkan ilmunya pada saya tapi buah dari apa yang ia sampaikan dengan lisannya adalah pelajaran penting yang dapat dipetik. Ya begitulah ungkapan familiar ki hajar dewantara “jadikan setiap tempat sebagai sekolah dan semua orang adalah guru” maka masjid adalah tempat menimba ilmu sebagaimana sekolah, dan siapa saja yang menyampaikan ilmu maka ia adalah guru, terminology sekolah tak boleh terpenjara dalam ruang-ruang kelas, karena esensinya bukanlah tata-letak dari bentuk akan tetapi ada proses transfer pengetahuan yang terjalin maka itulah sekolah.

 

Ilmu sebagai sarana kekhusukan pada Tuhan

            Sang guru mengulas pesan yang pernah disampaikan oleh Mu’az bin jabal tentang fadilah ilmu, beberapa point yang sempat tinggal dibenak dari yang disampaikan ialah, dimana ilmu orientasinya mengantarkan kekhusukan pada Allah. Ungkapan muadz bin jabal “tuntutlah ilmu karena mempelajarinya adalah kebaikan untukmu, mencari ilmu adalah ibadah, saling mengingatkan ilmu adalah tasbih, membahas ilmu adalah jihad, mengajarkan ilmu pada yang tidak mengetahuinya adalah sedekah, mencurahkan tenaga untuk belajar kepada ahlinya adalah qurban (mendekatkan diri pada Allah)”.

jika ada orang semakin tinggi ilmunya namun semakin berjarak dengan khaliq, maka ada sesuatu yang patut dikoreksi, jangan-jangan ada yang salah. Banyak orang yang duduk di bangku kekuasaan, terampil menghitung namun tidak menggunakan keterampilanya untuk memperbaiki ekonomi Negara malah digunakan untuk memperkaya dompet pribadi. Lihai dalam berpolitik namun bukan untuk mensejahterakan rakyat malah demi kepentingan kelompok. Kegilaan-kegilaan lainnya masih banyak dan tak terhitung. Ilmu yang mereka gunakan tidak membuat mereka takut kepada Allah, malah membuat mereka lihai dalam mengeksploitasi alam dan manusia, untuk itu ilmu harus berkarakterkan iman agar tak merusak, bukan berarti kita tak boleh berilmu, artinya sebaik-baik ilmu adalah ia yang berkarakter ketuhanan. Maka menjadi PR besar bagi generasi muslim untuk menjadikan ilmu sebagai sarana mencapai kekhususkan serta mendekatkan diri pada Allah.

Antara pengetahuan dengan tindakan tak sedikit yang masih berseberangan, ini menjadi anomaly sehingga kalau kita tidak jeli maka akan melahirkan premis yang keliru, misalkan “tidak apa berpengetahuan minim asalkan berperilaku baik”, atau buat apa berwawasan luas kalau perilakunya buruk”, kedua-duanya ini sekilas menawarkan komparasi sehingga dalam pemikiran sempit orang harus memilih salah satunya, namun kalau ditelaah dengan cermat kedua-duanya adalah keliru, karena harusnya masih ada pilihan lain yaitu berwawasan luas sekaligus berperilaku baik.

Sejenak kita perhatikan apa yang pernah diucapkan oleh  syek abdul qadir al-jailani, “Aku lebih menghormati orang beradab daripada orang berilmu, Jika hanya ilmu yang kau banggakan, iblispun lebih berilmu dari manusia”. Ungkapan ini tidak boleh dimaknai sebagai keutaman adab walau tanpa ilmu akan tetapi harus dimaknai “ilmu itu buahnya adalah adab” maka keduanya harus saling menopang antara satu sama lain. Ibis pintar dengan ilmunya, siapa yang meragukan ilmu yang dimiliki iblis. Saking pintarnya ilmunya sampai pada level berdialog langsung dengan Allah. Tapi, persoalannya adalah ia kehilangan akhlaq dalam ketaatan pada Tuhannya.

Jangan juga dibalik “tak apa beradab atau berakhlaq walau minim ilmu pengetahuan”, itu sama saja memilih meletakkan diri menjadi kaum duafa, lemah tak berdaya dan hanya menjadikan diri sebagai generasi penambah jumlah. “Knowledge is power” pengetahuan adalah kekuatan itulah yang dijadikan semboyan oleh francis bacon, karena dengan ilmu orang bisa melakukan apa saja, tanpa ilmu orang bisa sangat terpuruk bahkan dalam skala bernegara keterbelakangan ilmu pengetahuan menjadikan suatu Negara menjadi terjajah.

Jadi kalau kita masih berada pada tataran tau namun kehilangan ketaatan maka itu masih dilevel iblis. imannya ada karena ia percaya pada Tuhan tapi pasrah diri (islamnya) hilang karena kesombongannya, dan kalau hanya taat dengan beriman dan berislam namun tak dibarengi dengan pondasi ilmu pengetahuan maka ummat ini akan menjadi terbelakang.

 

Antara etika dan akhlaq

Pertama ; etika

Mengapa tercipta jarak antara belum sepadannya moral dengan banyaknya ilmu yang dimiliki seseorang, seolah keduanya masih berlawanan arah. untuk menjawab ini sebagaimana yang telah sebutkan diawal yaitu dibutuhkan ilmu dengan karakter yang bertuhan sehingga manusia-manusianya menjadi pribadi yang tidak hanya beretika tapi juga berakhlaq. Apa itu etika dan apa itu akhlaq.?

Kata akhlaq menjadi terminology yang identic dengan timur (dunia islam) namun pada penggunaanya sudah diserap menjadi bahasa indonesia untuk mengungkapkan etika, tatakrama, juga moral. walau pada dasarnya kesemua itu mempunyai makna yang cenderung berbeda secara leksikal. Sementara barat lebih identic dengan penggunaan kata ‘etic/etika’ untuk merujuk persoalan nilai.

Perbedaan antara etika barat dan timur; pertama barat dimana landasan etikanya ialah didasarkan pada rasionalitas yang terbangun dari kondisi sosiologis, maka lahirlah istilah rasional etik artinya selama nilai yang dibangun itu sejalan dengan rasionalitas dan diterima secara sosiologis maka itulah yang akan menjadi pijakan suatu nilai.

Sementara timur dengan karakternya religious etik ‘bahwa etika itu terbangun atas nilai-nilai relijius keagamaan. Jika sesuatu bertolak-belakang dengan semangat beragama, maka itu bertentangan pula dengan standar etika. Namun istilah ini lebih lumrah disebut akhlaq.

Rasional etik sifatnya relative, sesuatu yang dianggap bernilai pada suatu tempat boleh jadi bertentangan dengan nilai ditempat lain, jalan membungkuk dihadapan orang yang lebih tua atau diantara orang yang duduk merupakan standar etika dalam konteks masyarakat kita. Tapi kalau gaya demikian dibawa ke barat tentu akan dianggap aneh. Atau barat yang menyapa bapaknya dengan sebutan you itu sudah menjadi standar mereka, tapi kalau dibawa ke ranah kita, memanggil bapak dengan sebutan ‘kamu’ (sebagai padanan kata you) akan menjadi tidak etis. Maka etika yang terbangun atas kondisi sosial itu sifatnya relative tak dapat menjadi pegangan secara universal bagi semua tempat.

Kata ‘humanism’ yang gencar dikumandangkan oleh dunia barat, tak memiliki masalah ketika mereka gunakan, yang menjadi persoalan ialah kalau humanism yang terbangun atas gaya hidup barat itu dipaksakan untuk diberlakukan secara universal ke berbagai penjuru dunia itulah yang keliru. Maka ketika masyarakat indonesia menganut nilai humanism yang berkarakteristik barat dan diterjemahkan kedalam undang-undang secara formal itu sesungguhnya bertentangan dengan nilai keindonesiaan sebagai masyarakat beragama, harusnya jika ingin menganut humanism landasannya tetaplah agama sebagai bangsa yang berkarakter relijius.

Salah satu bukti gagalnya standar etika barat kedalam kehidupan kita ialah dalih tentang perlindungan anak, para siswa justeru semakin bertindak berani yang tidak beretika terhadap gurunya, sebaliknya guru yang bermaksud mendidik muridnya dengan sedikit sentuhan yang terkontrol malah dipenjarakan. Ahirnya output sekolah semakin melahirkan murid-murid kurang-ajar. Tak ada lagi istilah keberkahan dalam proses transfer ilmu pengetahuan, yang ada adalah guru hadir menggugurkan kewajiban, hanya terjalin proses mengajar tidak untuk proses mendidik, sementara murid semakin rusak. Ini dalam pandangan penulis merupakan krisis yang serius. sebab, kalau generasi sejak dini sudah tidak bermoral dan berkhlaq, mau dibawa kemana masa depan berbagai institusi di negeri ini. Merekalah yang akan menggantikan orang-orang dibalik deretan meja singgasana itu kelak. Karena watak yang dimiliki seseorang berperan penting pada keputusan apa yang ia akan ambil dalam kekuasaannya. Maka standar etika sekali lagi harus kembali pada nilai beragama yang notabenenya mengajarkan akhlaq.

Kenapa harus agama,? karena bangunan rasionalitas belumlah cukup untuk memperbaiki etika. Akal tau mana baik dan mana buruk, namun akal tak berdaya untuk memerintahkan raga mengerjakan yang baik dan mecegah raga mengerjakan yang buruk. Para koruptor tau dengan akalnya bahwa korupsi itu jahat, tapi pengetahuannya tak berdaya menghalangi raganya untuk mencuri dari rakyat. Maka dalam termilogi timur hal demikian membutuhkan kesadaran relijius yang disebut akhlaq. Karena dalam doktrin agama ada satu zat tak tertandingi, Maha melihat namun tak terlihat, dengan kesadaran inilah manusia beriman akan merasa terawasi. Mau tidak mau, suka tidak suka semesta ini harus tuntuk kepadanya (Qs Ali Imran : 83). segala ketidak tundukan memiliki konsekwensi dan segala ketaatan mempunyai balasan, rasio harus berada dibawah bimbingan agama yang tercermin dalam wujud akhlaq, kata nabi “aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq”. Akhlaq sebagai visi beragama paling tinggi. Ilmu tanpa aklaq bisa merusak, Adab dan akhlaq tanpa ilmu kering tak punya nilai dan tak tau arah. Kedua-duanya harus berjalan berdampingan dan saling mengimbangi.

 

Kedua ; Akhlaq

Secara bahasa akhlaq terambil dari kata  khalaqa yang berarti harfiyah “menciptakan”, dalam perubahan tashrifnya menjadi khaliq “pencipta” khalq “ciptaan”  makhluq “ yang diciptakan” dan akhlaq atau khuluq yang dimaknai sebagai “perbuatan”. Apa korelasinya pencipta, ciptaan, dengan pebuatan ? Dalam bahasa arab jika terdapat dua kata atau lebih yang terambil dari satu bangunan kata yang sama maka bisa dipastikan kata tersebut memiliki kedekatan makna.

            Sebagaimana yang dijelaskan diawal bahwa akhlaq adalah terminology dunia islam yang tak dapat disepadankan dengan etika, karena landasannya bukanlah kesepakatan secara konvensional akan tetapi berpijak pada nilai beragama yang didasari dari kitab suci sebagai pedoman hidup. Apabila apa yang diperbuat oleh manusia sebagai makhluq “yang diciptakan” sesuai dengan apa yang dikehendaki Tuhan sebagai sang khaliq ”pencipta” maka perbuatan tersebut dapat dikatakan sebagai akhlaq. Sebaliknhya jika tak ada kesesuaian atau apa yang dikehendaki Tuhan untuk dilakukan oleh manusia itu bertentangan dengan perbuatan manusia itu sendiri maka dapat dikatakan orang tersebut berakhlaq buruk atau bahkan tidak berakhlaq.

Maka, sebagai muslim kita diajarkan untuk senantiasa memohon taufiq kepada Allah swt untuk dapat menyelaraskan keinginan kita sebagai manusia dengan keinginan Allah sebagai Tuhan. Mengapa perlu mengharapkan taufik ? Taufiq terambil dari kata wafaqa-yuwafiqu berarti harfiyah sesuai, olehnya itu muwafiq diartikan “sepakat” karena didalamnya ada persesuaian antara kehendak dari beberapa pihak. Dari makna dasar tersebut kita dianjurkan memohon taufiq yaitu memohon persesuaian antara kehendak Allah sebagai Tuhan dengan kehendak kita manusia sebagai makhluqnya. Karena, boleh jadi apa yang kita ingini bertentangan dengan apa yang Tuhan ingini untuk kita lakukan. Karena tidak jarang kita memandang baik sesuatu yang bagi Tuhan buruk atau kita pandang buruk sesuatu yang disisi Tuhan baik. Semoga taufikNya senantiasa tercurahkan kepada kita sehingga kita memiliki daya untuk melihat benar sebagai kebenaran dan salah sebagai kesalahan, dan melihat baik sebagai kebaikan serta buruk sebagai keburukan.

Selanjutnya khalq “ciptaan” merupakan sesuatu yang bersifat ijbari atau dalam istilah lainnya adalah hak priorogatif Allah dalam mencipta tak dapat diganggu gugat oleh manusia. Orang yang terlahir dalam keadaan gagah dan cantik jelita tidak pernah mereques kepada Tuhan sebelum dilahirkan dengan mengatakan “ya Tuhan ciptakanlah aku nanti dalam keadaan gagah rupawan atau cantik mempesona”, seandainya semua orang dapat meminta jauh sebelum mereka dilahirkan maka tidak akan ada orang yang jelek. kalau kita melihat secara eksistensial, besar dikatakan besar karena ada sesuatu yang kecil sebagai pembanding, tanpa kecil besar tak dapat dinamakan besar. Demikian halnya cantik dikatakan cantik karena adanya orang jelek harusnya mereka berterimakasih kepada yang jelek karena berkat jelek ia disebut cantik, paling tidak bentuk terimakasihnya minimal dengan cara tidak merendahkan yang lain atau merasa diri paling. Kembali kepada persoalan khlaq “ciptaan” ; Maka, merendahkan mereka karena kekurangan fisik sama dengan meremehkan ciptaan Tuhan karena Tuhanlah yang menghendakinya terlahir dalam keadaan demikian. Demikian halnya orang yang terlahir dalam keadaan cacat juga tak layak diremehkan karena perbuatan itu sama dengan menghina Tuhan. Masing-masing orang diciptakan Tuhan dalam keadaan memiliki kekurangan serta kelebihan disisi yang berbeda, tinggal kepandaian individunyalah yang diperlukan dalam mengelola itu.

Selanjutnya yiatu khuluq (jamaknya akhlaq). Merupakan sesuatu yang bersifat ikhtiyari yaitu kebalikan dari khalq. Kalau khalq sebagai hak priorogatif Tuhan maka khuluq ialah perbuatan manusia sesuai kehendak atas dasar kebebasan yang dimilikinya. Sering kita dengar istilah yang mungkin dianggap remeh dan sekadar guyonan namun pada dasarnya menyesatkan akal, contohnya seseorang yang diajak untuk pergi shalat ke masjid namun ia menolak dengan memberi jawaban “silahkan anda dulu, karena saya belum diberi hidayah oleh Tuhan”. Ajakan seperti ini ditolak atas dasar kehendak bebasnya, padahal seseorang tak dapat menyalahkan Tuhan lantaran belum ta’at kepadaNya, karena persoalan taat atau tidak itu ikhtiari yaitu pilihan bebas manusia itu sendiri. Manusia telah diberi potensi akal pikiran dan dengannya dipersilahkan untuk memilih perbuatan atas dasar kemerdekaan yang dimilikinya. Khuluq berbeda dengan khalq karena manusia dapat memilih sedangkan pada persoalan penciptaan barulah tak terlibat intervensi manusia.

Banyak orang yang terkesima hanya dengan keindahan yang melekat secara fisik namun tak sedikit yang mengabaikan apa yang ia perbuat dengan kehendak bebasnya (akhlaq). Apa artinya indah secara fisik namun kehilangan budi-pekerti, karena perawakan yang santun dan akhlaq yang baik adalah perhiasan yang paling indah. Maka jangan berkecil hati karena kurang secara fisik karena itu masih dapat dihiasi dengan khuluq yang baik. Sedapat mungkin kita meniru akhlaq Nabi, walaupun dicaci dan dihina beliau tetap menjadi pribadi yang pemaaf, sampai-sampai ia dipuji langsung oleh Tuhannya “innaka la’ala khuluqin adzim” engkau sesungguhnya berada pada akhlaq yang terpuji. Jangan sampai kita sudah kurang secara fisik ditambah buruk pula dalam berperilaku maka bersiap-siaplah untuk dijauhi  banyak orang. Nabi pernah mengatakan “orang yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaqnya”.

Al-gazali mendefinisikan akhlaq sebagai Perangai, watak, tabi’at, yang menetap kuat dalam jiwa, dan menjadi sumber timbulnya perbuatan tertentu dari dirinya secara mudah dan ringan tanpa perlu direncanakan sebelumnya. Jadi kalau ada kedermawanan namun itu dilakukan karena momentum maka itu bukanlah ukuran akhlaq. Katakanlah seorang caleg yang tiba-tiba menjadi dermawan dalam waktu sekejab, ketika momentum pemilihan itu lewat maka lewat pulalah kedermawanannya, yang seperti ini adalah rekayasa dan penuh perencanaan. Banyak orang bergaya hidup penuh acting dan kepalsuan demi meraih pujian dari manusia, dalam terminologi agama ini disebut ria (allatzinahum yuro’un) yaitu orang orang yang ingin dilihat justeru mereka dijanjikan ancaman celaka. Jika kita disakiti, tanpa yang menyakiti meminta maaf spontan langsung dimaafkan  itulah akhlaq yaitu sikap spontan tanpa perencanaan.

Lebih dari pada itu sedapat mungkin kita takhallaq bi akhlaqillah, yaitu berakhlaq dengan akhlaq Allah. Allah maha pemaaf kita bisa memaafkan, Allah maha pemberi kita bisa saling memberi dan berbagi, Allah maha penyayang kita bisa hidup saling menyayangi, kita dapat meniruNya dalam perbuatan walau yang menyandang kata maha adalah Allah sebagai Tuhan. 

Dari nama-nama Allah (dalam asma’ul husna) menggambarkan dua karakter yaitu sifat jalaliyah (keperkasaan) dan jamaliyah (keindahan). nama yang menggambarkan keindahannya lebih dominan dari yang menggambarkan keperkasaannya, Kasih sayangnya jauh lebih dekat dari pada murkanya, seandainya kita menghadap Allah dengan dosa sebesar langit maka Allah akan menyambut kita dengan ampunan sebesar langit dan bumi. dari awalannya saja pada sama’ul husna dimulai dengan nama yang menggambarkan jamaliyah (keindahan) yaitu arrahman dan arrahim, harusnya ini menjadi instrument dari Tuhan untuk kita yang memeluk agamanya bahwa dalam menjalani hidup dan kehidupan, terlebih dalam menyebar luaskan agamanya harus mengedepankan sifat yang mencerminkan keindahan sehingga agama ini enak untuk diterima. Kalau pada permulaannya yang kita perknalkan langsung halal haram dan surga neraka orang akan takut, yang menerimanya akan kaku, dan yang menolak islam pun semakin jauh, bahkan mereka yang memusuhi islam semakin menciptakan phobia-phobia sehingga muslim menjadi tersudut.

 

Diskriminasi by design

Mereka yang tidak senang dengan islam cenderung melakukan stereotype yaitu jalan pintas pemikiran yang dilakukan secara intuitif untuk menyederhanakan hal-hal yang kompleks demi pengambilan keputusan secara cepat. kadang-kadang ini dijadikan alasan untuk bertindak diskriminatif. Misalkan perempuan yang berhijab atau laki-laki berjubah di dunia barat identic dianggap berbahaya dan membahayakan, sehingga mereka seolah layak untuk menerima perlakuan yang tidak wajar. Dalilnya pun tidak sistematis seperti menggunakan penggalan ayat dalam quran yang dinilai membolehkan untuk membunuh orang kafir dimanapun ditemui (Qs 2 : 191). Pertanyaannya kemudian, agama macam apa yang membolehkan melakukan pembunuhan atas orang yang berbeda keyakinan, nah ini kalau difikirkan secara sepintas maka akan melahirkan sikap penolakan dan kebencian terhadap islam dan pemeluknya sehingga wajarlah mereka yang berbusana muslim mendapat perlakuan diskriminatif.

Diantara alasan lainnya ialah terjadinya tindakan pemboman dan berbagai macam tindakan teror oleh orang-orang yang menggunakan identitas islam, Semakin memberi pembenaran bahwa islam merupakan icon perilaku kekerasan, walau jika ditelisik lebih jauh, bukan hal yang tidak mungkin peristiwa-peristiwa seperti itu adalah by design alias direkayasa, namun yang namanya berfikir stereotype artinya siapa yang peduli, asalkan bisa melahirkan kesimpulan secara intuitif ahirnya islam didiskriminasi. orang seperti joseph Goebbels mengatakan ‘If you repeat a lie often enough, people will belive it, and you will even come to belive it yourself. “kalau kau mengulang-ulang kebohongan, maka orang akan percaya kebohonganmu, bahkan kau akan termakan oleh kebohonganmu sendiri. Segala sesuatu yang kerap disampaikan berulang-ulang akan menjadi hal yang akrab untuk diterima, bukan karena ia layak sebagai sebuah kebenaran, sekalipun itu adalah kebohongan, karena begitu sering ditampilkan secara tak langsung merasuki alam bawah sadar yang terlibat untuk membentuk pola fikir dan berujung pada sikap.

Walau pada dasarnya ketidak-sukaan terhadap islam pada hari ini oleh sebagaian orang di dunia barat adalah akibat dari warisan perang agama dimasa lalu, namun islam dijadikan sebagai icon dari tindakan-tindakan kekerasan dan terorisme, dengan mengambil penggalan-penggalan peristiwa sebagai acuan untuk menuding islam sebagai agama yang cenderung dengan kekerasan. padahal tak ada satu pun agama di muka bumi ini yang mengajarkan teror. Seandainya islam mengajarkan teror pertanyaannya mengapa masih banyak orang selain islam bisa hidup pada hari ini, bahkan banyak yang berdampingan dengan muslim walau beda agama.

Dalam menganalisis wacana yang sedang berkembanag, kita coba amati kembali apa yang  dikatakan joseph goebbels ‘If you repeat a lie often enough, people will belive it, and you will even come to belive it yourself. “kalau kau mengulang-ulang kebohongan, maka orang akan percaya kebohonganmu, bahkan kau akan termakan oleh kebohonganmu sendiri. Sadar atau tidak, paradigma kita dibesarkan dalam satu lingkaran tertutup yang selalu kita rawat, dalam dunia sosial media ada yang disebut filter bubbleialah sebuah algoritma pencarian yang memungkinkan kita mendapat hanya dari yang kita suka, hari ini kita membuka chanel youtobe dari kelompok yang kita suka, maka dihari esok kita akan disuguhi kembali dengan konten yang lebih menarik dari sebelumnya yang seritme dengan kecenderungan kita. Secara tak langsung kita mendoktrin diri kita sendiri, sehingga kita gagal melihat sudut pandang satu sama lain. kalau itu adalah benih permusuhan, maka ia akan membesar mencari rival-rival baru dari luar dirinya, selama ada kelompok atau individu yang bertentangan dengan pola fikirnya maka itulah musuh yang layak untuk diserang bahkan ditumbangkan.

Sama halnya dalam dunia yang real, orang cenderung memilih dan menolak figure berdasarkan seleranya sehingga apapun yang datang dari orang yang disenangi akan diterima dan yang datang dari mereka yang terlanjur tidak disenangi akan ditolak, demikian dalam bergaul dengan kelompok maupun organisasi dari hari ke hari selalu disuguhkan dengan pola doktrin yang seritme dengannya. Inilah yang turut mengokohkan pandangan individu dalam satu arah sehingga gagal melihat dunia dari sudut yang lain. Bagaimana bangunan persepsi ini bisa terjadi.?

Karakter manusia cenderung menerima dan membenarkan apa saja yang cocok dengan cara pandangnya, sehingga dalam menilai segala sesuatu adalah berdasarkan suka atau tidak suka baru melahirkan sikap, padahal seharusnya sikap itu lahir kemudian melalui bangunan persepsi. Dari sini persepsi tidak lagi murni, ia sudah dirasuki subjektivitas bahkan kebencian.

Persoalan cadar dan celana cingkrang yang sempat menjadi trending topic di tanah air, saya tidak yakin bahwa mereka yang terusik oleh kelompok ini memberi penolakan dengan alasan ideal, sebaliknya yang Nampak adalah dalil demi dalil dikutib untuk pembenaran bukan demi kebenaran argument. Maka personal beliefnya telah berdampak pada kecelakaan berfikir. Ketidak sukaan mengakibatkan kecacatan yang fatal. Dimana fakta objektiv kalah berpengaruh untuk membentuk pandangan masyarakat dibandingkan tendensi emosi dan kelompok. Orang bukan lagi membicarakan kebenaran melainkan berbicara dorongan intuisi dan tendensi emosi. Kata nietche People don’t wont to hear the truth because they don’t want their ilussions destroyed “Mereka tak menyukai kebenaran karena mereka tak suka jika ilusi mereka dihancurkan”Semakin orang jauh dari kebenaran maka semain benci ia terhadap orang yang bicara kebenaran.

mengukur nasionalisme hingga melekatkan predikat “kelompok radikal transnasional” dari gaya berpakean tidaklah tepat, dalam analisis wacana dapat disebut sebagai False connectionkoneksi tak nyambung atau kesimpulan salah kaprah. karena bagaimana mungkin gaya berpakean dilabeli radikal, gaya seseorang merupakan fashion sementara radikal adalah  perbuatannya, itu merupakan dua hal yang berbeda. Padahal kalau kita mau menelaah kata “radikal” sesungguhnya cenderung mengandung makna yang baik, bagaimana tidak, kemerdekaan yang diraih oleh bangsa ini berkat perjuangan founding father yang radikal. Hanya saja seiring berjalannya waktu kata inipun makin mengalami pergeseran hingga penyempitan makna, bahkan bagi saya pribadi makna kata radikal kini telah dinodai dan mereka yang berapologi diatas inverioritasnya turut mengindustrodusir makna kata ini hingga konotasinya semakin buruk seperti sekarang.

Perlu dipertegas bahwa Fashion tak dapat dijadikan ukuran negarawan. Karena, jika premis seperti ini dipertahankan akan melahirkan konklusi yang salah-kaprah. Seperti peristiwa yang pernah terjadi ketika bencana di Palu Sulawesi tengah lalu, Presiden meninjau lokasi bencana ! kenapa sepatu atau baju sederhananya yang dipublikasikan lalu kehadirannya dijadikan sebagai icon pemimpin yang merakyat yang sepatunya rela kotor demi meninjau lokasi bencana? harusnya cara mengatasi bencananyalah yang dipublikasi dan apa problem solving yang diberikan untuk rakyat. Sangat aneh jadinya jika mengiklankan gaya diatas musibah yang melanda. Kadar kepemimpinan tak bisa diukur dari rela tidaknya seseorang mengorbankan kebersihan sepatu.       

Kembali pada topic yang kita bahas bahwa semangat nasionalisme ataupun pancasilais merupakan sebuah sikap, sementara pakean cadar maupun celana cingkrang adalah fashion seseorang, tak nyambung kalau cinta tanah air diukur dari gaya berpakean Sebagaimana tak nyambungnya penobatan predikat merakyat hanya karena mengorbankan kebersihan sepatu diatas musibah yang melanda.

 

Jeli membaca realitas

            Dalam memahami situasi soasial kita harus memiliki filter yang selektif, apa yang Nampak salah belum tentu sebagai kesalahan dan apa yang Nampak benar belum tentu sebagai kebenaran, karena dunia kita penuh dengan citra yang direkayasa demi berbagai kepentingan, apakah itu kepentingan ekonomi, kelompok, ideology, maupun demi kelanggengan kekusaan.

            Ini bisa dipahami karena kita memiliki watak paling mendasar yaitu lebih senang terhadap citra dan pencitraan bukan apa yang dicitrakan. Ungkapan Rolland barthes memberi gambaran “What the public wants is the The image of passion, not passion it self” yang disenangi oleh orang-orang hari ini adalah gambaran dari kasih sayang, bukan kasih sayang itu sendiri” kita lebih menyukai citra tentang kebaikan dari pada kebaikan, kita suka yang kelihatan kompak namun bukan kekompakan, kita hanya suka yang nampak bukan intinya. Bila dilakukan pembacaan secara semiotic  ini memberi celah bagi sekelompok orang berkepentingan untuk merekayasa massa lewat media yang ada. Rasa suka dan tidak suka kita bahkan bisa dimonopoli dan disetir oleh orang lain.


Ilmu sebagai sarana ibadah

Setelah cukup panjang diurai, kita lanjut lagi poin berikutnya dari fatwa muadz bin jabal, Ilmu sebagai sarana ibadah, karena dengannya rasa takut kepada Allah dapat bertambah. Dalam Qs Fathir : 28, Firman Allah

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-hambaku adalah orang-orang yang berilmu”.

Ulama merupakan bentuk jamak dari Alim seorang yang berilmu-dan Ulama yang berarti banyak orang yang berilmu. Namun praktisnya dalam keseharian kita kata ulama itu predikat yang hanya diberikan kepada mereka yang mempunyai pengetahuan agama saja. jika kita mau menggunakan terminology kebahasaan, maka yang memiliki gelar ulama bukan hanya mereka yang paham fiqih ataupun syariat saja, tapi siapa saja yang menguasai berbagai sudut keilmuan itulah ulama.

Kita lihat pada ayat sebelumnya dari surah diatas manusia diperintahkan dengan sigah istifham (pertanyaan namun bermakna perintah) untuk merenungkan alam raya, yaitu langit bagaimana terjadinya hujan, gunug-gunung, tanaman, binatang melata, dan manusia dengan berbagai warna yang beragam. Saat kita dibangku Sekolah Dasar dulu ada pelajaran IPA yang membahas bagaimana proses terjadinya hujan yaitu dari angin yang bertiup lalu membangkitkan awan, dihalau ke negeri yang kering dan mati, lalu diturunkanlah hujan dan dengan hujan itu Allah menghidupkan yang mati, dihidupkannya berbagai macam tumbuh-tumbuhan sehingga menjadi sumber kehidupan bagi manusia. Begitu pula halnya jika diperhatikan gunung-gunung bagaimana ia ditinggikan, dari atas puncaknya kita dapat menikmati keindahan alam yang begitu mempesona sehingga kita dapat merasakan kemahabesaran Tuhan yang begitu kuasa menciptakan semesta, dihadapanNya kita begitu mungil dan bukan apa-apa. lalu manusia bagaimana ia diciptakan melalui proses yang menakjubkan, dari segumpal darah, menjadi segumpal daging ditiupkan ruh, terlahir menjadi manusia dengan bergam warna kulit. dan bagaimana binatang melata pun begitu detail dan teliti tuhan ciptakan, dari masing-masing itu terdapat tanda kekuasaan Allah. Dan hanya dengan ilmulah kejadian ini dapat direnungkan sehingga memberi rasa takut kepada Allah.

Pertanyaannya kemudian, ulama seperti apa yang takut kepada Tuhannya ? Ibnu katsir memberi penjelasan bahwa ulama yang dimaksud ialah orang-orang yang mengenal Allah (makrifat) dengan segala ilmu tentang kekuasaan-Nya, apabila makrifat bertambah sempurna dan dan ilmu terhadap-Nya bertambah matang maka bertambah pulalah rasa takut padanya.

            Buya Hamka menjelaskan suatu riwayat yang dibawakan dari sufyan tsauri. “ulama itu ada tiga macam, pertama alim yang mengenal Allah dan mengenal perintahnya, kedua alim yang mengenal Allah namun tidak mengenal perintahnya, ketiga alim yang tidak mengenal Allah namun mengenal perintahnya. Dari tiga macam tersebut, yang takut kepada Allah ialah yang pertama karena mengenal Allah serta perintah dan larangannya dengan ilmu yang dimiliki sehingga mengetahui batas-batas peintah dan larangan. Jenis yang kedua yaitu takut kepada Allah tapi tidak melaksanakan perintah dan larangannya karena tidak tahu, dan yang ketiga mengenal perintah tapi tidak mengenal Allah sangat tahu batas-batas perintah dan larangan tapi tidak ada rasa takut pada Allah, yang ketiga inilah yang banyak sekarang dan mungkin kita menjadi bagian dari itu.[1]

            Jadi, kalau ditadabburi ayat 27 dan 28 dari surah tersebut, jangkauan ulama itu amatlah luas, apabila memikirkan tentang kejadian alam raya ini dan tanda-tanda yang terdapat didalamnya, memahami konsep penciptaan, mengetahui dan menjalankan perintah dengan penuh kesungguhan mereka itulah yang khasya kepada Allah. hakikat keulamaan seseorang bukan dari jubbah dan sorban semata, kalau gaya berpakean menjadi ukuran kebergama maka itu akan melahirkan feodalime realigi dikalangan ummat.

 

Orang Alim dan Ahli Ibadah

Orang alim memiliki keutamaan lebih dari pada ahli ibadah, diantaranya ialah hadis nabi yang menggambarkan “sesungguhnya keutamaan seorang alim dari ahli ibadah seperti keutamaan bulan purnama dibandingkan dengan bintang-bintang” hadis ini sahih diriwayatkan  oleh abu daud. Juga hadis sahih yang diriwayatkan oleh at-tirmizi “keutamaan seorang alim dari ahli ibadah ialah seperti keutamaanku dibandingkan orang yang paling awam diantara kalian”.

syaitan lebih berat menghadapi orang alim dari pada ahli ibadah yang minim pengetahuan. Terdapat kisah masyhur tentang seorang ahli ibadah dari kalangan bani israil yang beribadah kepada Allah swt di tempat ibadahnya yang terletak diatas gunung. Pada suatu hari ia keluar dari tempat ibadahnya berkeliling untuk merenungkan kebesaran Allah swt. Disela-sela ia berkeliling ia melihat sosok manusia yang menebarkan bau tidak sedap, ahli ibdah itu berpaling ke tempat lain sehingga ia terlindungi dari bau itu. Lalu setan menampakan diri dalam bentuk laki-laki saleh yang memberi nasehat. Lalu berkata kepadanya, sungguh amal kebaikanmu telah sirna, tidak satupun yang tersisa. Lantas ahli ibadah itu bertanya, mengapa ? karena engkau enggan mencium bau anak-cucu adam yang semisal dengan kamu. Si ahli ibadah pun merasa sedih, setan pun pura-pura kasihan dan memberi nasehat. “jika engkau ingin agar Allah swt mengampuni kesalahanmu, aku akan memberi nasihat kepadamu agar engkau mencari tikus gunung, lalu bunuhlah dan gantungkan tikus itu dilehermu saat engkau beribadah. Si ahli ibadah yang bodoh inipun melaksanakan nasihat saitan yang sengaja mencari kesempatan ini. Dia pun terus menerus beribadah dengan membawa najis dibadannya sampai ia wafat, semua ibadahnya pun menjadi sia-sia.

Ibnu umar menegaskan bahwa  “majlis ilmu (agama dan fiqh) itu lebih baik dari pada beribadah enam puluh tahun. Sebab, ahli ibadah yang bodoh akan mudah terperdaya namun tidak demikian dengan orang alim dan faqih.

            Kisah masyhur lain tentang keutamaan orang Alim, yaitu dari syekh abdul Qadir al-Jaelani ia bercerita kepada para muridnya tentang sebuah kejadian yang dialaminya. Muncul dihadapannya cahaya yang sangat besar menerangi segala penjuru lalu berkata, “aku adalah tuhanmu dan aku sungguh telah menghalalkan padamu perkara yang telah aku haramkan, lalu syekh abdul qadir menjawab, aku berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk sirnalah kau wahai mahluq yang terkutuk”. Seketika cahaya itu sirna. Lalu iblis masih mencoba dengan cara berikutnya yaitu digoda dengan rasa sombong atas ilmunya, lalu berkata “wahai abdul qadir, engkau telah selamat dariku sebab ilmumu akan ketetapan tuhanmu dan kelihaianmu dalam hokum agama. dengan cara seperti tadi aku telah berhasil menyesatkan tujuh puluh orang ahli agama”. Syekh abdul qadir menjawab “keutamaan dan anugerah hanya milik tuhanku”. Beliau tetap merendah diri tidak merasa kemampuannya mengalahkan iblis adalah karena kehebatannya melainkan anugerah dari Allah swt semata. Dengan pertolongan Allah melalui ilmu yang dimilikinya ia dapat memahami dengan baik bahwa Allah tidak mungkin memerintahkan hambanya mengerjakan yang haram. Ia lolos menghadapi dua tipuan, yang pertama yaitu untuk menghalalkan sesuatu yang haram, dan yang kedua yaitu ujian kesombongan dalam hatinya.

 

Bahaya kebodohan

Allah tidak mencabut ilmu dengan tiba-tiba dari tangan manusia, tapi melalui dicabutnya nyawa para ulamanya.  Ketika tidak tersisa satupun dari ulama, orang akan memilih orang-orang bodoh untuk menjadi pemimpin, ketika orang-orang bodoh itu ditanya masalah agam mereka akan berfatwa tanpa ilmu ahirnya mereka  sesat dan menyesatkan (Hr. buhari muslim)

 



Fitrah manusia dengan perbuatannya

Manusia makhluq yang jahat

Pada masa renaisince kita diperkenalkan dengan tokoh yang memberi pengaruh besar terhadap perubahan zaman modrn terutama dalam dunia politik, yaitu Niccolo Machiavelli lahir pada tahun 1496 M di Italia. Sepanjang hidupnya ia telah menyaksikan beberapa kali pergantian kekuasaan di Florence. ia telah menyaksikan pertempuran yang terjadi antara casare borgia melawan keluarga medici, yang diahiri dengan tergulingnya keluarga medici yang sudah memerintah sekitar seratus tahun yang pada tahun 1512 keluarga medicci kembali menguasai Florence. Ia telah menyaksikan bagaimana runtuhnya kekuasaan yang tidak mendapat dukungan dari rakyat, dan juga bagaimana kelompok elit bekerjasama dengan agamawan untuk merebut kekuasaan.

Dalam sejarah hidupnya ia terlibat sebagai politikus dan juga pernah menjadi pejabat Negara. Sehingga ia mengerti betul bahwa politik bukan soal etis atau mengenal rasa iba tapi berfikirnya ialah medis artinya apapun boleh dilakukan demi kelangsungan kekuasaan. dari latar sosio-historisnya dapat kita pahami pandangan-pandangan politiknya sangat berkaitan erat dengan dinamika yang melingkupinya. Sehingga ia menulis Il principe yang memberikan trik bagaimana mengamankan tugas-tugas pemerintah dan juga untuk menstabilkan citi-state dari intervensi dari luar.

ia memiliki pandanmgan bahwa Manusia punya sifat dasar yang jelek, tak tahu terimakasih, dan tamak, berangkat dari kejelekan itu maka manusia harus diatur walau harus dengan dipaksa, maupun disiksa supaya teratur. berangkat dari pandangan ini maka mereka yang tak berguna atau menghalangi kepentingan menjadi benar untuk disingkirkan.

Baginya seorang pemimpin harus bisa menciptakan rasa takut sekaligus rasa cinta sebagai modal dalam menjalankan kekuasaan. Namun jika harus memilih antara ditakuti atau dicintai maka lebih baik untuk ditakuti. Karena baginya toh mereka tidak akan segan meninggalkan cintanya demi cinta lain yang lebih menguntungkan. Dari pada dicintai oleh manusia seperti itu lebih baik ditakuti. Oleh beberapa orang ia dipandang tidak manusiawi, karena pandangannya dalam kekuasaan jika ada bagian yang sakit itu harus dikorbankan agar tak merusak sistem yang utuh. trik politik dalam Il Principe sering jadi rujukan mereka yang dipandang kejam dan dictator seperti Napoleon Bonaparte, Adolf Hitler, Benitto Mussolini, maupun lenin. Pandangannya sangat kontroversial, bahkan ia dituduh sebagai Devil incrarnate (jelmaan setan).

Mengapa manusia layak untuk dikorbankan demi mencapai suatu tujuan ? karena Manusia dalam pandangan Machiavelli pada dasarnya tak lebih dari sekedar mahluk jahat, buktinya mereka butuh aturan untuk mengekang kejahatannya. Aturan itu ada dalam agama, undang-undang, dan norma. Bisa kita bayangkan jika dalam satu pekan semua aturan, agama, undang-undang diliburkan, apa yang akan diperbuat manusia ? Keburukan akan meraja-lela. Dan hal demikian bukan persoalan etis atau tidak etis dan bermoral atau tidak bermoral, dalam keadaan tertentupun jika situasi bertukar dan mereka yang dijahati meraih kesempatan maka mereka tidak akan segan melakukan hal yang sama.

tapi disisi lain kalau kita mau sejenak merenung, ia cukup membantu kita berfikir tentang diri kita sebagai manusia. Betulkah kita sejahat itu, bahwa kita tidak akan segan melakukan kejahatan bila aturan yang mengekang ini dihilangkan sehingga kita layak dijahati ? atau manusia tidak akan segan meninggalkan cintanya demi cinta lain yang lebih menguntungkan ? baginya dalam mempertahankan kekuasaan apabila manusia hanya diberi luka ringan, maka mereka akan menuntut membalas dan menciptakan kekacauan, itu tak mungkin mereka lakukan bila terluka parah. Pertanyaannya patutkah kejahatan kecil dilakukan demi menyelamatkan Sistem besar ? atau Jangan-jangan sudah terlalu sering kita dijahati dan dalam keadaan sadar atau tidak sadar jangan-jangan kita sndiri juga telah berbuat jahat.!?

 

Potensi kebaikan sekaligus keburukan

Jika dilihat dari satu sisi, anggapan yang mengatakan manusia adalah mahluk jahat itu benar. Karena seluruh manusia siapapun itu berpotensi untuk melakukannya. Namun harus pula dilihat bahwa manusia juga memiliki naluri tentang kebaikan, dengan anggapan seandainya seluruh aturan, hokum, undang-undang norma ini semua dihapus maka manusia akan menciptakan kerusakan dan disitulah terlihat aslinya manusia dengan dirinya. ungkapan tersebut adalah ber-andai-andai ‘seandainya’ artinya dengan sendirinya mengatakan bahwa keadaan yang sekarang adalah kebalikan dari apa yang di andai-andaikan itu. Sederhananya ungkapan tersebut juga menggambarkan bahwa manusia sedang berbuat kebaikan, sekaligus mengakui fitrah kebaikan itu dengan sendirinya.

Sangat keliru ketika manusia berbuat salah lantas menghatakan ‘biasa manusiawi’ dengan dalil manusia tempatnya salah dan lupa, harus pula diingat bahwa berbuat benar juga adalah tindakan manusiawi, sehingga kalimat itu tak  bisa dijadikan pembenaran atas kesalahan dan menafikan potensi kebaikan yang bersemayam dalam diri. anggap saja apa yang dinilai oleh Machiavelli tentang naluri dasar manusia ‘mahluk yang jahat’ sebagai bahan intropeksi diri. jika orang yang begitu ingin berbuat kebaikan lalu menganut faham demikian maka ia akan frustasi sebab ia akan menganggap bahwa kebaikan bertentangan dengan naluri kemanusiaannya sehingga mengakibatkan pelakunya bermentalkan pesimis terhadap kebaikan dan membenarkan kejahatan sebagai sesuatu yang alamiyah.

Dalam Islam kita bisa lihat lewat kitab suci al-Quran surah 91 : 8 : bahwa manusia telah diilhamkan jalan kejahatan sekaligus ketaqwaan (kebaikan) dalam dirinya. Kedua-duanya adalah potensi yang diperkenankan Tuhan kepada manusia untuk mengelolanya dengan akal dan nuraninya. Dalam menilai hal ini seorang seperti Murtada Mutaharri mengatakan bahwa didalam diri manusia punya sisi insaniyyah (kemanusiaan) dan hayawaniyah (kebinatangan). Sisi insaniyyah meliputi rasa kasih sayang, merasakan kebahagiaan, senang menolong dan segala sikap yang merepresentasikan nilai-nilai kebaikan dan ini tak bisa dilakoni oleh hewan, sedangkan sisi hayawaniyah (kebinatangan) yaitu sifat-sifat kebuasan ; suka memangsa hak orang lain, senang menindas, rakus, dan segala hal yang mencirikan sisi hayawan (binatang). Yang mana dari keduanya yang lebih dominan dalam diri manusia adalah sisi mana yang senantiasa dilayani dan diberi makan, jika manusia hidup hanya untuk melayani ego, rakus, korup maka ia menghidupkan sisi kebinatangan dalam dirinya. Sehingga tak jarang banyak orang berjubahkan manusia namun bersikap hayawan. Sebaliknya ada manusia yang bahkan Tuhan pun memuji akhlaqnya, ialah nabi Muhammad saw yang mendapat pujian langsung dari Tuhannya berkat keluhuran akhlaq yang ia miliki. Lihat Qs : 68 : 4.

Jika direnungkan tentang falsafah penciptaan manusia dimana Adam sebagai bapak jasad diciptakan pertama dari tanah liat, tanah itu tempatnya dibawah yang selalu diinjak-injak mengisyaratkan kerendahan, kebalikan dari iblis yang diciptakan dari api dengan sifat dasarnya adalah menyala-nyala (istakbara) atau membesar-besarkan dirinya (sombong). Kedua, unsur lain dari penciptaan manusia adalah dalam dirinya yaitu ditiupkan ruh ilahi (lihat Qs 38:72). Jadi dalam diri manusia bersemayam sekaligus dua potensi yaitu tanah sebagai potensi regresif dan ruh ilahi sebagai potensi progresif. Manusia dengan potensinya bisa jatuh pada level yang rendah (kal an’am balhum adol) bahkan lebih rendah dari hewan ternak dan dengan potensinya pula bisa menjadi makhluq yang mulia disisi Tuhannya. Dan ukuran kemuliaan seseorang tak dapat diukur dari penampakan fisik, Jika manusia hanya diukur dari fisik, sesungguhnya Nabi Muhammad saw pun Sama dengan Abu Lahab, sama-sama orang arab, pakai jubah, berjenggot. Tapi itu adalah ukuran yang keliru karena seharusnya manusia dilihat dari kualitas yang ada dalam dirinya. Setelah cukup panjang kita uraikan kita sampai pada satu kesimpulan bahwa manusia adalah makhluq potensial.

 

Reinterpretasi doktrin beragama. Dari kesadaran pasif ke kesadaran aktif

Dengan potensi yang diberikan Tuhan dalam diri manusia menjadikan Manusia sebagai makhluq yang diciptakan dengan dua tugas, pertama untuk mengabdi, kedua sebagai wakil Tuhan di Bumi, tak boleh dipilih salah satunya puas dengan ibadah saja dalam bentuk ritual, tapi lupa terhadap tugas sebagai khalifah dalam bentuk tanggung jawab sosial kemanusiaan, atau urusan sosial saja tapi mengabaikan ketuhanan, kedua-duanya haruslah berdampingan.

jangan sibuk mengtuk Adam karena dosa asal yang akibat perbuatannya kita terlempar dari surga. Hidup ini disini, di bumi, bukan disurga sana. adapun rangkaian peristiwa itu hanyalah sebagai skenario ilahi agar mausia menempati bumi dan mengelolanya dengan segenap akal dan hatinya, dunia untuk dijemput dan dihadapi jangan dijauhi apalagi ditinggalkan.

Jika orang yang mengaku baik cuek terhadap tugas kekhalifahan, maka tugas itu akan diisi oleh mereka yang tak peduli dengan nilai kebaikan, oleh para penjahat dan sejenisnya. Ini menjadi logika paling mendasar yang harus dihayati, karena realitas hidup senantiasa berdialegtika, bahasa praktisnya ialah hidup senantiasa berkompetisi dalam hal apapun.

Kompetisi hidup Manusia sebagai makhluq potensial dapat dilihat pada nalurinya, tiap individu selalu punya hasrat berkuasa Dan mendominasi yang lain, itu tak boleh dihakimi karena pada dasarnya dalil agama meminta kita berkompetisi dengan berlomba dalam kebaikan, bukan bersembunyi. Bahkan mereka yang bersembunyi diam_diam selalu menunjukan hasrat ingin mendominasi, ingin dilihat paling, menuntut untuk selalu diperhatikan dan dibenarkan, selalu ada hasrat untuk menaklukan.

Orag belajar punya misi menaklukan kebodohan, orang berdebat punya ingin menguasai lawan bicara, seorang pengkhotbah ingin diperhatikan oleh audiens, sampai posting status pun mengandung makna ingin diperhatikan. karna pada dasarnya disitulah potensi kekhalifahan terkandung, pada hasrat untuk menjadi dan terus menjadi yang tak pernah berhenti, dan itu baik bagi kelangsungan hidup manusia, harus didukug tak boleh dikutuk.

Yang perlu diluruskan adalah pandangan hidup yang sudah merasa cukup dengan keadaan, hinga ia mati sebelum mati, diam tak berkembang. Memelihara cara pandang tersebut menjadi salah satu faktor kemunduran dalam peradaban ummat islam yang menganggap dunia sebagai ladang dosa hingga berpaling darinya, padahal tugas sebagai khalifah di bumi menugaskan manusia untuk menanganinya bukan meninggalkannya.

Sadarkanlah diri bahwa manusia bukan sebagai objek kutukan atau rahmat, melainkan sebagai individu yang bertanggung jawab atas dirinya. Manusia adalah mahluq merdeka, dengan Akal dan hatinya ia dipersilahkan untuk menciptakan makna atas hidup, tidak puas hanya dengan makna yang direkayasa oleh orang lain, tidak menjadi ekor tapi menjadi kepala, sekurang-kurangnya adalah menjadi kepala atas dirinya sendiri.

Apa yang dituduhkan Friedrich Wilhelm Nietzsche sebagian bisa dibenarkan juga, bahwa orang-orang besarlah yang merekayasa nilai sementara dunia kerumunan menganggapnya sebagai kebenaran yang harus dita’ati. Padahal yang menciptakan standar nilai atas kehidupan yang kita jalani ini adalah manusia juga. adapun interpertasi dalam agama ialah sebagai hasil subjektivitas para pemukanya. Dalam keyakinan islam, agama islam mutlaq benar, tapi lahirnya interpertasi atas islam merupakan penafsiran manusia, buktinya adalah beragam mazhab fiqh dan ormas yang berbeda-beda sebagai hasil subjektivitas para pendirinya dengan perbedaan latar belakang pemikiran sebagai bentuk kemerdekaan befikir, siapa paling benar dan siapa yang salah itu urusan Tuhan dalam menilai.

Mereka yang telah menegaskan individualitasnya melahirkan gagasan-gagasan besar, begitulah pula dalam tata-kehidupan, apakah itu undang-undang, norma, moral, adalah ciptaan manusia, karena manusia itu relatif, terbatas, dan sangat mungkin salah lantas mengapa Kita tak menegaskan individualitas kita juga dalam memberi arti terhadap hidup ini, tidak ikut arus dan juga tak ditinggalkan arus. Tidak terombang ambing tidak pula ditelan sejarah. Betapa pedihnya manusia merdeka yang hidup dalam makna yang direkayasa orang lain, padahal ia adalah makhluq Tuhan paling kreatif dengan potensinya.

Urusan dengan Tuhan cenderung sederhana, bila berbuat dosa, maka mohonlah ampunan dengan segenap jiwa, atas kehendaknya dosa-dosa itu akan diampuni oleh yang maha pengampun, tapi soal urusan tanggung jawab diatas bumi yang dipijak, tak akan selesai hanya dengan berdoa lalu duduk berpangku-tangan.

potensi sebagai khalifah adalah kehendak untuk menjadi besar, dan tugas untuk tetap menghamba sekaligus kesadaran sebagai makhkuq yang kecil, kenapa kok terdengar kontradiktif ? Sesunghuhnya tidak, hanya saja perlu ditempatkan sesuai tempatnya. Dalam filosofi china kita diperkenalkan Yin dan Yang, keseimbangan hidup, kapan kita harus pasif dan kapan harus aktif, jangan over aktif disaat kita harus pasif, atau pasif disaat kita harus aktif. Kenali diri lalu berbuatlah.

 

Jangan salah menjadi saleh

Setelah mengurai tentang manusia dan segenap potensi yang dapat dilakukan oleh manusia. Sekarang mari kita berpikir kritis dengan hal-hal yang mungkin dilakukan oleh manusia dengan segenap potensinya

Kata salihan dalam Quran selalu bergandengan dengan kata Amila (perbuatan), dan perbuatan sifatnya kuantitatif terukur dan dapat dilihat. Seseorang tak dapat mengaku baik jikalau kebaikannya tak dapat dibuktikan, sebagaimana orang tak dapat dinilai jahat bila tak ada tindakan kejahatannya, karena yang terpenting bukanlah pengakuan melainkan tindakan. Orang sekalipun tak memberi pengakuan tapi memiliki tindakan ia dapat dipercaya, sebaliknya orang yang mengaku tapi tak pernah bertindak maka pengakuannya adalah sebuah kebohongan. Lain halnya dengan Iman yang sifatnya kualitatif, yang bisa memahami kedalaman iman seseorang hanyalah orang itu sendiri dengan Tuhannya. Walau pada dasarnya amal sebagai representasi iman tapi seseorang tak dapat menjadikan tindakan (amal) seseorang sebagai parameter mengukur imannya, salah satu konsep Roland Barthes dalam menjelaskan mitologinya bahwa sesuatu yang kualitatif tak bisa dikuantitaskan atau kuantifikasi kualitas karena itu bukanlah ukurannya, kalaupun dipaksakan maka kualitas yang dikuantitaskan akan lahir sebagai mitos, dianggap sebagai kebenaran padahal tak dapat dibuktikan secara proporsional. karena ada saja orang yang berkamuflase diahadapan banyak orang demi legitimasi sosial, tapi tidak juga dapat dikatan beriman apabila orang tak mau beramal, kedua-duanya saling membuktikan diri antara satu sama lain. 

Dalam surah Al-Ma’un orang-orang yang shalat diancam fawailullil Musallin celaka orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai beribadah dengan kuantitas ingin dilihat dari banyak dan seringnya tapi mengaburkan kualitas hubungannya kepada Tuhan dan tak pula dibuktikan dengan amal saleh sebagai tindakan sosial. selanjutnya adalah kata salihan sebagai value dari tindakan, karena orang tidak terbatas dituntut beramal (berbuat) tapi harus dipastikan perbuatan itu adalah bernilai salehKarena tiga kata tersebut dalam Quran identik bergandengan Iman, dan amal saleh. 

Salih itu seperti apa. ? untuk menjawab ini memerlukan uraian panjang. Kalau kita membuka kembali perhelatan dunia islam klasik seputar ilmu kalam, kita akan diperkenalkan dengan islam gaya spekulatif seperti sibuk mendebat Tuhan, siapa yang masuk surga atupun neraka, siapa yang benar-benar islam dan kafir,  jika diadopsi ke zaman sekarang ini, ummat akan berhujung pada corak beragama yang sektarian, kehilangan kualitas, menghabiskan energy dengan sibuk melabeli orang, lalu nimbrung berdasarkan kecenderungan, kalau demikian adanya agama akan kabur dari makna generikanya, agama dari Tuhan untuk manusia, tapi oleh manusia ingin mengurusi Tuhan atas nama Agama.

Oleh tokoh-tokoh teolog muslim kontemporer mengkritik gaya berislam klasik, termasuk juga aliran sufisme yang pernah subur dalam dunia islam. Dalam  jurnal yang diterbitkan Maarif institute untuk menyambut mukhtamar Muhammadiyah 2020 dengan tema Memperkuat kembali moderatisme Muhammadiyah, Nurbani Yusuf mengulas singkat tentang Membangun Tradisi Sufistik. Bahwa muhammadiyah berjarak dengan tarekat karena memproduksi amalan Takhayul, bid’ah, khurafat sementara perjuangan kiyai Dahlan adalah purifikasi atau memurnikan ajaran islam, sehingga muhammadiyah dikenal tak ramah dengan tradisi sufistik. Baginya gaya tersebut hanya melawan kemapanan tanpa tawaran model. Tapi bagi penulis disini jarak muhammadiyah dengan tradisi sufistik titik tekannya sekarang bukan lagi pada wilayah TBC, karena ummat sudah cukup dewasa dalam menyikapi itu. ini akan sedikit terarah Kalau kita melacak genealogi gagasan kiyai Dahlan yang banyak dipengaruhi oleh tiga syaikh dengan Pan Islamismenya,

Jamaluddin Al-Afghani dengan Al-Urwah Al-Wustqa, diantara pikirannya ialah menekankan pentingnya melawan kolonialisme juga menolak paham jabariyah tentang ajaran yang fatalistik menganggap maju atau terbelakangnya islam sebagai takdir, Muhammad Abduh dengan Risalah Tauhid mengingatkan islam mahjubun bilmuslimin terbelakangnya islam karena ummatnya sendiri maka perlu pembaharuan dalam bidang pendidikan untuk mengembalikan izzul islam walmuslimin yaitu kehormatan islam dan ummatnya bisa dikembalikan dengan penguasaan ilmu pengetahuan, dan dari Rasyid Ridha yang ditulisnya yaitu Tafsir Al-Manar sebagai kumpulan dari tulisan-tulisan gurunya Muhammad Abduh dengan yang mengajak ummat dari berfikir Teosentris ke Antroposentris, ia juga mengeritik sebagian paham sufisme yang dianggap menyimpang, seperti pasrah tanpa usaha.

Dari tiga syaikh tersebut, dapat dipahami kenapa gerakan yang dibawa Kh A. Dahlan agak berjarak dengan tradisi sufistik, selain dari adanya unsur TBC yang berhadapan dengan semangat purifikasi yang ditulis Nurbani Yusuf diatas, juga nampak keterkaitan pemikiran dengan adanya kecenderungan sebagian paham sufisme yang apatis terhadap dunia, menganggapnya sebagai ladang dosa dan harus dijauhi. Sehingga seseorang jika ingin menjadi saleh maka mau tidak mau harus menanggalkan dunia dan focus hanya pada Tuhannya semata. Ini akan membawa kepada kesimpulan, semakin berjarak seseorang dari urusan duniawi maka semakin tinggi tingkat kesalehannya, sebaliknya semakin terpikat seseorang oleh dunia semakin jauh dari predikat hamba yang saleh. Dengan demikian individu akan terjebak rajin dalam berdoa tapi tidak tekun dalam bekerja, ahirnya terwariskan secara genetic maupun kultur terhadap etos kerja orang indonesia, enggan bekerja-jadi pengangguran juga tidak mau, mau kaya tapi tak sabar menabung.  mau hasil maksimal dengan usaha minimal Maka koruplah titik finalnya. wajar bila orang seperti Mayer Friedman mengatakan kita ini orang tipe B mereka Tipe A, mereka barat hidup untuk bekerja kita hidup untuk menikmatinya, lalu kamu hidup untuk apa ? Kita menjadi masyarakat dengan tingkat konsumtifitas yang tinggi tapi rendah dalam hal produksi.

Hal tersebut sebagai dampak tidak langsung dari doktrin pasif tidak kritis dan malas berjuang. Jika pun ditindas oleh sebuah sistem maka akan dipandang sebagai sesuatu yang alami. Toh hidup penuh ujian, yang perlu dilakukan hanyalah sabar atas keadaan, katanya innAllah Ma’a sabirin Allah bersama orang-orang yang sabar. Bagi kalangan teolog islam kontemporer, kalau seperti ini doktrinya maka perlu dilakukan reinterpertasi pada banyak perbendaharaan kata yang menjadi dogma agama. Seperti kata ‘sabar’ tidak boleh dipahami dalam konteks menerima nasib, dizolimi sabar. tapi sabar harus dibawa pada ranah yang revolusioner, sabar dalam berjuang jangan gampang menyerah dengan keadaan, jika ada rasa letih sabarlah letih itu akan terbayarkan dengan hasil yang sepadan. ayat “Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan munkar” harus dipahami bahwa individulah yang mencegah perbuatan keji dan munkar itu lewat kesadaran shalatnya, bukan shalat yang mencegah dengan sendirinya karena shalat adalah perbuatan (objek) bukan pelaku.

Kalimat Tauhid Lailaha IllAllah oleh Bang Imad disebutnya sebagai declaration of independen sebagai kalimat deklarasi kemerdekaan paling tinggi, kenapa bisa ? secara leterlik kalimat itu bermakna Tiada Tuhan Selain Allah, tapi kalau kalimat ini kita hayati maka letaknya tidak terbatas pada pengakuan kepada Allah melainkan ada konsekwensi konfrontatif yang dikandungnya. Sayyid Qutb berpandangan orang arab pada dasarnya sangat mengerti bahasa mereka sendiri, mustahil tidak, maka kata lailaha illAllah bermakna tiada tuhan selain Tuhan itu sendiri, tak ada Status sosial, tradisi-budaya, kekuatan politik dan segala sesuatu yang layak dipertuhankan, lanjut apa yang dikatakan bang Imad Persetan dengan tuhan-tuhan lain karena hanya Allah sebagai Tuhan. semua makhluq oleh kalimat tauhid menjadi sama rata, yang membedakan mereka adalah ketakwaan dan yang bisa mengukur itu hanyalah Tuhan, maka tak ada claim paling baik, paling mulia, paling takwa dengan symbol sebagai indikator manusia karena itu hak prerogatif  Tuhan, tidak usah manusia sok-sok menjadi tuhan dengan sibuk menghakimi orang lain.

Tidak terlalu penting kita claim of idea islam sebagai rahmatan lilalamin membawa cinta bagi semesta alam kalau perilaku ummat belum mencerminkan bahkan sering bertentangan dengan itu. Dunia akan menuntut mana buktinya ? Menjadi saleh bukan berhenti pada claim, hafalan teks-teks suci, melantunkan dzikir secara personal. ketika kesalehan personal mendorong individu melakukan kesalehan sosial itu baru kesalehan sejati. Itulah perjuangan para nabi sperti Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad mereka orang-orang saleh secara personal yang tidak lahir dari aristocrat, tapi lahir dan besar dengan rakyat untuk melawan segala bentuk penindasan sebagai wujud sesalehan sosial. Dan Musuh perjuangan ialah mereka yang mengibarkan Panji Qabil  (Dzalim) itulah Firaun, sekarang Firaun itu tidak ada tapi bendera firaun selalu ada dan dikibarkan oleh penguasa yang korup, penindas, merasa benar, dan bendera Haman sekarang sebagai simbol ilmuan, teknokrat digunakan untuk mendukung tiran dengan melacurkan ilmu. Qarun symbol hartawan, kapitalis, pemilik modal yang rakus, penghisap kekayaan massa. Bal’am simbol agamawan yg melegitimasi semua praksis ketidak adilan untuk pertahankan status quo semua itu adalah Qabil yang perlu dilawan oleh mereka yang mengaku Habil.

Apa yang terjadi jika semua ummat Bergama berpuas diri dengan kesalehan individual, asyik berkhusu-khusuan sendiri tapi diluar sana para penjarah dan eksploitasi meraja lela, sikap seperti ini malah akan membenarkan Hinaan Marks terhadap agama, sebagai candu dan mengasingkan manusia dari dirinya sendiri. Sifat dari candu membuat orang ketagihan tapi toh tak ada solusi yang hidup hanyalah angan-angan, dan manusia akan terasing dengan dirinya jika hanya merasa kecil, merasa hina, berlumuran dosa dan penuh penyesalan.  Cara pandang demikian perlu didesain ulang, bahwa Agama adalah kekuatan revolusioner, dan hal yang sangat wajar apabila orang-orang dengan kesadaran agama yang tinggi akan berhujung pada perjuangan, sensitiv terhadap situasi sosial sebagai bentuk  perwujudan keimanan dengan keinginan memberi rasa aman. Karena iman dan aman terdiri dari satu kata, maka keduanya tak boleh bercerai ketika dalam tindakan.

WAllahu Alam..

 

Kesadaran seremonial ke kesadaran kritis

Gaya, Ekspresi, nilai, dan segala hal yang menjadi kebiasaan bahkan menjadi cara pandang individu atas hidup oleh Bordieu menyebutnya sebagai habitus yang berangkat dari proses Internalisasi Eksterior menyerap realitas eksternal menuju eksternalisasi interior lalu diwujudkan kembali dalam tindakan rill. dibalik tindakan manusia selalu berangkat dari dominasi yang dikuasai oleh kepentingan tertentu, apakah itu kepentingan kelompok maupun ideology, akibatnya pandangan suatu institusi yang berkuasa dinggap sebegai kebenaran yang harus diterima oleh yang dikuasai tanpa terjadinya pertukaran gagasan. Secara sadar atau tidak sadar itu adalah praktik Penindasan dengan menggunakan symbol, bahasa, maupun institusi namun tidak dirasakan sebagai penindasan melainkan sebagai suatu yang normal dan perlu dilakukan karena Penindasan tersebut telah mendapat persetujuan dari pihak yang ditindas, maka jadilah mereka sebagai manusia kerumunan, tak apa hanyut asalkan ramai.

Tradisi terebut jelas bertentangan dengan fitrah manusia sebagai makhluq yang berkehendak. gagasan yang menganggap kenyataan sebagai takdir yang harus diterima adalah sama dengan tak ada gagasan apa-apa. lalu buat apa ada fikiran jika harus mematikan kreativitas. Selalu ada pertarungan antara lingkungan dan ego, oleh Muhammad Iqbal menyebutnya sebagai ketegangan yang selalu berdialegtika. apakah lingkungan yang menggempur ego hingga individu hilang terbawa arus, atauakah ego yang menaklukan lingkungan hingga ia dapat mendesain makna atas diri dan lingkungannya, untuk itu individu perlu menegaskan diri.

Satu-satunya kelompok yang memungkinkan melawan status quo adalah kaum muda, para mahasiswa, dan golongan cendekiawan yang selalu kritis melihat kondisi sosial budaya. Mereka adalah kaum yang terus melawan segala bentuk establishment, merekalah yang mampu melakukan the great refusal penolakan besar-besaran, golongan tua sulit mengemban tugas ini. mereka yang telah mendedikasikan dirinya untuk mencari biaya hidup saja tak akan mampu hidup eksis sebagai manusia, karena pikirannya tertelan oleh kebutuhan hingga tak ada kesempatan untuk Living A Human Existence yaitu hidup dengan eksistensi Humanitas, sementara kelompok yang bekerja untuk humanitas dan equality tak akan ragu mengorbankan materi demi perjuangan.

Namun kesadaran ini menjadi anomaly, ketika kaum intelektual kehilangan daya dihadapan individualisme, apatisme, pragmatisme, dan feodalisme yang kini menjadi racun gerakan. Mereka yang diharapkan menjadi corong peradaban dari masa ke masa semakin kehilangan taring, lemah analisis dan cenderung manut. Akibatnya seolah tak ada perbedaan antara tim sukses parpol dengan aktivis idealis, kedua-duanya hampir melebur menjadi satu. Bukan berarti hal demikian harus dikutuk, itu juga adalah kebutuhan, entah demi Self Actualization seperti kata Maslow. ! Ada guyonan yang terkadang secara tidak langsung menjadi dewa yang sering terdengar  Logika tanpa logistic itu anarkis, idiom ini menanamkan mitos seolah orientasi gerakan bermuara kepada pemenuhan logistic, tak ada logistic tak ada gerakan. namun ada hal yang harus diingat bahwa Kolaborasi bukan berarti harus kehilangan independensi.

Lalu independensi seperti seperti apa yang perlu ditegaskan oleh kaum intelektual ? untuk menjawab ini, mari kita ambil pelajaran dari peristiwa isra’ mi’raj Nabi Muhammad Saw. Terjadi proses perjumpaan Liqa antara Ia dengan Tuhannya  itulah puncak kenikmatan. Untuk mengomentari ini, gaya pragmatis kita akan mengatakan “harusnya ia bisa memilih tinggal dan tak perlu kembali lagi ke bumi, toh ia merdeka bebas memilih” Walasaufa Yu’tika rabbuka fatarda apa yang engkau inginkan Tuhanmu akan berikan hingga hatimu senang Qs : 93 : 5, buat apa lagi ke dunia toh akan sengsara dalam berkonfrontasi terhadap masyarakat yang menolaknya, sementara puncak bagi semua pengharapan sudah ada didepan mata ? tapi itu tidak ia lakukan karena ia sadar tugasnya adalah diutus untuk menegakkan kemanusiaan. 

Pada hari ini para nabi telah tiada, namun tugas kenabian selalu ada pada pundak Kaum intelektual Ulama Warasatul Anbiya’, yaitu orang-orang yang memiliki pengetahuan disebut sebagai pewaris misi kenabian yang dituntut untuk merealisasikan ilmu pengetahuannya. Maka independensi kaum intelektual adalah independensi para nabi, keluar dari status quo, tak luntur dengan godaan materi dan mau berjuang menegakkan kemanusiaan. walau pada dasarnya kita bukan nabi tapi kita diperintahkan untuk mencontohinya, karena memang ia diutus sebagai pemberi contoh Uswatun Hasanah.

Dalam praksisnya, kaum intelektual ini telah mengelompokkan diri dalam berbagai slogan, ada yang berhimpun atas nama independensi, entah apa karena ia independen yang bermakna merdeka dari segala kepentingan, tidak dipayungi secara structural, ataukah indpenden sebagai kebebasan berafiliasi dengan siapa saja asalkan lo kasi gue beri, wAllahu Alam. Ada juga kelompok yang bergerak dan selalu berteriak atas nasionalisme harga mati, seolah yang tidak berteriak demikian tidak nasionalis, yang ini terasa aneh. Dan ada yang mengikat diri atas semangat menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar dengan corak pembaharuan yang modernis, namun pembaharuan itu masih pada slogan. Lebih dari seratus tahun kebelakang gagasan itu memang sangatlah modern, tapi kalau sampai pada hari ini gagasan-gagasam pembaharuan itu kurang terperbaharui atau diperbaharui secara gagasan namun dalam prakteknya minus realisasi, itu malah nampak lebih tradisional dari pada mereka yang berslogan tradisional.

Modern pada dasarnya bermakna baru dan kekinian, Setelah abad ke 15 mulai terhitung sebagai peralihan klasik menuju modern sebagai jawaban terhadap Dark Age masa kegelapan. ditandai dengan hidupnya kesadaran kritis sebagai perlawanan atas dogmatisme agama, jika hari ini tradisi kritis itu hilang dan dogma itu berkuasa dengan cara yang lebih variatif, sama halnya kita kembali pada masa kegelapan.

Penegasan pertama, kaum intelektual perlu membangun kesadaran kritis tanpa kehilangan independensi, kedua, bahwa independensi intelektual adalah independensi para nabi yang berjuang demi kemanusiaan. Namun tugas kemanusiaan jika dibenturkan dengan realitas masih sangat jauh berjarak dengan peradaban hari ini, pada kenyataannya terjadi tragedi dehumanisasi, pembantaian besar-besaran diberbagai belahan dunia dengan dalil melawan terorisme dan radikalisme namun dengan tindakan teror yang lebih radikal, yang justeru terjadi inkonsistensi dalam pencegahannya. Tak ada dalil yang patut membenarkan itu. Moralitas ataupun humanisme bagi sebahagian populasi dunia masih terhenti pada sebatas ceramah, belum dapat mereka rasakan secara actual.

Kesadaran kaum intelektual yang notabenenya terkonstruk atas doktrin religious kini dituntut untuk menunaikan misinya, menegakkan cinta kemanusiaan yang mulai redup demi terciptanya tatanan yang lebih baik. Yang membuat dunia ini bertahan adalah cinta. orang tua cinta pada anaknya, atasan cinta pada bawahannya, pemimpin cinta pada rakyatnya, Tuhan Cinta pada Makhluqnya, seandainya seluruh cinta ini dibuang dari hati manusia maka punahlah peradaban semesta.

 

 

 

Pancasila yang Pancasilais 

Lebih dari 1400 tahun yang lalu Nabi Muhammad menyampaikan ramalan melalui hadisnya, kelak diakhiruzzaman akan terjadi suatu peristiwa pembunuhan, dimana yang membunuh tak tau mengapa ia membunuh dan yang dibunuh tak tau mengapa ia dibunuh, peristiwa itu hanya akan mempertontonkan kezaliman yang diikuti oleh kebingungan-kebingungan. Itulah yang terjadi hari ini, fenomena kebangsaan belakangan ini dilanda peristiwa-peristiwa yang menggegerkan. diwamena 31 orang dibantai secara tidak manusiawi pada November 2019, padahal kita adalah bangsa yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Di Sulawesi tenggara oknum polisi menembak mati salah satu peserta demonstrasi juga pada bulan November ditahun yang sama, pada saat itulah demokrasi ini telah terciderai.

Realita yang terjadi dilapangan menyisahkan banyak kebingungan, karena antara konsep yang dianut sebagai landasan bernegara justeru Nampak kontradiktif dengan aktualisasi dilapangan. Katanya Bangsa kita ini bangsa yang berkarakter, nyatanya karakter apa yang kita mau banggakan.? Yang ada adalah sentiment primordialisme masih kerap terjadi. Kita ini bangsa yang besar, namun kalau kita mensejajarkannya dengan bangsa lain, dalam banyak hal kita masih dilihat kecil. ataukah besar itu hanya diukur lari luas wilayah semata, tamun tidak pada kebesaran hati rakyatnya ?

Sehingga fenomena ini menjadi autokritik bagi kita, apa yang salah dengan bangsa ini ?,kesalahan itu ada pada pemerintah sebagai pemegang kekuasaan yang menentukan arah perjalanan bangsa,? ataukah kita sebagai rakyat juga memiliki konstribusi moral atas berbagai peristiwa yang terjadi. Kalau kita melakukan pendekatan skriptualis, sebagaimana kisah firaun yang disebutkan dalam alquran bahwa ia menjadi pemimpin yang fasiq bagi kaum yang fasiq, karena .pemimpin adalah cerminan dari rakyatnya, boleh jadi pemimpinnya seperti ini dengan gayanya karena kita sebagai rakyat yang seperti itu dengan cara kita. Sehingga dua kejelekan itu menjadi kombinasi yang sempurna untuk merepresentasikan kita sebagai bangsa yang kacau.

Pernah pada masa bani umayyah, salah seorang raja diberi pernyataan sekaligus pertanyaan  oleh salah seorang rakyatnya, “pada masa umar dan abu bakar, keadaan kita ini baik-baik saja, tapi pada masamu terjadi banyak kekaacauan hingga perang saudara” jawab sang raja maka jadilah kalian rakyat sebagaimana rakyatnya umar dan abu bakar. Kisah singkat ini menjadi sindiran keras bagi kita bahwa segala dinamika kebangsaan yang terjadi pada hari ini merupakan kombinasi dari semua komponen yang ada.

Tulisan sederhana ini ingin mengajak pembaca untuk menghayati falsafah bangsa sebagai dasar kehidupan bernegara, yang tumbuh dengan spirit pancasila. generasi hari ini adalah pemimpin dimasa depan, oleh karena itu segala keganjilan yang terjadi dinegeri ini bisa diperbaiki lewat usaha mengajak generasi hari ini untuk memperbaikinya dengan kembali menerjemahkan falsafah berbangsa dalam kehidupan sehari-hari

Kita adalah bangsa yang bertuhan, maka perilaku kehidupan berbangsa kita haruslah sejalan dengan nilai-nilai ketuhanan. Apa arti bertuhan jika ia hanya dibatasi dalam konteks keyakinan namun tidak dalam praksis kemanusiaan, Nilai luhur pancasila harus dapat diterjemahkan dalam  menghadapi situasi bangsa hari ini. Indonesia sebagai bangsa yang berasas pancasila dengan Ketuhanan yang maha esa pada aliniah pertama, maka harus menunjukan perilaku-perilaku yang bertuhan. Pembunuhan hingga pembantaian tak dapat dibenarkan oleh ajaran agama manapun yang ada diberbagai belahan dunia. kata cak nur, “ketuhanan tanpa kemanusiaan dikutuk oleh tuhan itu sendiri. Silah pertama dan silah kedua memiliki keterkaitan yang erat, bahwa ketuhanan harus berujung pada kemanusiaan. “being human is given, but keeping our humanity is a choice” menjadi manusia itu fitrah, kita mau pake fitrah kemanusiaan itu adalah pilihan kita.

Banyak orang yang bertuhan namun tak banyak yang berkarakter ketuhanan, bertuhan adalah kesiapan individu dalam menerima Tuhan sebagai kepercayaan, sedangkan kebertuhanan adalah esesnsinya yang termanifestasi dalam perilaku manusia. Jauh dari dalam diri manusia itu ada sifat ketuhanan, ketika Tuhan adalah zat yang pengasih maka manusia dapat saling mengasihi, ketika Tuhan adalah zat yang maha pengampun, maka manusia dapat saling memaafkan, walau yang dapat menyandang kata maha Hanyalah Ia sebagai Tuhan. Lalu mengapa begitu sulit bagi manusia-manusia hari ini melakoni potensi yang telah ada dalam dirinya.

Dalam pandangan algazali manusia pada dasarnya ibarat langit yang cerah, pada bagian tertentu ada yang ditutupi awan gelap gulita, maka tugas kita adalah menggeser kegelapan itu hingga bisa memancarkan cahaya bagi kehidupan semesta. Kebertuhanan dalam keyakinan yang tidak termanifestasikan dalam praksis kemanusiaan tak ada bedanya dengan bertuhan dalam imajinasi namun ateis dalam tindakan, masih banyak kezoliman yang dilakukan oleh yang melakukan dan dibiarkan oleh yang melihat, nabi mengatakan “barang siapa yang melihat kemungkaran maka hendaklah ia merubah dengan tangannya, jika tidak bisa dengan lisannya, jika tak bisa dengan hatinya, maka yang demikian adalah selemah-lemahnya iman”. Lemahnya iman ialah bahasa lain dari hamper tidak beriman kalau ia hanya peka dalam hatinya tapi tak diwujudkan dalam tindakan. Namun, bagaimana jika kepekaan itu seluruhnya mati? Jika demimian keyakinan hanyalah sebatas pelarian imajiner demi mengimbangi ketidak-bertuhanannya dalam tindakan.

Poin ketiga yaitu persatuan, untuk sampai kepada cita-cita bersama maka seluruh komponen yang ada haruslah bersatu dalam membangun sesuai dengan perannya masing-masing. Sembilan orang yang membangun namun satu yang meruntuhkan tidak dapat mengantarkan kepada cita pembangunan. Meruntuhkan selalu lebih mudah dari pada membangun. Martin lutertin,mengatakan “Kita belajar hidup bersama sebagai saudara atau kita hancur bersama sebagai orang bodoh”. sentimen primordialisme tak membawa keuntungan apapun, yang ada hanyalah menyisahkan duka bagi mereka yang dijadikan tumbal.

Bersatu selalu lebih sulit dari pada tercerai-berai. Meski seribu satu alasan untuk berdamai, belum cukup membuat orang mengahiri pertikaian, tapi selalu cukup dengan satu alasan untuk bertikai, ribuan alasan perdamaian pun dapat dikhianati. Hampir setiap orang (kecuali mereka yang arif), memelihara potensi kebencian dalam diri, ketika itu tak tampak bukan berarti ia tak ada, cukup dengan satu sentuhan kecil ia dapat meledak menjadi buas. Membangun permusuhan selalu lebih mudah dari pada bangun persaudaraan, sementara kita selalu sibuk mencari keadilan dari luar namun selalu tak adil membangun perdamaian dari dalam.

 kerakyatan, dalam demokrasi seluruh warga Negara mempunyai hak yang sama dalam menyampaikan pendapat, maka jika pada prakteknya hari ini mereka yang menyampaikan pendapat itu justeru dikekang dan dianggap sebagai momok yang menggerogoti Negara, itu justeru mempertontonkan sebuah kekuasaan yang bertentangan dengan asas berdemokrasi. Asas bermusyawarah sebagaimana prinsip berdemokrasi telah disebutkan dalam al-quran Wasyaawirhum fil amri (dan bermusyawarahlah kalian dalam  suatu perkara). Artinya, jika terdapat suatu persoalan maka musyawarahlah sebagai jalannya, suara-suara rakyat tak boleh diabaikan terlepas apaun jenis rakyat itu, apakah ia dermawan ataupun rakyat jelata, seorang alim maupun penjahat hak suaranya tetaplah harus didengarkan, adapun ditolak atau diterimanya itu harus melalui proses musyawarah bersama. Nabi Muhammad saja sebagai manusia yang paling mulia, ketika ditanya oleh sahabatnya, bagaimana cara mencangkok pohon kurma, maka ia menjawab antum a’lamu bi umuri dunyakum (engkau lebih paham persoalan duniawi kalian), ia tidak mengatakan aku ini nabi loh maka suaraku sendirilah yang harus kalian dengar, tidak ! nabi mengisyaratkan, kalianpun punya cara pandang dalam menghadapi persoalan-persoalan tertentu, maka menerima berbagai sudut pandang melalui jalan musyawarah dalam demokrasi adalah suatu keniscayaan.

Keadilan sosial, adil jika ingin diabstraksikan secara sederhana ialah engkau tidak melakukan sesuatu kepada orang yang engkau tidak ingin orang lain lakukan itu padamu.

Intisari dari poin-poin tersebut pada dasarnya sangatlah positif, persoalannya hari ini ialah nilai-nilai ideal itu masih belum dapat diterapkan secara utuh karena masih ada tembok ego individu maupun kelompok yang menguasai diri,  sentiment primordialisme, kerakusan, korupsi, dan segala bentuk fenomena yang merusak adalah tembok besar yang menghalang-halangi kita untuk sampai kepada cita ideal berbangsa.

Berteriak “aku pancasila dan aku NKRI” tidak langsung menjadikanmu paling pancasilais dan paling NKRI, karena apa arti slogan jika tak terwujud dalam sikap. Sebaliknya jikapun engkau tak meneriakkannya dalam bentuk slogan tapi mampu diterjemahkan secara actual, maka itulah yang dapat disebut pancasilais. Nganut pancasila HARUSLAH PANCASILAIS. Maka, Segala bentuk tembok ego yang menghalangi adalah musuh bersama yang harus diruntuhkan.

 

 


Itu sumpah kalian, bukan sumpah kami

Mengenang peristiwa masa lalu sering-kali membawa imajinasi menyeberang melintasi zaman. Bicara soal sumpah pemuda, saya ingin antar dengan teorinya Rolland barthes dalam  semiologynya, ia memiliki istilah yang disebut sebagai “death of the author” yaitu kematian sang penutur. Dimana sang pembaca memiliki kebebasan dalam membaca dan menerjemahkan realitas, karena realitas bagaikan teks yang dapat dibaca sebagaimana buku. Tidak selamanya yang diingini penutur selalu sejalan dengan bacaan sang pembaca, sang penutur mengatakan lain, sang pembaca menerjemahkan lain, sang penutur telah mati, ia tak lagi terlibat dalam memberi makna atas tuturannya.

Memaknai “Sumpah pemuda, 27-28 oktober 1928 sebagai peristiwa sejarah, tak akan pernah mampu membawa kita merasakan tepatnya seperti apa yang dirasakan oleh kakek-kakek dahulu. kini ia hadir sebagai idiom yang turut meramaikan isi kepala, apa itu “sumpah pemuda”.? Entahlah ! masing-masing kita punya makna sendiri dalam mendeskripsi. Boleh jadi ia adalah momentum penuh inspirasi, sebaliknya hanya sekedar kata-kata kuno yang tak lagi bertuan.

Merujuk ke teori Rolland barthes, Sumpah pemuda kini adalah realitas masa lalu yang hadir sebagai tuturan, kakek kita sebagai penutur telah mati, untuk membaca itu maka ia mencari tuan-tuan baru yang dapat menerjemahkannya kembali dengan bentuk yang ramah, atau justeru sebaliknya menghianati sumpah sang kakek.

Sumpah itu ialah rangkuman tentang mimpi, Mimpi dan harapan adalah sebuah dambaan kebalikan dari fakta. Kenyataan indonesia belum menjadi bangsa yang merdeka mendorong mereka menyatukan visi perjuangan demi persatuan, atas banyaknya bahasa yang ada, maka harus ada satu bahasa kesepakatan, tercerminlah harapan itu dalam sumpah yang mereka ikrarkan.

Kami putra-putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Air Indonesia

Kami putra-putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia”.

Kami putra-putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia”

 

Teruntuk sang kakek, bagaimana bila kami sudah tak sejalan dengan sumpah itu, semangat persatuan kini telah kabur, jikalaupun ada, maka yang menyatukan itu bukan semangat berbangsa, tapi kepentinganlah yang mendasari kami, tak peduli mau sebangsa bahkan sepiring sekalipun, jika kepentingan sudah berbeda maka ia bukan lagi saudara kami. filosofi kami hari ini tidak lagi bertumpah darah demi persatuan, tapi tak ragu menumpahkan darah karena perbedaan.

            Kami mengaku sebagai bangsa yang satu itu yang engkau katakan, tapi semenjak saat itu hingga hari ini masih ada saja yang ingin memisahkan diri dari tanah ini karena tidak merasa sebagai bagian yang dirangkul dalam persatuan, karena masih ada saja yang diperlakukan  sebagai anak tiri dari ibu pertiwi. Daerah dengan alam yang kaya, rakyatnya justeru hampir tak memiliki apa-apa, sebaliknya daerah yang hampir tak punya apa-apa, merekalah yang Nampak kaya raya di negeri ini. Pemerataan belum berlaku adil, satu daerah bekerja demi kekayaan kota-kota besar, bagaimana mungkin itu cerminan dari bangsa yang satu kalau perbedaan masih menjadi hierarki.

            Engkau menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia”. Lihat saja disudut-sudut kampus, para mahasiswanya lebih bangga dengan istilah-istilah asing yang hampir tak dikenali oleh masyarakat awam, terasa keren kalau referensinya barat, bahasanya tak lagi sederhana, para aktivisnya begitu nyambung dengan komunikasi kepada para elit, namun tak mampu menyederhanakan diri bila melebur dengan orang-orang kampung, Atau mungkin elitisme adalah gaya yang paling sesuai dengan zaman ini. di warung-warung kopi terasa tidak keren kalau namanya bukan bahasa inggris, pada hal menunya tidak serumit namanya, mengingat namanya terkadang jauh lebih sulit dan lebih lama ketimbang waktu untuk menghabisi menunya, sungguh tak balance.

            Disatu sisi kami sangat mengerti diatas pundak pemuda terpikul berjuta mimpi dan harapan, Harapan yang akan terus hidup dan tak akan pernah mati hanya karena kematian, generasi boleh berganti tapi semangat dan cita-cita akan terus mengalir dalam darah generasi mendatang. Pram pernah mengatakan “kisah tentang bangsa-bangsa dunia adalah kisah tentang kaum muda, jika pemudanya hari ini mati rasa, maka matilah sebuah bangsa. Kami sangat paham itu ! Tapi bertambahnya pengetahuan kami belum sebanding dengan berubahnya kebiasaan kami.

Kami masih terjebak dan terpuruk, entah ! apakah karena itu sumpah kalian, bukan sumpah kami sehingga tak ada beban bagi kami bilai itu kami abaikan.

 

Selamat hari sumpah pemuda !

Jangan merusak diri, dengan menjadikan diri sebagai calon generasi yang hilang, yang berjalan di di padang pasir, satu-dua langkah berjalan jejakmu hilang tertiup angin. Hidup adalah peristiwa sejarah tentang apa yang kau bisa perbuat, jika-pun kau gagal dalam menciptakan sejarah, tetap saja engkau akan dikenang sebagai pencipta sejarah kegagalan. bangkitlah pemuda ! pastikan setiap langkah memberi jejak yang berarti.

 


 


ARKANUL ISLAM (Dimensi Lahir dan Dimensi Batin) 

Tulisan ini merupakan bacaan ringan untuk menyambut bulan suci ramadhan, dimana ummat islam umumnya akan menyibukkan diri dengan ibadah yang nilainya berlipat ganda disisi Allah swt. Yang ingin dibahas disini ialah ibadah dan dimensi yang dikandungnya, Hampir semua ritual ibadah memiliki dimensi lahir disamping dimensi batin. Batin tanpa lahir akan kehilangan ekspresi, dan Lahir tanpa batin akan kehilangan nilai. lima rukun islam sudah sangat dihafal oleh ummatnya, namun bagaimana pengayaannya, ini perlu saling mengisi antara satu orang dengan orang yang lain, dan ilmu apabila dibagi ia tidak akan berkurang melainkan semakin bertambah dan kokoh, Untuk itu tanpa maksud menggurui para pembaca, sedikit akan diuraikan.

Pertama, dimensi Lahir Syahadat :

Syahadat dalam pengucapannya merupakan ritual Agama, namun ia tak boleh berhenti disitu. Ada konsekwensi ketika seorang berislam melalui kesasksian (la ilaha illAllah) yang diikrarkan. Ia harus meniadakan tuhan-tuhan lain. Jangan sampai kita mengakui Allah sebagai Tuhan disatu sisi tapi juga menerima berhala sebagai tuhan disisi yang lain.

Satu Tuhan dalam bahasa arab disebut Ilahun dan banyak tuhan disebut alihatun (kata Alihatun dalam Quran lihat al-Isra :42). Artinya dalam hidup manusia memang ada yang menerima banyak tuhan untuk di-Ilahkan. Ada yang meng-Ilah-kan hawa nafsunya (lihat al-Jatsiyah :23), ada yang mempertuhankan dirinya karena sombong atas kekuasaannya (lihat al-Qashas :38), dan banyak Alihah (tuhan-tuhan) lain.

Padahal, Pengesaan Allah dengan tahlil Lailaha iIlAllah peniadaan Tuhan selain Allah mengandung konsekwensi Tak ada kekuasaan yang lebih dipentingkan karena Allah sebagai pemilik kekuasaan tertinggi, kekuasaan lain berdiri dibawah kekuasaanNya. tak ada fanatisme ashabiyyah (fanatisme kesukuan/kelompok) yang layak disombongkan karena salah satu perjuangan Nabi yaitu melawan penentuan kelas berdasarkan suku, Dipilihnya Bilal untuk mengumandangkan azan (menyeru orang kepada Tuhannya) adalah sekaligus sebagai symbol manusia tak dapat dilecehkan berdasarkan status sosial, ras, maupun warna kulit, adapun yang membedakannya hanyalah Taqwa dan yang dapat mengukur itu hanyalah Tuhan bukan manusia. Tak ada harta yang lebih dicintai melebihi cinta kepada yang Maha meggenggam Cinta, Cinta yang mengakibatkan keteraturan semesta. Seandainya matahari diciptakan lebih jauh sedikit saja bumi tak dapat bertahan karena dingin, atau diciptakan lebih dekat sedikit saja bumi akan hancur terbakar, begitu telitinya Tuhan dalam menciptakan ciptaannya.

Konsekwensi kalimat Tahlil La ilaha illAllah tak ada sesuatu apapun yang lebih ditinggikan melebihi Allah sebagai Tuhan, jika ada yang dilebih-lebihkan melebihi yang memiliki segala kelebihan maka ia akan menjadi Alihatun baru sebagai berhala yang secara tak sadar menguasai segenap jiwa.

Kalimat kedua : Pengakuan Muhammad saw sebagai Nabi menghendaki konsekwensi terhadap pengamalan ajaran yang dibawanya. ummatnya harus berislam secara kaffah yaitu berislam secara total, jikapun tidak dapat menggapai kesempurnaan paling tidak selalu berusaha menuju kepada sempurna, sederhananya kita tidak berislam dengan cara hanya menerima sebagian ajaran sementara menolak atau meninggalkan ajaran yang lain, Tidak memenggal bagian yang kita suka atau sesuai dengan kepentingan sementara membuang bagian yang lain yang idak sesuai kepentingan.

Lanjut dengan rukun islam yang lain, Shalat ; Sebagai ibadah ritual memiliki dimensi lahir yang dikaitkan dengan mencegah perbuatan keji dan munkar (Al-Ankabut : 45), puasa dikaitkan dengan pendidikan jiwa yang tercermin melalui akhlaq, zakat dikaitkan dengan tazkiyah serta hablu minannas, haji dikaitkan dengan persaudaraan, pengabdian pada Allah, dan lain-lain, sehingga hampir seluruh ibadah ritual memiliki dimensi lahir.

Kedua dimensi batin :

Shalat sebagai rukun islam kedua, ia tak hanya dikerjakan secara zahir melainkan juga perlu menghadirkan aspek batin sehingga pelakunya dapat meraih predikat khusu’ yang menyebabkan keberuntungan (Al-Mu’minun : 1-2). Dalam Ikhtisr Ihya Ulumuddin, makna batin dalam ibadah Shalat dapat disingkat kedalam enam aspek : kehadiran hati, pemahaman, penghormatan, haibah (rasa takut yang bersumber dari rasa hormat), harapan, dan rasa malu.

Pertama, yang dimaksud dengan kehadiran hati yaitu mengosongkan hati dari segala sesuatu selain apa yang sedang dikerjakan (Shalat). kedua, kepahaman terhadap makna ucapan, yaitu pengetahuan terhadap makna lafal, karena bisa saja hati hadir beserta lafal (ucapan) tapi tidak hadir beserta makna lafal itu. Itulah pentingnya menyertai pengetahuan atas segala tindakan karena menyelami kedalaman lautan (pengetahuan) berbeda dengan menikmati kedangkalannya ditepian (ketidak-tahuan). Ketiga, Ta’dzim (penghormatan) adalah perkara yang perlu dihadirkan diluar kehadiran hati dan kepahaman. Seseorang bisa saja berbicara kepada budaknya dengan kehadiran hati dan dapat memahami pembicaraan namun luput dari menghadirkan penghormatan kepadanya. Keempat, haibah yaitu rasa takut yang bersumber dari rasa hormat. Orang yang takut terhadap binatang buas tak dapat disebut haib karena itu tak bersumber dari pemuliaan.

Takut ada berbagai-macam tingkat dan objeknya, ada takut yang dapat dihindari sehingga berimplikasi menjauhi dan takut terhadap objek yang tak dapat dihindari sehingga mau tidak mau seseorang harus menyiapkan diri untuk menyambutnya (mendekati). Dalam Qs fatir : 28 para Ulama disebut sebagai orang yang takut terhadap Tuhannya, takut yang dimaksud ialah yang berimplikasi mendekati karena bagaimanapun tak dapat dihindari manusia (dalam keyakinan islam) akan kembali pada Tuhannya melalui kematian mau tidak mau harus menyiapkan diri untuk pengadilan Tuhan pada kehidupan berikutnya, semakin tinggi tingkatan pemahamannya terhadap kekuasaan dan keesaan Tuhannya maka semakin memberi dorongan rasa takut yang berakibat memperkokoh komitmen pengabdiannya pada Tuhan, mereka yang tidak paham tentu tidak akan takut.

Lalu, bagaimana jika ada yang berkesimpulan “berarti manusia menciptakan konsep ketakutan dalam imajinasinya lalu takut terhadap konsep yang mereka ciptakan sendiri”?
Seorang anak kecil yang tidak sampai pemahamannya terhadap binatang buas atau emas permata dihadapannya tidak dapat memberi reaksi takut maupun senang, sebaliknya orang dewasa dengan tingkat pengetahuan yang memumpuni akan berreaksi tergiur dengan permata dan takut terhadap binatang buas.

Lalu, bagaimana meyakini dan memberi reaksi takut maupun senang terhadap sesuatu yang abstrak? nah, kalau ini masuk dalam ranah perdebatan teologis mungkin akan cocok dibahas pada tulisan yang lain.

Kelima, harapan. Ikhlas beribadah kepada Tuhan bukan bererti matinya harapan sama-sekali, justeru manusia diajarkan untuk menggantungkan harapan hanya kepda Tuhannya yaitu beribadah untuk meraih rido sang Ilahi. Keenam, rasa malu, melebihi semuanya karena ia bersumber dari perasaan selalu kurang sempurna. Dapat dibayangkan jika penghormatan, takut, dan harap apabila kehilangan rasa malu atas keterbatasan dan ketidak sempurnaan ? maka, amalan akan kehilangan penyeimbang, Nabi pernah bersabda apabila engkau tidak punya rasa malu maka berbuatlah sekehendakmu.

Aspek batin Puasa :

Imam Al-gazali membagi Puasa dalam tiga tingkatan; yaitu, puasa orang awam, puasa orang khusus, dan puasa orang yang paling khusus.

Puasa orang awam yang dimaksud adalah sekedar menahan perut dan kemaluan dari memperturutkan syahwat (dapat langsung kita pahami secara praktis). Puasa orang khusus ialah menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki, dan seluruh anggota badan dari berbuat dosa. Sedangkan yang paling khusus ialah puasa hati dari berbagai ambisi buruk serta dari ambisi kepada selain Tuhannya.

Secara zahir puasa merupakan menahan makan dan minum, secara batin ia adalah pendidikan jiwa yang dalam dimensi lahir tercermin melalui akhlaq, akhlaq dapat dibentuk melalui pembiasaan olehnya itu dibutuhkan satu bulan puasa sebagai sarana untuk berlatih hingga pelakunya dapat meraih predikat alumni Ramadhan dengan akhlaq sebagaimana akhlaq para Nabi.

Bagaimana akhlaq para Nabi ? Ibrahim as mengajarkan kita murah hati, ia dermawan apapun yang dimiliki ia beri hingga puteranya yang paling ia cintai dikorbankan. Nabi ismail as, mengajarkan kita rido terhadap takdir. Sejak bayi ditinggal. Ketika ia tau ayahnya sendiri diperintahkan Allah untuk menyembelihnya ia ridho. Kebalikan dari kita yang selalu protes atas nikmat. Lalu, Sabarnya Nabi Ayyub as, Awalnya kaya, punya anak banyak, Semuanya dibalik, harta habis, anaknya wafat, dan ia dapat penyakit sampai masyarkat menjauhinya. Nabi zakariya as, mengajarkan untuk tidak menyakiti siapapun dengan komunikasinya. Nabi musa mengajarkan kesederhanaan walau ia anak angkatnya penguasa. Nabi isa as dengan pengembaraannya, orang yang bepergian akan terbuka corak berfikirnya, Luas wawasanya, paham perspektif dan tau alternative, sebaliknya kurang melihat dunia dari sudut yang lain menyebabkan seseorang sempit perspektif dan minim alternative disebabkan dangkalnya wawasan. Dan Nabi Muhammad saw dengan Kerendahan hatinya, mempersilahkan bermusyawarah, Tidak mendikte walau ia adalah Nabi, Hingga ia masih mengatakan antum a’lamu bi umuri dunyakum.

Untuk sampai pada predikat-predikat tersebut, diperlukan latihan, banyak belajar (Mengikuti majelis ilmu), maupun berdampingan dengan orang saleh. Walau kita tak bisa persis seperti akhlaq para Nabi tapi kita bisa menghadirkan usaha mengikutinya dan menjadikan ibadah puasa sebagai sarana Tadribat (berlatih).

Selamat berpuasa, Semoga puasa kita tidak sekedar Ibadah Ritual melainkan memiliki dimensi Lahir dan Dimensi Batin sehingga ia tak berakhir dengan lapar dan haus saja.

WAllahu A’lam.

gen

 

 

 

 



Perempuan, Kehormatan dan Eksploitasi.

(Analisis Kritis atas eksploitasi perempuan dibalik iklan)

 

Sebelum datangnya islam perempuan (arab) diperlakukan tidak lebih dari sekedar property oleh para aristocrat, semakin banyak propertynya semakin terhormat pula kedudukan mereka di mata masyarakat. islam membawa spirit Tauhid Lailaha Illallah sebagai kalimat revolusi yang merubah tatanan kehidupan, menentang perbudakan dan eksploitasi manusia oleh manusia, membebaskan dan mengangkat harkat dan martabat perempuan dari stigma yang begitu rendah lalu diberikan kedudukan yang terhormat. Kalimat tauhid berimplikasi pada kesetaran ummat manusia tanpa mengenal suku, bangsa, bahasa, warna kulit, maupun jenis kelamin.

Sejarah menunjukkan banyak tokoh perempuan yang layak dipandang setara dan bahkan melebi laki-laki bukan karena sesuatu yang melekat secara instrumental melainkan karena kualitas dirinya. Kita lihat bagaiamana hipatia, seorang astronom, filusuf, dan matematikawan helenistik dari aleksandria mesir mengajarkan filsafat dan astronomi. Hidup sekitar tahun 415 masehi, yang juga disymbolkan sebagai pergerakan hak perempuan. sepanjang hidupnya ia berkontribusi dalam dunia ilmu pengetahuan, hingga kematiannyapun dikenal sebagai martir dalam filsafat.

Yang ingin saya katakana ialah perempuan berhak mengidentikkan dirinya dengan kehormatan dan ilmu pengetahuan, sebagaimana sejarah menunjukkan itu.

Lalau, bagaimana dengan kenyataan hari ini ? cita-cita tokoh feminis nampaknya belum selesai ketika dalam dunia industri perempuan dijadikan cover untuk melabeli hasil produksi capital. Hal yang sudah dianggap biasa dan tak perlu dipermasalahkan namun disitu eksploitasi perempuan sedang bekerja. Kalau dilakukan pembacaan secara semiotic, kita akan menangkap satu hal penting dimana hegemoni capital memenuhi relung kehidupan. dan demi kesuksesan pemasaran perempuan dijadikan sebagai pemikat perhatian.

Sebagian perempuan menerima saja perlakuan demikian, entah mungkin ungkapan politisnya “simbiosis mutualisme” mereka pakai sehingga menikmatinya atau memang tidak paham, dalam istilah filsafatnya “tidak tahu akan ketidak-tahuannya”. Saya melihatnya lebih kepada hierarki pengetahuan yang mengimbangi kesadaran, semakin orang tau semakin ia sadar, begitupula sebaliknya.

Kita persempit kasusnya dalam dunia periklanan. Untuk menganalisa ini, saya mengurai dengan pendekatan semiologinya Rolland barthes dengan apa yang ia sebut “mitos identifikasi” yaitu mereduksi  suatu makna menjadi identitas fundamental yang bukan karena adanya hubungan alamiyah. Contoh ; sebut saja salah satu “aplikasi jual-beli online”. Ketika buka youtobe kita disambut dengan beberapa orang perempuan mengiklankan aplikasi dengan cara berjoget yang mengundang “Tamu”.  Pertanyaannya, Apa hubungannya berjoged-joged dengan aplikasi jual beli online ? tidak ada. Joged dijadikan bagian dari identitas aplikasi sangat tidak nyambung. namun itu dapat bekerja efektiv karena menampilkan perempuan dengan cara yang disenangi public. Itulah yang saya maksud eksploitasi perempuan yang sedang bekerja. Yaitu dijadikan alat pemasaran, didesain harus bergerak seperi ini dan seperti itu, harus berkspresi seperti ini dan seperti itu.

Kasus diatas sama tidak nyambungnya dengan tagline “laki minum extrajos’, ‘orang pintar minum tolak angin’ sehingga memaksakan makna kalau minumannya yang lain berarti dia belum laki atau kalau bukan tolak angina yang kita minum berarti dia tidak pintar. Maknanya telah direduksi menjadi identitas fundamental dan memaksa alam bawah sadar kita untuk menerima itu.

Dalam kritik modernitasnya Harbert Marcuse menilai, hari ini bukan lagi kebutuhan nyata manusia yang menentukan produksi, tapi kebutuhan diciptakan supaya hasil produksi bisa laku, yang bekerja merekayasa kebutuhan manusia adalah dunia industri, dipamerkanlah sejumlah produk yang selalu diperbaharui setiap tahunnya melalui media, ini sangat pas dengan gaya konsumerisme kita yang suka bersosial media, merasa butuh untuk memiliki keluaran terbaru, ketika perasaan itu muncul maka rekayasa dunia industri sudah berhasil, dan selamat ! anda masuk dalam jebakan.

Itu dapat kita mengerti disatu sisi karena memang demikianlah dunia capital bekerja. Namun yang ingin digaris bawahi dalam tulisan ini yaitu hampir dalam memamerkan berbagai produk selalu menggunakan perempuan sebagai  alat memuluskan tujuan.

‘Sayyid Qutb‘ tokoh yang cukup keras dengan pandangan-pandangannya mengatakan dalam ma’alim fi at-thariqnya “ketika tugas kaum wanita hanyalah bersolek, merayu, dan merangsang nafsu, disinilah terletak keterbelakngan peradaban atau kejahiliyahan”.



Stigma Radikal, Perang Urat Syaraf

(Abdul Ghani)

Adalah hal yang mengusik benak, kata-kata dikonstruk menjadi sebuah slogan pada keadaan tertentu digiring untuk memukul lawan.

Slogan aku paling NKRI secara polos menggambarkan siapa saja yang meneriakan itu sebagai negarawan, Kata Moderat, secara polos menggambarkan diri sebagai kelompok ideal atau penengah.

Namun, diam-diam secara tersirat slogan tersebut menghendaki lawan kata, ini umpanya Mubtada' dalam bahasa arab tidak lengkap kalau tidak ada khabarnya.

Belum lengkap slogan 'Cinta NKRI' kalau belum menemukan lawannya yang tidak cinta NKRI atau tidak Pancasilais, Belum lengkap Slogan Moderat kalau belum menemukan Ekstrimis, Belum lengkap 'inklusif' kalau belum menuduh selainnya ekslusif. Belum lengkap slogan 'tolerasi' kalau belum menemukan 'intoleran'. Demikian pula liberal tak lengkap kalau belum menemukan lawannya yang konservatif.

Sekalipun kata-kata tersebut tak memiliki tuan sebagai lawan, mau tidak mau lawan harus diciptakan agar slogannya tak terdengar ambigu. Mereka harus mencari subjek agar 'lawan kata' itu tak menjadi musuh yang tidak bertuan.

Ya, walau harus menunjuk sana-sini secara sembrono. Ini bukanlah hal yang baru, melainkan ini adalah pola lama yang telah diperankan diberbagai waktu dan tempat.

Kita mungkin masih ingat apa yang dikatakan Buya Hamka atas kejengkelannya pada gengster macam ini

'untuk membela pancasila, mereka injak-injaklah si pancasilais. Untuk menjunjung pancasila, si pancasila harus dikuburkan.

Untuk membela sila pertama (ketuhanan), orang beragama harus bekerja sama dengan komunis (anti tuhan).

Untuk menegakkan kemanusiaan, manusia yang dibenci ditangkap dan dibenamkan kedalam penjara. Sedangkan anak istrinya dibuat melarat.

'Keadilan sosial' dasar negara kelima ditegakkan dengan sungguh-sungguh. Yaitu dibagi-bagilah dengan adil dan merata kemiskinan dan kemelaratan , ketakutan, dan kecemasan dikalangan rakyat banyak, sedang penguasa saking kasihannya pada rakyat 'tak usah' mengambil bagian sedikitpun dari kemiskinan dan kemelaratan itu'.

Menjadi rumus kalisik 'kebohongan yang dilakukan berulang-ulang akan diterima sebagai kebenaran, bahkan pembohong pun akan percaya atas kebohongannya sendiri. makna berbagai idiom positif direduksi dan dipersempit, lalu dikerdilkan.

Sebut saja seperti Radikal atau jihadi, adalah bagian dari reduksi makna yang digunakan untuk menghantam timur tengah. Lahirlah stigma 'muslim adalah teroris' yang dianggap radikal dan atas nama jihad melakukan kejahatan tak manusiawi.

Radikal artinya identik dengan senjata, jihad identik dengan bom bunuh diri yang dilakukan dengan konyol hingga muslim digambarkan sebagai ummat yang rela mati demi doktrin jumpa dengan bidadari di Surga. Citra ini terlalu konyol untuk dikonsumsi oleh orang-orang yang berakal.

Ahirnya, dengan dalih menangkap teroris dilumpuhkanlah timur tengah hingga mereka tak punya kaki dan tangan untuk mempertahankan minyak yang sedang dirampok oleh para 'pemburu teroris'.

Kalau berbicara rekayasa internasional oleh imperealis, itu sah-sah saja, ya namanya juga strategi dan politik. Siapa yang kuat dia berkuasa, ini hanya bentuk lain dari hukum rimba.

Namun, kalau kita mau melakukan look inside setelah look outside. Harusnya kita lebih jeli melakoni penggunaan istilah-istilah, yang terdengar sederhana tapi berpotensi menimbulkan pengkotak-kotakan, perbedaan, permusuhan dan perpecahan. Lalu, kelompok yang tak bertanggung jawab dengan senang hati mengambil untung.

Saya bermimpi, istilah-istilah tersebut : Pancasilais/ tidak pancasilais, paling NKRI/ kurang ber-NKRI, inklusif/ekslusif, moderat/ekstrimis, liberal/konservatif, toleran/intoleran, Islam Nusantara/Islam Arab, atau apapun itu dikeluarkan dari klasifikasi kosa-kata beragama atau bernegara agar generasi tak semakin terpola dan terjebak oleh rekayasa dan adu-domba.

Untuk Islam sebagai agama, Islam ya Islam ! Nabi tak pernah mengukuhkan islam sebagai jenis moderat, liberal, konservatif, ekstrimis, atau apalah itu. Istilah-istilah ini bagi saya lebih mencerminkan watak personal yang dipatenkan secara institutional.

Jangan setelah kita disatukan dengan Tauhid lalu, mau dicerai-beraikan oleh istilah yang dipopulerkan kemarin sore.

Makassar, 14 feb. 2021

 

 

 

Koreksi Teologis.

(Abdul Ghani)

Islam sebagai agama tidak hanya mengajarkan ritual dalam arti yang sempit. Namum, seluruh aspek kehidupan dikandung dalam islam. Seiring berjalannya waktu, kata 'syariah' maknanya telah direduksi. Dimana ia hanya berkonotasi pada potong tangan, penggal kepala, rajam, dan hal-hal menyeramkan. Sehingga orang normal mau tidak mau harus dibuat takut oleh syariah yang terkesan barbar.

Padahal, menentang eksploitasi, menegakkan keadilan, memperlakukan manusia sama rata juga adalah syarat tegas akan syariah. Orang yang menolak islam dalam sejarah ialah mereka yang tak mau status sosialnya tergeser. Artinya kehadiran islam sebagai agama harusnya memberi efek pada promlematika social.

Negara atau institusi ada yang menerapkan bagian terkecil dari syariah untuk menyebut diri mereka sudah islami. Padahal itu sebatas kedok untuk menutupi kepentingan yang lebih besar. Potong tangan untuk pencuri kecil tapi membiarkan pencuri besar (asing dengan segala wajahnya), rajam untuk pezina sementara mereka yang menikmati tumpukan harta oleh segelintir orang jadi hal biasa. Ini terlihat seperti menghukumi kejahatan kecil namun membiarkan kejahatan besar. Mengutuk kejahatan berdampak personal namun merawat kerakusan berdampak nasional

ketika seorang pedagang mengadukan pencurian atas dagangannya pada nabi dan meminta nabi menghukum pelakunya, orang tersebut malah dinasehati. 'dia lapar engkau tak memberinya makan, dia bodoh engkau tak menasehatinya'. Artinya bagaimana mungkin menghukumi pencuri karena ia mencuri dalam keadaan lapar. Harusnya orang-orang berada (konglomerat, penguasa) dan orang berilmu bertanggung jawab atas keadilan distributif akan harta dan pengetahuan yang dimilikinya.

Orang berharta jika masih mencuri silahkan eksekusi, orang berilmu yang bertindak bodoh silahkan diadili. Sebab tindakannya bertentangan dengan kapasitasnya. Artinya adil haruslah tegak lebih dulu baru berlakukan hukum.

Penyempitan makna syairah bukan hal kebetulan, kelompok yang menafsirkan agama sebatas ritualistik adalah aset yang harus dirawat oleh rezim korup. mereka tak lagi mengkritik sebab agama hanya diartikan sebatas shalat hingga haji, titik. !

Kalaupun penguasa keliru bagi mereka nasehati saja, jangan dikritik apalagi dihujat.

'siapa loe siapa gue' cocok dinisbatkan pada kelompok berfikir seperti ini. Siapa ia sebagai ormas pasif mampu memberi efek hanya dengan nasehat bijak pada negara yang dinahkodai para bajak laut dan perompak. Padahal, penyebaran islam menyebabkan banyak nyawa berguguran karena konsekwensi penentangannya atas ketimpangan sosial yang terjadi.

Kita memang bukan negara yg menerapkan syariat Islam, tapi kesadaran kritis atas dorongan teologi harusnya membuat pemeluk agama (apapun itu) tak menganut keyakinan secara pasif. Buat apa beragama kalau tak memberi efek pada situasi sosial !

 


(sebagian dari tulisan ini sempat dipublikasikan ke beberapa media online, setelah difikir-fikir, sangat disayangkan setelah letih menulis lalu hasil pikiran ini tertelan waktu, untuk itu saya merangkumnya disini walau masih berantakan, semoga bermanfaat bagi pembaca)

salam hangat...



[1] Buya hamka, tafsir l-azhar jilid 7 h. 373


Jiwa-jiwa Aktivis yang terlelap, Abdul Ghani

Hari ini touring ke Pulau Arar,   bersama anak-anak muda yang ambisius, mendiskusikan berbagai gagasan. Dari sekian pembahasan terselip ba...